001 Kebingungan
Tubuh bergelimpangan di mana-mana. Rintihan demi rintihan terdengar. Semuanya tumbang. Tak ada lagi yang bisa melawan. Darah sudah membanjiri sawah. Hanya tersisa Rico dengan wajah bingungnya. Rico terdiam sembari terengah-engah. Ia menyapu pandang. Ia tak percaya dirinya bisa melakukan semua ini sendirian. Tubuh penyerang yang menjadi tamengnya, ia lepaskan. Sekali lagi ia menyapu pandang dan tak percaya dengan apa yang terjadi.
Rico memandang tangannya. Dia berhintung cepat. Teriakan dari orang-orang sayup-sayup terdengar. Mungkin itu bantuan, tapi mungkin juga itu musuh lagi. Tanpa menunggu apa-apa lagi, ia akhrinya melarikan diri.
Rico memeras kepalanya. Keringatnya mengucur deras. Ia pun berlari menjauh sambil memegangi tangannya yang sempat terobek oleh peluru musuh.
Ini tak benar. Ini tak benar! batinnya menolak fakta yang terjadi.
Lelaki itu sesekali melihat tangannya. Ada bercak darah tertinggal di sana. Ia tak menyangka tangan seorang petani bisa melakukan hal itu kepada orang-orang bersenjata. Mereka yang awalnya mengepung Rico kini tergelatak begitu saja.
Rico tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ia kini hanya berlari dan berlari. Sebisa mungkin menghilang sebelum polisi menangkapnya.
Tunggu atau jangan-jangan mereka tadi polisi?
Rico tak tahu lagi. Yang ia tahu, tadi ia tengah menggarap sawah seperti biasa. Tangannya memegang cangkul. Tetangganya pun berada di sampingnya. Mereka dengan giat menggarap sawah mereka sendiri-sendiri. Dan seperti tetangga pada umumnya, Rico tak luput dari candaan.
“Eh, Ric, kok istrimu belum hamil-hamil?” tanya seorang pria dengan caping. Tangan dan tubuhnya kurus. Kulitnya legam terbakar mentari.
“Kami memang belum ingin mempunyai anak.”
“Weh, padahal punya anak enak, lho.”
“Gayamu enak. Anak itu memang berkah, tapi biayanya nggak. Pusing mikirin uang sekolah kan kau?” sambung petani yang lain.
“Pusing sih pusing, tapi kamu juga suka kalau anakmu pinter?”
“Ya suka sih.” Si petani satunya terkekeh malu.
Rico tertawa mendengar guyonan khas bapak-bapak mereka. Ketiga petani itu pun terus bersenda gurau sembari mencangkul sawahnya sendiri-sendiri. Musim telah berganti. Hujan telah sering datang akhir-akhir ini. Sawah pun telah agak becek. Maka sekarang lah waktu yang tepat untuk mulai menggarap sawah.
Namun siapa sangka. Di tengah-tengah pembicaraan asyik mereka, tiba-tiba segerombolan orang datang. Mereka mengenakan baju anti peluru dan helm hitam pekat. Di tangan mereka tersampir senapan laras panjang. Orang-orang itu datang berbondong-bondong. Mereka tak peduli dengan tanaman-tanaman yang ada.
“Akhirnya kau ketemu juga Rico Adi Saputra!”
Rico menatap sekeliling. Ia tak mengerti dengan apa yang terjadi.
“Kalian pasti salah orang, saya tidak melakukan apa-apa,” katanya dengan nada gemetar.
“Woy, kalau kalian polisi, harusnya menghormati pekerjaan rakyat kecil. Tanaman kami diinjak-injak, maksudnya apa?” satu orang petani beranjak menyibak kerumunan orang berbaju hitam itu.
Orang yang disentuh oleh si petani langsung berbalik. Dengan sikunya, ia hantam kepala si petani.
“Jangan ikut campur, atau aku tembak!”
Wajah garang si petani langsung berubah menjadi takut. Nyalinya langsung menciut. Ia dibantu berdiri oleh temannya yang lain.
“Pergi, atau tidak aku tembak kalian semua!” lantang orang yang memakai baju hitam itu.
Tak tunggu lama-lama, semua orang langsung lari tunggang langgang. Peralatan bertani mereka ditinggal begitu saja. Mereka begitu ketakutan, sampai beberapa kali ada yang terjatuh.
Tinggallah kini Rico sendirian. Ia dihadapkan oleh sepuluh orang bersenjata, lengkap dengan rompi anti peluru mereka.
“Menyerahlah kau Rico! Sekarang kau tidak akan bisa lari ke mana-mana!” seorang di antara orang bersenjata itu maju.
“Kalian pasti salah orang. Saya tidak melakukan apa pun. Saya hanya petani.” Peluh membanjiri kening Rico. Ia mengangkat kedua tangannya, tanda ia tak ingin melakukan perlawanan.
“Stop berakting! Kami semua tahu kau adalah agen yang berkhianat!”
Rico masih tak mengerti dengan apa yang terjadi. Ia mengernyitkan dahi, mencoba berpikir, mengingat apa pun yang bisa diingat. Tapi percuma. Selama kurang lebih sembilan bulan ini, ia hanya berada di desa ini. Tak keluar sama sekali.
“Kamu harus ikut dengan kami!”
Rico semakin terpojok. Salah seorang lelaki berbaju hitam mendekatinya. Ia pun memegang tangan Rico yang terangkat ke atas dan hendak memborgolnya. Tapi .... Seperti burung elang yang jatuh dan melesat begitu saja, insting Rico beraksi. Lelaki dengan kulit sawo matang itu salto, sehingga orang yang memeganginya tadi terjatuh. Tak berpikir panjang, Rico langsung memukul leher orang yang hendak menangkapnya dan membuatnya tak bisa berkutik lagi.
Melihat itu, orang-orang berbaju hitam yang lain langsung bertindak. Mereka mengambil tongkat t dan bersiap menghadapi Rico. Tak mungkin mereka menembak tubuh rekan mereka sendiri. Akan tetapi, Rico telah bersiap dengan segala kemungkinan. Insting bertahan hidupnya yang telah terasah membuat dia sudah menentukan serangan berikutnya.
Dengan kondisi tanah yang licin dan berair serta penuh dengan tanah liat, membuat pergerakan mereka sulit. Rico memanfaatkan keadaan itu. Dia merendahkan posisi tubuhnya dan bertumpu dengan stau kaki, sementara satu kakinya yang lain menyapu kaki-kaki penyerangnya. Tak ayal, bagai pohon yang diterjang angin, mereka semua tumbang. Rico tak menyia-nyiakan kesempatan. Ia meraih salah satu tongkat t dan memukul telak beberapa orang dari mereka. Sementara yang lainnya masih bisa berdiri dan bersiap menyerang lagi.
Rico yang masih dalam posisi terlentang, langsung berguling ke depan. Kakinya ia julurkan dan mengenai wajah seseorang. Tak punya pilihan lain, orang-orang yang masih tersisa, mengganti senjata mereka dengan senapan. Mereka pun berusaha membidik Rico. Belum sempat hal itu terjadi, Rico telah meluncur dengan satu kakinya terjulur ke depan. Ia mendekap salah seorang dari musuhnya. Dan tangannya memegang tangan si musuh lalu menembaki satu per satu yang lain, sementara musuh yang ada di depannya menjadi tameng.
Kejadian itu berlangsung sangat cepat. Tak sampai lima menit semua telah tumbang, menyisahkan Rico sendirian yang akhirnya kini telah lari. Dan sayangnya seorang yang masih cukup sadar, mengambil senapan dan berhasil sedikit merobek kulit lengan Rico.
***
Dengan tergesa-gesa, Rico menutup pintu, jendela, dan apa pun yang bisa membuat orang melihat isi rumahnya. Napasnya masih memburu. Bajunya penuh dengan tanah liat bercampur keringat. Ia sesekali mengecek apakah ada yang mengikutinya atau tidak.
“Kenapa, Mas?” Fira – istri Rico keluar dari dapur. Ia mengenakan kaos berbalut selendang besar. Dan andai Rico jeli, ia bisa melihat istrinya pun memakai celana jeans.
Rico kembali memeras kepalanya. Matanya mendelik. Berulang kali ia menelan ludah. “Kamu pasti nggak akan percaya.”
Melihat suaminya yang begitu tegang, Fira mengambilkan minum. Ia pun mendudukan suaminya.
“Minum dulu, biar tenang,” tawarnya.
Fira meraih lengan suaminya. Ia mengusapnya pelan. Sudah lama sekali ia tak melihat dia begitu tertekan seperti ini.
“Ada sepuluh orang. Mereka menyerangku. Mereka bilang mau menangkapku.”
“Tenang sayang tenang!” Fira menggenggam erat tangan kekar suaminya.
“Mereka ... mereka akan datang! Datang ke sini.” Entah mengapa konsentrasi Rico kian menurun. Pandangannya kabur. Matanya mulai hanya melihat cahaya. Tapi samar-samar ia bisa melihat istrinya tersenyum. Senyum yang sangat janggal.