Dih, caper!

1035 Kata
Pagi-pagi sekali saat suara ayam pun belum berkokok, Sherly terpaksa membuka mata karena sang mama terus-menerus membangunkannya dengan suara lantang seperti demo mahasiswa. "Demi Tuhan! Kenapa sih pagi-pagi udah cari ribut, untung pintu syurga ada di telapak kaki mama." gumam Sherly. Yeah, tidak seperti biasanya karena ia selalu bangun setelah jam 7 dan ini masih jam 5, demi apa coba? Dengan sangat terpaksa Sherly akhirnya membuka mata dan terkejut melihat pangeran agung berdiri di depannya, ah ralat! Maksudnya si Yoga. "Kamu? Kok ada di rumahku?“ Ah, Sherly lupa kalau brondong tampannya memang menginap di rumahnya. Mungkin belum kebiasaan melihat Yoga, padahal kemungkinan tahun depan mereka akan tinggal serumah. Setuju atau tidak, Sherly akan menyanggupi kemauan kakeknya. "Om Prima nyuruh aku bawain ini. Kamu cuci muka, terus kita jogging mumpung masih pagi." "Ini mah masih subuh kali, Ga. Gak ah, dingin!" tolak Sherly cepat. Memeluk tubuhnya sendiri, memberi kode untuk dipeluk maksudnya? "Perintah dari Om Prima, aku mana bisa membantah sih, Sher?" Akhirnya Sherly menerima satu gelas air putih yang dibawakan Yoga untuknya, ia memang belum sadar sepenuhnya. "Tunggu sebentar, aku mau cuci muka dulu." "Boleh aku masuk ke kamarmu?" "Mau ngapain?" refleks Sherly menutup bagian dadànya, merasa Yoga akan macam-macam dengannya. "Hanya memastikan agar kamu tidak terjun di ranjang lagi." Si brondong hanya tepuk jidat, bisa-bisanya Sherly punya pikiran buruk tentangnya. Ia hanya membuka pintu dan main nyelonong masuk, lagi pula om Prima sangat percaya padanya karena dari dulu Yoga memang tak pernah nakal dengan seorang perempuan. Sebenarnya Yoga masuk ke kamar Sherly hanya demi memastikan agar gadis itu tidak tidur lagi. Apalagi setelah mengobrol sebentar dengan tante Wulan, kebiasaan calon istrinya itu adalah molor sampai jam 7. Harus diubah nih pola tidurnya, pasti Sherly tipe gadis yang suka begadang karena menonton drakor ataupun membaca novel. Sambil menunggu, matanya sibuk menilai isi kamar Sherly. Rapi dan bertema aesthetic, seperti para gadis pada umumnya. Tidak terlalu banyak boneka, lebih banyak rak tertata dengan buku-buku juga novel romen penulis besar. "Aku rapi kok orangnya kalau kamu penasaran. Jadi, setelah kita nikah nanti kamu gak bakalan kesusahan sekamar sama aku." Tanpa sadar, Sherly malah memperkirakan seperti apa kebiasaannya nanti kalau mereka sudah menikah. Padahal saat makan bersama di rumah kakeknya, Sherly menolak keras perjodohannya dengan Yoga. "Gak apa-apa kalau kamu gak rapi, aku kan bisa ngerapiin. Nikah itu harus couple, sama-sama kerja sama untuk sama-sama." "Kamu emang biasa ya menggodà para betina dengan tipu muslihatmu yang modelan begini?" "Maksudnya?" "Ya maksudku, gak usah berkata yang manis-manis. Aku gak mau mati muda karena diabetes akibat mabuk sama rayuanmu." Si brondong pun mengangkat bahu dan sudah keluar dari kamarnya, tak peduli dengan Sherly yang hanya menatap punggungnya dari belakang. Prima dan Wulan pun mengintip dari kamar mereka, lega rasanya Sherly tidak menunjukkan sikap arogannya. Karena Prima sendiri tahu kalau anaknya memang kesal dengan perjodohan dari sang kakek. Mereka sudah keluar dari rumah, Yoga memakai pakaian santai milik Sandy yang memang belum pulang dari semalam. "Kamu terakhir kali jogging kapan? Masa lari dikit aja udah megap-megap, perlu napas buatan gak nih?" "Gak usah mesúm! Gak cocok sama mukamu, Ga!" "Memangnya aku gak kelihatan sanggup ngapa-ngapain kamu, hm? Aku pria normal, Sherly. Aku bisa bikin anak asal kamu tahu." Sepagi ini Yoga sudah mencicipi apa sih, sampai otaknya segleng. Dari mulai menawarinya napas buatan, sampai bikin anak. Sherly jadi ragu kalau Yoga tak pernah pacaran, pasti mantannya ada di mana-mana. Ia membiarkan Yoga berlari terlebih dahulu di depannya. Sherly bukan tipe gadis yang suka berolahraga, hanya kadang-kadang saat senggang. Kebetulan Sandy memang sering mengajaknya renang daripada jogging. Baru sepuluh menit membiarkan Yoga berlari sendiri, pria itu tak nampak sama sekali. Sherly agak mempercepat larinya dan tak menyangka si brondong sudah dikerubungi sekumpulan gadis SMA. Dih, baru nongol aja udah banyak fans. Mau tak mau Sherly mendekati kerumunan, mau apa para remaja mendekati Yoga. "Beneran gak apa-apa?" Yoga nampak sedang berbicara dengan salah satu gadis yang ditaksir umurnya masih 15 tahunan. "Iya, gak apa-apa kok, Kak. By the way, Kakak orang baru ya? Kok gak pernah kelihatan?" Yoga tersenyum manis ala iklan pepsodent, mengulurkan tangan pada remaja yang menanyakan tentang dirinya. "Saya Yoga, saya memang bukan orang sini. Saya tadi datang bersama.." Ucapannya mengambang karena tak ada Sherly di sisinya. Ia menoleh ke belakang dan mendapati gadis pujaaannya berdiri menatapnya. "Ah, saya datang bersama calon istri saya. Rumah yang dekat dengan minimarket ujung jalan, nomor 45. Sayang, sini!" Apa tadi, Sayang? Dih, sok akrab dan mesra banget deh! Ini adalah tak-tik Yoga untuk menghindar dari bocil yang suka meminta id linenya dan berkenalan lewat sosial media. Bukan tipe Yoga sama sekali. Sekali Sherly, tetaplah Sherly. "Halo, aku Sherly. Ah, tadi aku nyariin kamu loh," Sherly pun lincah bersandiwara seraya menemplok pada bahu Yoga. Menang banyak nih si Yoga! Tiga remaja yang menatap Sherly hanya berbisik-bisik tak jelas. Gagal sudah berdekatan dengan pria yang sudah berkuliah apalagi tampan seperti Yoga. Padahal mereka ingin sekali memiliki kisah seperti di drakor-drakor yang super bikin baper. Mereka pun pamit pergi dan menjauh dari Yoga pun Sherly. Tadinya Yoga memang berniat menolong karena tidak sengaja menabrak salah satu dari mereka yang sedang bermain sepatu roda. "Suka banget ya nge-drama, lincah banget baru tebar pesona udah dapet mangsa." cibir Sherly. Ia berjalan dengan memasang muka tak suka, apalagi terlihat sekali kalau remaja tadi memang berniat sekali berkenalan dengan Yoga. "Hanya bersikap sebagai pria yang bertanggungjawab, Sher." "Memangnya kamu menghamili salah satu dari mereka? Pakai acara tanggungjawab segala?" Bibir Sherly manyun beberapa senti dan itu membuat Yoga semakin gemas dibuatnya. "Kalaupun ada gadis yang hamil karena perbuatanku, gadis itu sudah pasti kamu, Sher. Bukankah begitu, Sayang?" "Dasar mesúm!" Sherly meninggalkan Yoga yang hanya tertawa ke arahnya. Ia bisa mati muda kalau lama-lama diberi vitamin super memabukkan dalam bentuk nyata seperi Yoga. Dilihatnya gadis pujaannya yang masih berlari. Yoga memang berniat memiliki anak dengan Sherly, tapi ia tak akan memaksa gadis itu mau melakukannya hanya karena mereka sudah menikah. Karena bagi Yoga, ketulusan dalam cinta adalah segalanya. Ia pun berlari mengikuti langkah Sherly, tak peduli dengan tiga remaja yang tadi ditabraknya. Mungkin bagi mereka, Yoga dan Sherly bagaikan pasangan couple yang sangat serasi. Padahal Yoga masih membutuhkan usaha lebih keras demi mendapatkan hati Sherly seutuhnya. Semoga saja bisa, semangat Yoga!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN