Pisahan Sebentar

1087 Kata
"Salim dong sama calon suaminya, dibiasain, Sher," ledek Sandy. Ingin rasanya Sherly menyumpali mulut abangnya dengan sapu di tangannya. Ya, Yoga pulang setelah mandi dan ikut sarapan bersama. Ia harus segera pulang sebelum ibunya menyusul karena dibuat penasaran dengan apa yang sudah terjadi di rumah Wulan. "Aku pulang dulu. Kutagih lagi kencan kedua." "Ha?" Sherly menatap bingung. Kapan ngajaknya? Pemaksaan banget, brondong gak tahu malu. Melihat wajah Sherly yang menahan kekesalan, Yoga tahu kalau perempuan itu memang belum menerimanya sebagai pria yang akan memimpin rumah tangga. Tapi Yoga tidak pernah bercanda saat mencintai seseorang. "Ya maksudnya kapan-kapan kalau kamu senggang. Ini beneran gak apa-apa aku gak pamitan sama om Prima?" kebetulan Prima memang sedang keluar setelah sesi sarapan, ada pertemuan dengan kliennya. "Iya." Sherly terus menghalangi Yoga untuk masuk kembali, berharap pria itu harus pergi. Merasa jam tidurnya sedikit terganggu. Hah, belum jadi suami aja ngerepotin, batinnya menggerutu. Pelan-pelan langkah Yoga sudah sampai di depan gerbang, mobilnya sudah terparkir sempurna. Sekali lagi ditatapnya perempuan yang bahkan selalu memajukan bibir setiap bertemu dengannya. Ya, sikap Sherly jadi lebih dingin sejak mereka dijodohkan. 'See you, calon istri.' Yoga tersenyum sendiri memanggil Sherly di dalam hatinya. Semoga doa itu segera terlaksana. Ya, semoga secepatnya. *** Betapa leganya Sherly setelah kepulangan Yoga, bisa sepuasnya leha-leha. Bingung, bagaimana caranya semalam ia bisa tidur di kamar? Ingatan terakhirnya adalah saat menonton film horor Indonesia, tapi saat membuka mata tiba-tiba saja sudah di ranjang kesayangannya. "Apa semalam kak Sandy pulang lagi terus gendong aku?" pikirnya. Karena dari dulu, kakaknya memang sering menggendong Sherly saat tertidur di ruang santai. Hanya ada Wulan-sang mama di rumah, Sandy pun sedang berenang di kolam belakang, Sherly menghampiri, ikut nimbrung dengan tontonan apa yang membuat mamanya betah lebih dari setengah jam terpaku dengan benda hitam persegi panjang yang menimbulkan suara. "Nonton apa sih, Ma?" Sherly langsung duduk, lesehan, bersantai dan menggelemkan kepalanya di paha Wulan, menyerobot keripik kentang yang menjadi cemilan favorit saat menonton TV. Kesal dengan anak gadisnya yang selalu makan sambil tiduran, Wulan pun langsung beranjak dan membuat Sherly kaget. "Ya ampun, Ma! Ih, bilang dong kalau mau berdiri, kepala Sherly sakit nih." Menjewer karena usia segini masih saja seperti anak kecil. "Kamu itu ya, Sher! Jangan makan sambil tiduran, harus dibiasain. Besok kalau di rumah mertua kamu, jangan seperti ini." Ah, mertua? Sosok menyeramkan bagi Sherly. Membayangkan tuntutan pekerjaan yang menggunung saat sudah jadi menantu. Walaupun ia sudah mengenal baik bibi Anggi, tetap saja merasa sungkan karena tak pernah menyangka akan menikah dengan putranya, Yoga. Bicara tentang Yoga, okelah pria itu memang menyenangkan. Tapi banyak nyebelinnya. Tak terhitung berapa kali Sherly geleng-geleng kepala karena tingkat kepedean Yoga yang tembus sampai Aesteroid. Selangit, bobol sampai ke angkasa. "Eh, Ma. Emang, bibi Anggi seserem itu ya?" jaga-jaga akan kena tekanan mental berhadapan dengan orang tuanya Yoga, Sherly harus gagah. Jangan jadi menantu yang lembek dan tidak punya pondasi apa-apa. Karena racun bibi di rumahnya yang hampir setiap pagi menonton sinema ikan terbang. Melihat banyak sekali tokoh yang memerankan jadi menantu yang hidupnya harus terbebani memiliki mertua super menyebalkan, menuntut banyak hal dan punya keinginan yang macam-macam. Meskipun Sherly belum ada rasa dengan Yoga, ia juga ingin hidupnya aman sentosa. "Kan kamu tahu sendiri, Anggi itu ramah. Baiknya minta ampun, mama yakin dia bakalan baik juga sama anak mama. Sher, mama bahagia melihat kamu bersamanya, maksud mama Yoga.. Yeah, kalau kamu mempermasalahkan soal umur, gak fair dong. Buktinya, dari sekian pacar-pacar kamu dulu, gak ada yang se-gentle Yoga." Perkataan mamanya ada benarnya juga. Jangankan gentle, salim sama Prima untuk minta izin ngajak Sherly hang out pun pada ngicir duluan. Katanya, sang papa terkenal dengan pamor yang akan membuat banyak pria menunduk ketakutan. Padahal Sherly tahu, papanya tak semenakutkan itu. "Ya, aku tahu dia memang punya segudang bakat yang patut diacungi jempol. Mama juga tahu kalau aku juga sudah jomblo. Oke, aku akan menerima perjodohan itu, tapi untuk mencintai, anakmu yang cakepnya gak ketulungan ini butuh waktu, Ma. Jangan pernah nagih soal cucu. Oke?" Wulan menggaruk kepala putrinya, dan tersenyum bangga. Setidaknya, ia tahu Sherly tidak menentang. Meskipun masih kesal dengan perjodohan dadakan. "Satu lagi, kalau Yoga pamit pulang, kamu harus anterin sampai masuk mobil. Salim, cium tangan, yang sopan sama calon suami." Anaknya malah menjulurkan lidah. Bodo amat, ia tak ingin membuat Yoga makin bergaya dengan gaya selangitnya. "Kenapa gak sekalian suruh cipika-cipiki, Ma?" Haha, dasar! Belum saatnya, Sherly. *** Sampai di daerah pesisir, tempat tinggalnya. Yoga langsung memarkir mobil, melihat keadaan rumah yang tak pernah berubah. Batu bata dingin, bau amis khas ikan dan binatang laut. Suara ombak meskipun rumah jaraknya jauh dari pantai. Dan satu lagi, ketenangan. "Duh, mas ganteng sudah pulang. Ibu sampai gak bisa tidur nyenyak mikirin putranya yang gak pulang-pulang. Wulan pasti penasaran, nyuruh kamu bermalam biar makin kenal sama kamu luar dalam. Dia tadi cerita, nelpon ibu." Begitulah, meskipun sudah kenal dengan orang tuanya, tapi tante Wulan tetap harus menilai seberapa tulus Yoga akan menjaga putrinya. Tak ada yang tahu perasaan si brondong itu kecuali dirinya sendiri, ibunya pun hanya tahu kalau Yoga penasaran dengan kabar terbaru tentang Sherly sebagai teman masa kecil saja. Pria itu menyimpan begitu baik perasaannya yang tak pernah tersampaikan. "Sherly anak yang manis, Bu." Ya, bagi Yoga sendiri, perempuan yang sebentar lagi akan menyandang sebagai istri memang sedikit bawel, tapi manis. Senyumnya bahkan sanggup mengalihkan dunia Yoga sejak dulu masih SMP sampai sekarang. "Benarkah? Wulan bilang, dia sering nyusahin kamu loh di sana, Nak?" Gak mungkin kan Yoga menjelek-jelekkan Sherly? Terlepas seperti apa saat mereka bersama? Ngambekan, marah-marah gak jelas, kalau ngomel bikin gendang serasa mau pecah. "Bisa dibilang begitu, tapi Yoga bakalan putar otak supaya dia bisa lihat, Yoga bukan anak kecil yang gak bisa bahagiain istri sendiri." Duh, brondong kalau sekali ngomong langsung ngena di hati. Anggi tahu, putranya memang tak pernah main-main dengan ucapan dan tingkah lakunya. Sejak kecil, sampai sekarang bahkan hampir lulus kuliah, ia tahu betul putranya selalu bisa dibanggakan. Bahkan, para tetangganya saja sering menawarkan anak-anak mereka untuk diambil menantu. Sayang seribu sayang, orang tua Anggi ingin sekali Yoga berpasangan dengan cucu mereka, Sherly Sheiladaisa. Semoga saja, nanti setelah menikah mereka akan bahagia. Meskipun pernikahan ini diawali dengan drama yang rumit, dadakan. Setidaknya, Anggi tahu putranya selalu memiliki cara memperindah suasana. "Tapi satu hal lagi, Sherly itu kalau tidur parah banget geraknya. Kayaknya, Yoga gak yakin bisa nenangin dia." Sebelum ibunya mencerna perkataan anaknya, Yoga sudah buru-buru masuk. Ia yakin ibunya kaget dengan ucapan mainstreamnya. "Heh, anak bandel! Dari mana kamu tahu gaya tidurnya Sherly? Yoga! Awas aja ya, anak ibu ini!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN