Masih tidak terima dengan kejailan Yoga, Sherly menghadang jalan pria itu dengan merentangkan kedua tangannya. Wajar dong kalau tak suka, memang sih nantinya mereka bakalan resmi menikah tapi bukan berarti harus sayang-sayangan kan di depan umum? Mana di depan bocil yang banyak maunya lagi!
"Stop! Kamu itu ya, benar-benar deh!" menepuk jidat, tak tahu lagi harus bagaimana menghadapi brondong yang punya kapasitas sombongnya sampai ke langit tujuh.
Tapi Yoga sendiri merasa tak pernah menganggap Sherly perempuan yang menyebalkan. Mungkin hanya banyak mengomel saja. Namanya aja udah cinta, apa-apa pasti dapat nilai plus di matanya.
"Bukan apa, ya, cuma aku emang se-famous itu, entar kamu juga tahu sendiri kalau udah serumah sama aku. Jangan kaget, misal ada paket yang tiba-tiba ada di depan rumah kita. Yeah, soalnya calon 'Suamimu' ini memang banyak fans."
Yoga malah ngacir duluan, laper juga meskipun hanya keliling sebentar. Setidaknya ia harus makan sesuatu yang ringan demi menghilangkan perut keroncongan. Bodo amat dengan Sherly yang masih di belakang, pasti perempuan itu sedang menyumpahinya dalam hati sejak tadi.
Pepatah lama berkata, dari benci jadi cinta. Dari perut turun ke hati, makanya trik Yoga mendekati Sherly adalah mengajak perempuan itu makan, memasak dan belanja. Apa saja yang berkaitan dengan perut.
"Mbok, sotonya boleh di makan di sini kan?"
Tuhan memang selalu mendengarkan doa orang-orang lapar, Yoga sumringah begitu melihat tenda yang sepertinya baru saja dipasang bertuliskan warung soto mbok Asih, wanita sepuh dengan punggung yang sedikit membungkuk sudah sibuk dengan dagangannya.
Keluar dari tenda dan melihat sekilas wajah Yoga, pria tampan yang melebarkan senyumnya membuat mbok Asih sedikit tergugah.
"Wah, iya dong, Mas. Boleh, hayoo silakan duduk. Tapi mbok Asih baru saja sampai e, gak opo-opo ya nunggu?"
Yoga mengacungkan jempol, berinisiatif membantu barang dagangan yang harus diturunkan dari keranjang yang terpasang pada sisi kiri dan kanan motor.
Sherly pun ikut serta duduk di samping Yoga, sudah kenal deretan makanan apa saja yang mangkir di dekat perumahannya.
"Aku satu ya, nggak usah pakai bawang goreng."
"Oke. Ada lagi, Tuan Putri? Minumnya sama kan?. Atau mau segelas untuk berdua?"
Pandangannya mendelik, rasanya sudah kenyang duluan mendengar panggilan paling norak yang pernah ia dengar.
Mbok Asih sempat melirik Sherly, perempuan yang memang sepertinya dikenalnya. Ah, mungkin mereka adalah pasangan kekasih, begitulah yang ada di pikirannya.
Karena kedatangan Yoga, orang-orang yang ikut jogging merasa tersihir untuk ikut mampir. Entahlah, magnet apa yang melekat pada tubuh Yoga, mbok Asih merasa rejekinya pagi ini lebih ajib dari biasanya.
"Mas, masnya gak usah bayar gak apa-apa, hitung-hitung sebagai salam perkenalan, Mas."
Baru saja menandaskan soto miliknya, Yoga jelas tak mau makan gratis. Hari gini nyari uang kan susah, mana mau Yoga makan tanpa bayar pula?
"Jangan, Mbok. Lagian kan saya ini ikhlas berkenalan juga sama Mbok Asih, sekalian sama dia ya, semuanya ditotal."
"Buru-buru banget sih, nggak lihat sotoku masih banyak?"
Yoga kembali duduk setelah membayar, padahal dia kan nggak ngajakin pulang. Dih, memang ya cewek itu selalu merasa benar.
Tak ada kegiatan lain selain menunggu Sherly, Yoga akhirnya melihat lagi ponselnya. Notifikasi teratas adalah dari ibunya. Masih kepo sejauh apa perkembangannya mendekati calon mantu ibunya.
Tanpa sadar, sudut bibirnya terangkat. Membuat Sherly menatapnya penuh selidik. "Ngapain sih senyum-senyum gak jelas?"
Eh, ternyata calon istri perhatian juga. Dikira Yoga, perempuan itu terlampaui cuek bebek dengan semua yang dilakukannya.
"Sedang berkirim pesan dengan wanita kesayangan. Mau lihat gak?" Yoga sengaja ingin melihat reaksi Sherly, kalau tidak suka apalagi cinta, pasti perempuan itu akan bersikap biasa saja bukan?
Tanpa diduga, Sherly semakin mengeraskan adukannya pada mangkok. Membuat beberapa pengunjung mencibir, mengira Sherly itu pasangan yang banyak maunya.
"Mbak, padahal Masnya kan gak salah apa-apa. Kok dari tadi disemprot terus sih?"
"Iya, kasihan tahu Masnya. Udah ganteng, dimarahin."
Hello, terus kenapa kalau ganteng? Gak bakalan salah gitu meskipun membuat kesalahan? Dasar, sukanya mandang yang good looking doang!
Panas mendengarkan hujatan netizen di sekitar, Sherly langsung mengangkat mangkok sotonya dan menyeruput langsung. Hebat juga, batin Yoga.
"Ayo pulang."
Tarikan tangan dari Sherly membuat Yoga terkejut, ini kali pertama reaksi Sherly menyentuhnya. Meskipun hanya pegangan tangan, tapi rasanya deg-degan juga. Boleh gak sih, di slow emotion dulu biar makin kelihatan mesra?
"Mereka tuh aneh ya, makan tinggal makan malah ngikut nyambung obrolan kita. Pacarnya siapa, malah sok-sokan ngrumpiin siapa. Memang, di mana-mana kalau ada pasangan makan bareng, pasti pada iri. Mereka contohnya!" tutuk Sherly.
Ya Tuhan, ingin sekali Yoga menyimpan ekspresi Sherly yang sekarang. Tambah menggemaskan saat marah-marah nggak jelas. Lebih gilanya lagi, perempuan itu terang-terangan menyebutnya pacar dan sebagai pasangan. Mulai ngebuka hati kayaknya?
"Tunggu, jalannya jangan cepet-cepet. Kamu baru aja makan, Sherly. Gak baik buat pencernaan," sergahnya. Yoga mulai membenarkan genggaman tangan Sherly, tapi sayangnya perempuan itu sadar dan malah melepaskan tangannya.
"Maaf, gak sengaja."
"Gak apa-apa. Kesengajaan yang membuat pria tampan ini bisa bahagia."
"Terserah. Raja gombal."
Mereka kembali diam, berjalan lagi menuju rumah Sherly. Ada perasaan yang makin mengembang di hati Yoga. Dulu, saat masih di Jakarta dan memang jauh dari Sherly, ia tak pernah berkirim pesan. Hanya tahu kabar tentang calon istrinya dari sosial media, Sherly lumayan sering sharing hari-harinya di i********:. Tentang kuliahnya, masa-masa galaunya juga pacarnya.
Dan kadang, ibunya selalu memberinya kabar terbaru tentang Sherly saat ke Sleman mengunjungi rumah tante Wulan.
"Sher.."
"Ga.."
Mereka tertawa, tak menyangka, isi otaknya bisa serasi untuk kompak memanggil nama secara bersamaan.
"Kamu dulu aja, women always first time."
"Oke. Hmm, kamu.. beneran gak pernah pacaran?"
Hampir sampai di depan rumah Sherly, Yoga berhenti, matanya menatap Sherly. Tinggi mereka saja sudah berbeda, membuat Sherly harus lebih mendongak ke mata manik milik Yoga.
Satu detik. Dua detik. Tiga detik. Ya, tiga detik Yoga bisa leluasa melihat Sherly sedekat ini. "Hanya ada perempuan yang akan jadi pacarku nanti, istriku sendiri. So, aku jomblo dari lahir dan sampai sekarang. Ayo masuk, aku harus mandi dan pulang."
Lancangnya, pria itu mengacak-acak rambut Sherly. Membuat Sherly agak mundur dan cemberut. Dih, main pegang-pegang aja.
Tapi entah mengapa, perasaannya cukup lega. Itu tandanya Sherly akan menjadi perempuan pertama yang ada di kehidupan Yoga setelah ibunya.
Tapi, Sherly juga tak bisa mempercayai pria itu begitu saja. Bukankah semua pria sama saja? Selalu mengaku tak pernah dekat dengan siapapun, padahal simpanannya ada di mana-mana. Seperti Bimo misalnya, pacarnya yang sudah diblok. Baginya, setelah diselingkuhi dua kali, tak ada kata maaf.
"Hey, malah ngelamun. Kamu juga harus mandi, Sher. Sayang sekali, karena aku belum bisa mandiin kamu."
Bughk! Tepat di depan muka Yoga, Sherly menimpuk pria itu dengan handuk mini yang sejak tadi melingkar di lehernya. 'Dasar mesúm!'
Ia pun cepat-cepat berlari sebelum Yoga membalas perbuatannya.