5.

1298 Kata
Rafael mendengus pelan, ia pikir Asya sudah lebih lunak dan akan membiarkannya melakukan hal tadi, mengingat suasana malam ini yang menduku. Rupanya tidak, Asya tetap seperti biasanya. "Lo kedinginan kan?" Tanya Rafael, berusaha untuk membela dirinya. "Sok tau." Asya berusaha kembali jutek pada Rafael. Ia berjalan cepat dan melangkah di depan Rafael. Rafael mempercepat langkahnya untuk mengikuti langkah Asya. "Pake jaket gue." Rafael membuka jaket berwarna kuningnya. Di pakaikannya jaket itu di tubuh Asya. Asya hanya diam, tak menolak saat Rafael memakaikannya jaket milik Rafael. Mereka kembali berjalan melihat tanaman-tanaman yang berada di sepanjang jalan. Sesekali Asya memotretnya melalui kamera ponselnya. Kini Rafael hanya memakai kaos berwarna putihnya, dengan celana jeans berwarna coklat. Serta kepalanya yang mengenakan topi hitam, dan kacamata minus yang suka di pakainya. Tempat ini cukup ramai di malam hari, hal itu karena pameran fauna tergolong jarang diadakan. Karenanya, banyak muda-mudi yang mengisi malam minggunya dengan mengunjungi tempat ini sebagai agenda kencan mereka. "Sya." Panggil Rafael, setelah Asya terlibat dengan tukang tanaman untuk sedikit bertanya perihal tanaman yang dilihatnya. "Apa?" sahut Asya masih tetap dengan nada malas setiap kali menjawab pertanyaan Rafael. "Gue suka, cinta, dan sayang sama elo." Ungkap Rafael lagi-lagi. Asya sama sekali tidak terlihat kaget, karena pasalnya hampir tiap hari Rafael mengatakan ini Alih-alih terkejut, Asya kembali mendengus. Jika kemarin ia masih bisa santai menanggapi pernyataan Rafael, rasanya saat ini seperti mimpi buruk. "Gue tau." Jawab Asya singkat. "Terus?" Rafael berusaha mengejar jawab Asya, mengingat jawaban Asya yang singkat dan tidak ada niatan untuk melanjutkan ucapannya. Asya tak lantas menjawab, ia sibuk merapikan ikatan rambutnya yang berantakan, dengan mata yang terus menjelajah sekitar, seolah engga merespon pertanyaan Rafael berikutnya. Namun, setelah beberapa detik, akhirnya Asya menjawab, "Terus apa?" Asya malah balik bertanya, dengan nada yang masih rendah, seolah tak tertarik dengan pembahasan Rafael kali ini. Ralat, Asya tidak pernah tertarik dengan pembahasan yang dibuka Rafael karena pasti menuju ke arah sana. Rafael menghembuskan napas beratnya. Mendengar Asya yang malah menjawabnya begitu santai. "Kalo lo gak suka sama gue, kenapa lo gak pernah menghindar setiap gue deketin?" Tanya Rafael, pertanyaan yang mengganjal di hatinya selama ini kini mulai di ungkapkan. Seperti sekarang contohnya, Asya bukan tidak punya teman di kampus. Seharusnya Asya bisa saja minta antar oleh teman teman kampusnya yang lain untuk mengerjakan observasi ini. Akan tetapi, Asya malah menyetujui ajakannya. Hal ini kan jelas membuat Rafael berpikiran bahwa ia memiliki harapan. Asya terkekeh mendengar pertanyaan Rafael. "Kalo lo tau gue gak suka sama lo. Kenapa elo masih terus deketin gue?" Asya membalikan pertanyaan Rafael, membuat kata-kata itu semakin berkelit. Sialan! Rafael benci dengan Asya yang pandai memutar kata-kata. Tapi di sisi lain, daya tarik cewek ini memang dalam hal itu. Tapi bukan berarti Rafael menyukainya di saat seperti ini. "Karena gue cinta sama elo. Gimanapun sikap lo gue akan tetep berusaha ngedapetin lo. Tapi, Sya. Kalo suatu saat nanti gue suka sama orang lain, karena elo nya yang gak pernah ngerespon perasaan gue, gimana?" Rafael kembali melontarkan pertanyaan. Ia ingin tahu, apakah Asya tipe yang hanya tidak ingin kehilangan penggemar atau bagaimana. Asya terdiam, mendengar pertanyaan Rafael kali ini. Entah mengapa saat mendengar itu hati Asya seakan tidak rela. Bagaimana jika Rafael nantinya akan berpaling mencintai orang lain? Orang lain yang akan lebih menghargai perasaan Rafael di bandingkan Asya. Mengapa Asya harus tidak rela, padahal berulang kali Asya mengatakan tidak menyukai Rafael. Tak ingin kelihatan ragu, akhirnya Asya menjawab, "Itu hak elo! Gue kan bukan siapa-siapa elo." Jawab Asya kemudian. Meski bingung harus menjawab apa, akhirnya Asya menemukan satu jawaban yang tepat, yang tentunya tidak menjatuhkan harga dirinya. Rafael tak lagi menyahut. Cowok itu hanya mengangguk-angguk dan terdiam. Sisa malam itu, tak ada lagi pembahasan perihal perkara pernyataan cinta Rafael. Mereka hanya berjalan menyusuri area itu untuk menyelesaikan tugas Asya. Namun, bukan berarti Rafael menyerah begitu saja. Ia hanya merasa cukup untuk malam ini, ia juga tidak akan membuat Asya ilfil hingga menjauh karena perasaannya yang berlebihan dan memaksa. Ia ingin Asya menyukainya secara perlahan, seiring dengan kehadirannya yang menemani hari-hari Asya meski bukan menjadi yang terpenting. Saat suasana semakin ramai, dengan para pengunjung yang terus berdatangan, area itu menjadi terasa penuh dan sesak. Berjalan pun menjadi terasa sulit, harus saling berhimpitan agar mampu mencapai objek yang dituju. Hal itu membuat Rafael terpisah dari Asya. Kini, dilihatnya Asya yang terdiam di posisinya, tampak kebingungan mencari keberadaan Rafael. Rafael pun segera berjalan menghampiri Asya, dengan perjuangan yang cukup sulit mengingat sesaknya tumpahan manusia di tempat ini. Saat berhasil mencapai Asya, Rafael pun menggapai telapak tangan Asya untuk digandengnya. Asya yang merasakan sentuhan di telapak tangannya terkejut, lalu menoleh seketika. Ia nyaris memukul orang asing yang dikiranya akan melakukan pelecehan seksual dengan tasnya. Namun, saat melihat Rafael tengah berdiri di sampingnya, ia bernapas lega. “Rame banget, nanti lo ilang. Karcis parkir kan sama lo, tar gue gak bisa keluar.” Rafael tertawa pelan, berusaha mencari alasan akan genggaman tangannya itu. Asya hanya mengangkat bahu, pertanda tidak protes. “Iyaa, harusnya dari sore ya, biar gak kebagian rame gini.” Asya berusaha menyahut santai, tanpa memprotes gengaman di tangannya. Keduanya kembali berjalan, dengan kedua tangan yang saling bertaut, agar tidak terpisah di antara keramaian pengunjung. Diam-diam, Asya sibuk berperang dengan perasaannya. Tidak bisa, ia tidak bisa menyukai Rafael. Tidak boleh, ia jelas tidak boleh memiliki perasaan pada Rafael. Tidak mungkin. Tidak mungkin ia sampai pada tahap menyadari perasaan ini. Asya tidak mungkin mencintai Rafael.   ***   Hari sudah semakin malam, Rafael dan Asya pun hendak pulang. Namun sebelum pulang Asya ingin ke toilet sebentar. Asya pun menitipkan tas dan handphone nya pada Rafael. Karena Asya takut handphone dan tas nya akan basah jika di bawa ke dalam toilet. Selama handphone Asya di pegang Rafael, Rafael melihat-lihat isi handphone Asya. Lock screen ponsel Asya menunjukan foto Asya dengan Silfa yang paling pertama terlihat oleh Rafael. Rafael pun kini tau satu hal baru tentang hidup Asya. Ternyata Asya sangat akrab dengan teman semasa SMA nya itu. Ia hanya memandangi apa yang terlihat dari lock screen tersebut, berupa notif dari beberapa aplikasi yang dihiraukan Asya. Rafael tersenyum, Asya memang tipikal cewek yang kerap kali menimbun notifikasi di ponselnya. Drrtt.. tiba-tiba saja ponsel itu bergetar, menandakan ada pesan masuk dari salah satu aplikasi chat yang banyak digandrungi saat ini. Terpampang jelas nama Silfa, sebagai pengirim pesan tersebut. Rafael pun tak bermaksud lancang untuk membaca pesan itu, tapi pop up yang muncul di ponsel tersebut membuat Rafael tanpa sengaja membaca isi pesan dari Silfa. Slifa : Ciee yg satnite barengan Rafa. Maau kali.. ihh asya! Gue udah di follback dong ama Rafa. Cepetan lah lu pulang, gue mau curhat banyak Rafael terkejut setengah mati saat membaca isi pesan tersebut. Matanya membola dengan sempurna, maksudnya... Silfa menyukainya? Silfa sering curhat dengan Asya tentang perasaan cewek itu terhadapnya? Sejak kapan? Kok bisa? Kenapa harus Silfa? Ralat, kenapa Silfa harus teman Asya? Sial! Segala pertanyaan kini mendadak bertebaran di kepalanya. Ia bisa gila, memikirkan terjebak di antara persahabatan dua wanita.  Kali ini Rafael mengerti tentang alasan Asya sebenarnya. Tapi, jika Asya bisa menghargai perasaan Silfa, mengapa Asya tak pernah bisa menghargai Rafael yang tak pernah letih mencintainya? "Ayok pulang, mana hape sama tas gue!" Suara Asya mengagetkan Rafael yang masih terpikirkan tentang isi pesan dari Silfa. "Eh ayuk." Rafael yang tersadar pun segera mengembalikan tas dengan ponsel Asya. Ia buru-buru memencet tombol di samping ponsel Asya untuk mematikan layar yang semula menyala. Asya menerima uluran Rafael, tanpa repot-repot mengecek ponselnya terlebih dahulu, Asya sudah menjejalkan ponsel itu ke dalam tas. Ini juga yang Rafael sukai dari Asya, cewek itu jarang memainkan ponsel jika sedang terlibat dengan orang lain. Rafael menyukai segala hal yang berkaitan dengan Asya, bahkan Rafael nyaris hafal dengan segala kebiasaan Asya. Namun, sebuah fakta yang baru saja ia ketahui, mendadak membuat kepalanya pening. Apa yang harus dilakukan Rafael?   *** 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN