6.

1136 Kata
Silfa melihat sekeliling rumahnya yang sudah sepi, lantaran keluarganya saat ini sedang ada acara keluarga di luar kota, yang sayangnya Silfa tidak bisa ikut karena sedang ada mata kuliah penting yang di ambilnya yang membuatnya tidak bisa borong barang sekali pun. Alhasil, cewek itu kini terbangun di pagi hari sendirian. Seolah keluarganya yang ke luar kota belum cukup, asisten rumah tangganya pun hari ini sedang cuti.   Jadilah Silfa benar benar sendirian saat bangun tidur dan bersiap untuk berangkat ke kampus. Niatnya ia akan sarapan di kantin saja, tapi perutnya yang keroncongan seolah tidak mampu menyembunyikan kelaparannya. Mana di rumahnya tidak ada makanan sama sekali, rasanya Silfa bisa mati kelaparan jika seperti ini terlalu lama.   Jam masuk kelasnya masih cukup lama, Silfa pun bergegas menuju dapur untuk melihat apakah ada bahan bahan masakan ataupun makanan siap saji yang ada di sana. Dibukanya lemari yang ada di dapur satu persatu, berharap menemukan apa pun yang mudah di masak -- sebab jika Silfa menemukan potongan daging dan sayur sayuran akan percuma juga karena cewek itu tak bisa mengolah bahan bahan tersebut. Singkatnya, Silfa hanya mencari telur untuk digoreng. Praktis dan cepat saji bukan?   Akhirnya Silfa menemukan sebutir telur di dalam kulkasbya. Ia mengambil benda itu dengan girang, sampai akhirnya Silfa menyadari bahwa tidak memiliki nasi. Pupus sudah harapannya untuk sarapan sesegera mungkin. Ternyata mati lebih mudah dibanding berusaha mencari makan.   Ponselnya lalu berbunyi menandakan ada pesan masuk. Dilihatnya pesan singkat dari Asya untuk balasan pesan yang semalam. Seketika Silfa teringat sesuatu! Untuk apa ia repot repot memasak jika ada Asya si tetangga yang bisa direpotkan?   Silfa pun kembali berjingkrak sambil berjalan riang menghampiri rumah sebelah, dengan niat menumpang sarapan. Semoa Asisten rumah tangga di rumah Asya memasak menu yang enak dan menggugah selera makannya.   Silfa segera menyambar tasnya, lalu menutup pintu rumahnya yang saat ini kosong. Ia mempercayakan seisi rumah pada satpam komplek yang sudah menerima mandat untuk menjaga keamanan di sepanjang jalan komplek ini. Jadi ia tidak perlu khawatir ada barang barang di rumahnya yang hilang. Silfa juga sudah berdoa, barang siapa yang berani menginjakan kaki ke rumahnya dengan niat yang tidak baik -- seperti mencuri barang barang yang ada di dalamnya -- maka orang tersebut ia doakan secara khusyu agar matanya bintitan segede helm. Helm kyt pokoknya! Bukan helm gratisan yang didapat saat beli motor baru.   Silfa akhirnya memasuki rumah Asya, lalu berlari kecil untuk menuju ruang makan.   Dilihatnya Asya yang sedang menikmati sarapan bersama orang tanya. Silfa seketika tersenyum cerah saat meliat Mama dan Papa Asya yang berada di sana. Ada juga adik Asta yang masih duduk di bangku SMA, yang memiliki sikap tidak jauh berbeda dengan Asya.   Veya namanya. Cewek itu cukup diam dan tidak banyak tingkah. Sepanjang Silfa melihat, Veya hanya mengatakan hal hal yang menurutnya perlu. Serta, gaya Veya ini agak jauh berbeda dengan Asya yang terkesan cuek dan kasual. Veya tergolong masih kecil dan berantakan dalam berpakaian, belum mampu mix and match dengan baik. Terlebih, Veya juga memakai kacamata. Singkatnya, Veya memenuhi kualifikasi seorang siswa yang biasanya di bully dalam suatu sekolah.   Oh, tidak. Silfa tidak bermaksud judging, ia juga kasihan dengan Veya kok. Cewek itu jarang terlihat memiliki teman dan terbiasa sendiri. Silfa berharap Veya dapat menemukan jatk dirinya dan mampu berteman dengan baik bersama anak anak seusianya.   "Asyaaa!" Sapa Silfa saat ikut duduk di kursi makan. "Pagi Tante, Om, Veya!" Silfa menyapa anggota keluarga Asya satu persatu.   Mama dan Papa Asya tersenyum balik dan membalas sapaan Asya. Sedang Veya hanya tersenyum canggung karena masih tidak terbiasa dengan keceriaan Silfa.   Asya satu satunya yang menatap sengit ke arah Silfa. "Ngapain lo pagi pagi ke sini?" Todong Asya dengan pertanyaan, karena menangkap keanehan sikap Silfa yang pagi pagi sudah berkunjung ke rumahnya.   Asya tebak, sudah pasti Silfa memiliki niat terselubung karena pagi pagi buta sudah mampir ke rumahnya. Niat yang pasti akan merugikannya dan menguntungkan Silfa.   "Mau numpang sarapan yaa Om, Tante. Silfa lagi ditinggal ke tangerang sama Mama, Papa, dan adik. Silfa jadi sendirian deh di rumah dan gak ada makanan apa apa. Kasian banget kan Om, Tan, perut Silfa udah keroncongan. Masa nanti Silfa yang masih muda ini ditemukan mati kelaparan karena ditinggal keluarga dan ART. Beruntung ada tetangga maha baik yang akan menolong Silfa dalam kesulitan serta musibah apa pun. Iyaa teganggaku pahlawanku, jadi niatnya Silfa mau numpang makan di sini biar Silfa gak mati kelaparan." Silfa berbicara panjanf lebar demi menjelaskan kronolgisnya.   Yang menurut Asya sumpah! Barusan itu gak penting banget. Ucapan Silfa memang tidak pernag ada yang penting sih.   Mama dan Papa Asya hanya tertawa melihat cara Silfa menuturkan ucapannya, hingga mengambil sebuah piring untuk menuangkan nasi goreng sebagai menu sarapan keluarga Asya pagi ini.   "Kok ada yaa tetangga kayak gini. Hii, gue gak kenal siapa." Kata Asya seraya meledek Silfa sambil bergidik.   "Sebagai balas budi akan kebaikan keluarga lo yang udah memberikan gue sepiring nasi goreng." Kata Silfa menahan ucapannya sambil menunjuk nasi goreng yang kini ia suapkan ke mulutnya. "Gue akan mengantarkan lo sampe kampus sekalian lewat kan. Ya ampun gue baik banget kan, Syaaaa." Silfa kembali berteriak heboh untuk memuji dirinya sendiri.   Pagi itu, sarapan di ruang makan rumag Asya tampak lebih riang karena kehadiran Silfa. Tak jarang Asya dan Silfa pun beradu mulut karena perbedaan pendapàt, yang kerap kali dilakukan mereka berdua dalam mengisi persahabatannya.   Dalam diam Mama dan Papa bersyukur karena akhirnya Asya memiliki sahabat sekaligus tetangga sebaik teman teman kecilnya dulu. Masih terekam jelas di ingatan orang tua Asya, saat Asya bersedih berbulan bulan setelah ditinggalkan kedua sahabatnya yaitu Kirel dan Franda. Asya merasa sendirian berbulan bulan dan enggan berteman dengan siapa pun. Hingga akhirnya keluarga Silfa datang dan menempati rumah bekas tempat tinggal Kirel, lalu Silfa tampak mudah akrab dan gampang bermain dengan Asya.   Selesai sarapan, Asya dan Silfa pun bergegas untuk pamitan dengan kedua orang tua Asya. Lalu mereka berjalan menuju rumah Silfa untuk mengambil mobil yang sudah dikeluarkan Silfa. Silfa benar benar menepati janjinya untuk mengantar Asya ke kampus. Berbeda dengan Silfa yang diberi fasilitas kendaraan pribadi oleh orang tuanya, sampai detik ini Asya masih menjadi pengguna transportasi umum sebagai penunjang kebutuhannya untuk bolak balik dari rumah ke kampusnya. Mereka berdua sudah berada di dalam mobil, dengan Silfa yang berada di belakang kemudi. Silfa tampak fokus menyetir, membelah jalanan ibu kota, dengan tujuan ke kampus Asya terlebih dahulu baru kemudia ke kampusnya.   "Eh, Sya!" Silfa membuka pembicaraan untuk mengawali obrolan di dalam mobilnya saat ini, di tengah kepadatan lalu lintas yang tak pernah absen mewarnai jalanan ibu kota.   "Hmm," Asya menjawab dengan dehaman pelan untuk menanggapi panggilan Silfa. Cewek itu tampak memainkan radio yang ada di mobil Silfa untuk mengisi perjalanan mereka dari rumah ke kampusnya yang bisa memakan waktu lebih dari setengah jam.   "Gimana kemarin jalannya sama Rafa? Dia ada nanyain gue gitu gak?" Tanya Asya antusias seraya menyinggung kejadian kemarin malam saat Asya pergi bersama Rafael.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN