Sherly berkali-kali menghela napas panjang. Ia tak bisa berbuat apa-apa selain berlapang dàda dan pasrah. Keputusan kakeknya sudah bulat, tak bisa diubah lagi menjadi kotak apalagi trapesium.
"Jangan ngambek gitu dong, Sher. Kakek tuh nyariin jodoh yang tepat buat kamu, lagian Yoga itu golden ticket loh. Dia mahasiswa unggulan di kampusnya, soal tampang jangan ditanya. Usaha paman Danu juga gak usah diragukan lagi, kamu bakalan betah tinggal sama dia," tutur Sandy.
Kakak laki-lakinya memang sengaja mengejeknya selama perjalanan pulang. Baginya, Yoga tak ada cacat-cacatnya. Pacaran saja tak pernah, untung banget bukan adiknya? Sekalinya dapet jodoh, sekinclong dan seluruh itu, macam Yoga.
"Tapi dia itu adik kelasku, Kak. Kakak aja sana yang nikah sama dia, aku kan dekat waktu masih SMA. Ya kali jodohku masih SMP waktu itu!"
"Umur itu gak jadi patokan, Sayang. Kamu bakalan bahagia, Papa yakin seratus persen. Kenalan lebih dekat dulu lah dengan calon suami kamu, pdkt gitu ceritanya."
Sherly memilih membuang muka. Menerawang lebih jauh ke arah jalan raya, ia hanya satu hari saja di Gunungkidul karena ngambek semalaman setelah membahas perjodohan. Memaksa pulang dan marah dengan kenyataan.
Baginya, pria yang belum berusia 25 tahun ke atas tetap dipandang sebagai bocah. Memang sih, Yoga tinggi dan kekar. Bahkan penampilannya jauh di atas rata-rata dengan senyum sultannya. Tapi ia tetap waspada, bisa jadi pria itu masih labil kan emosinya?
Suami tuh harusnya bimbing, bukan dibimbing!
***
Ini adalah hari Minggu dan waktunya Sherly memanjakan diri. Terlepas dari perjodohannya yang bikin pusing, ia memilih tak memikirkannya. Karena semakin dipikirin otaknya makin meledak saja. Gak karu-karuan!
"Mau ke mana rapi banget? Bukannya ini weekend ya?" tanya Wulan. Ia tahu betul kalau putrinya jarang bangun pagi saat libur kerja.
"Cari suasana segar, di rumah selalu disidang Mama dan papa. Bisa-bisa pecah kepala Sherly!"
Sebelum sang mama melemparinya dengan centong nasi, Sherly terburu-buru berlari dan langsung menuju garasi rumahnya, bergegas menstater motor. Ia akan mengajak Hana pergi shopping mumpung gajian sudah cair.
Jarak rumahnya dan rumah Hana hanya 15 menit saja. Apalagi Sherly sudah berubah wujud menjadi Danica Patrick, pembalap wanita paling populer.
"Ah, sampai juga. Dia pasti masih molor!" Sherly langsung melepas helm dan main nyelonong masuk saja. Ia tahu kalau orang tua Hana jarang sekali stay at home.
Dilihatnya sosok perempuan yang bermanja ria di ranjang. Lihatlah? Cemilan tercecer di lantai, selimut bantal berantakan. Hana adalah spesies paling tidak rapi yang pernah dikenalnya, lebih parah darinya soal kebersihan.
"Heh! Bangun! Perawan gak baik tidur sampai pagi! Nanti rejekinya dipatok ayam, Han!" Sherly sengaja menaikkan suaranya satu oktaf agar temannya segera bangkit dari dunia mimpi.
Hana yang mendengar aungan macan betina memilih menyipitkan mata. Kesurupan apa sih si Sherly weekend ke rumahnya? "Apa! Tumben libur ke sini? Biasanya juga hibernasi, gue habis maraton drakor dan mau melunasi tidur semalam. Terserah lu mau apa di kamar gue, yang penting gak usah teriak-teriak kayak toa masjid!"
Temannya kembali berbaring dan menutupi kepalanya dengan bantal. Ia tak mau menuruti Sherly untuk bangun karena sedang dalam mode off.
Sebagai teman yang baik, akhirnya Sherly memilih keluar dari kamar dan turun ke dapur. Ada mbok Lindu di sana, pembantunya yang sejak kecil mengurusi Hana.
"Mbak Sherly, kirain siapa tadi. Non Hana tak panggil gak nyahut e, mungkin semalam begadang. Mau jalan-jalan ya? Rapi banget," tutur mbok Lindu.
"Iya nih, sumpek di rumah. Masak apa, Mbok? Perlu bantuan gak?"
"Boleh, tuh ada bawang sama cabai yang belum Mbok potong buat bumbu."
Meskipun kemampuan memasaknya tak begitu mahir, tapi Sherly lumayan hafal bumbu-bumbu dapur. Kemarin saat mengaku pada kakeknya memang disengaja, ia ingin terlihat tak pantas dijadikan istri idaman apalagi karena dijodohkan.
Tanpa sadar, matanya sudah memerah. Bukan karena menangisi perjodohan dadakannya melainkan karena bawang merah yang dipotongnya.
"Duh, kelihatan banget Mbak Sherly jarang ke dapur. Basuh muka gih, tapi jangan dikucek."
Sherly menurut dan memilih memperhatikan mbok Lindu sampai selesai memasak. Ia masih menunggu Hana bangun dari hibernasinya.
Karena tak melakukan hal apa pun selain bernapas, Sherly memilih keluar dari dapur dan berkeliling rumah Hana. Tempat yang paling membuatnya nyaman adalah ruang baca, karena ada piano di sana.
Ia memang sudah biasa keluar-masuk rumah Hana. Tapi Sherly tetap tahu aturan. Tangannya sudah memulai menyentuh tuts piano, menciptakan nada asal.
"Lagi galau?" suara Hana membuatnya kaget secara spontan.
"Dih, katanya hibernasi? Kok malah ke sini?"
"Gak jadi ngantuk karena kecium sama masakan mbok Lindu. Lu kenapa kelihatan kusut gitu?"
Hana memilih duduk, menarik salah satu buku yang penuh debu. Ruangan ini adalah ruangan yang paling jarang dimasuki orang kecuali saat ayahnya pulang.
Tarik napas, keluarkan. Tarik lagi, keluarkan lagi. Sherly beranjak dari kursinya, berjalan mendekati Hana sambil melihat jendela.
"Kemarin waktu di Gunungkidul ada acara keluarga dan ternyata mereka mau jodohin gue sama Yoga. Dia anaknya bibi Anggi, teman kecil mama."
Tunggu? Siapa Yoga? Kenapa Hana sama sekali tak bisa mengingat pria dari jajaran keluarga Sherly kecuali Sandy handsome?
"Ganteng gak?"
"Ganteng sih, tapi.."
"Lah, terima aja kali. Mungkin suratan takdir lu emang dijodohin, Sher. Lu gak bakalan ketiban sial lagi, katanya lu mau menikah muda kan? Nanti gue susul deh!"
"Dia brondong, Hana. Umurnya dua tahun lebih muda dari gue! Dan gue nikah bukan mandang fisik, tapi soal kesetiaan dan menerima diri gue apa adanya."
Ah, hanya masalah usia Hana tak dibuat pusing. Banyak kok yang menikah beda usia. Brondong sekarang memang meresahkan.
"Gini aja deh, kenapa lu gak coba pdkt sama dia? Ajak kenalan secara baik-baik, face to face. Jangan langsung nyambar kayak petir, anak orang tuh! Paham kan?"
Lagi-lagi Sherly menghela napas panjang. Baginya Yoga adalah pria yang hanya tahu soal belajar, belajar dan belajar saja. Pasti pria itu gak bisa diajak enak-enak. Ah, kenapa otaknya jadi nyasar ke ranjang sih?
***
Meskipun respon Sherly terhadap rencana perjodohannya memang tak baik, tapi Yoga tetap yakin perempuan itu tak akan menolak. Ia tahu betul seperti apa sikap kakek Atmaja saat menginginkan sesuatu.
"Bu, sekarang Sherly pasti nggak mau bertemu denganku. Yakin nih aku harus tetap ke rumahnya?"
"Kamu takut diusir?"
Jelas tidak! Yoga bukan bocil rumahan yang bersembunyi di balik punggung orang tuanya. Ia akan menggagahkan diri dan mengajak Sherly berkenalan secara resmi.
Meskipun sudah saling mengenal, tapi baginya Sherly hanya mengetahui tentang Yoga sedikit saja. Ia ingin mendekati perempuan itu dengan caranya sendiri.
"Ayah yakin kamu akan memenangkan hatinya, Ga. Dari dulu kan anak ayah jagoan."
"Yoga hanya pria biasa, Yah. Bukan ultraman apalagi spiderman."