"Di mobil ada temen gue, yang mungkim lo kenal. Gue minta sama elo jangan ngomong macem-macem." Di perjalanan menyebrang Asya mengingatkan Rafael, berharap cowok itu dapat mengikuti ucapannya.
"Maksudnya? Macem-macem apaan?" Rafael bingung, tidak mengerti apa yang di maksud Asya. Genggaman tangan Asya pun mulai di lepaska saat mereka hampir sampai di sebrang.
"Lo jangan ngomong apa-apa tentang kita." jelas Asya.
"Kita? Sya, elo... ya ampun? Jadi selama ini lo nganggep kalo kita.." Rafael menggantung kalimatnya. Ia tersenyum jail menatap Asya. Tapi ucapan Asya memang membuatnya seolah mereka berpacaran. Senyumnya semakin merekah dengan pikirannya itu.
"Apaan sih? Pokoknya lo jangan ngomong macem-macem soal semuanya. Jangan berlagak kalo lo emang suka sama gue!" Sentak Asya karena kesal dengan pemikiran Rafael.
"Loh, emang kenapa?" tanya Rafael bingung.
"Gue malu sama temen gue!" sentak Asya asal.
Rafael pun hanya terdiam saat Asya berbicara seperti itu. Semiris itukah nasib Rafael, sampai Asya pun malu jika temannya tau bahwa Rafael menyukainya. Hanya menyukai, belum menjadi pacar. Segitu tidak sukanya kah Asya pada Rafael?
Silfa pun keluar dari mobilnya, saat melihat Asya yang sedang berdebat dengan Rafael. Matanya melihat Rafael tak percaya. Sosok itu tak ada yang berubah, masih tetap begitu menawan di matanya. Sosok yang selama ini di cari Silfa diam-diam, akhirnya Silfa mampu mendapatkan informasi tentang keberadaannya. Dan saat ini sosok itu berada di hadapannya.
"Lama banget sih lo!" Asya mengomel, saat Silfa sedanh asyik senyam-senyum sendiri memandangi Rafael.
"Gue kan juga baru pulang. Ehh, elo Rafa kan?" Silfa yang sebenarnya sudah tau bahwa itu Rafa berpura-pura baru tersadar, biar seolah bahwa semuanya ini kebetulan.
"Kok lo kenal gue sih?" Rafael menatap Silfa bingung. Ohh tidak! Mungkinkah Rafael tidak ingat siapa Silfa? Namun Silfa tak langsung berpikiran buruk pada Rafael, yaa namanya manusia pasti punya lupa. Lagipula Silfa sadar dirinya memang tidak terlalu penting untuk di ingat oleh Rafael.
"Dia temen SMA lo kan?" Asya yang geram melihat Rafael tidak ingat pada Silfa pun mengingatkannya.
"Ohh iya! Elo Silfa yaa? Sorry sorry gue lupa. Elo temen Asya?" Rafael pun baru teringat saat Asya mengingatkannya. Suara Asya memang berasa angin surga yang membuat Rafael mampu mengingat setiap detail hal rumit seperti rumus fisika misalnya. Rafael memang nyaris gila saking cintanya dengan Asya.
"Yaa gitudeh. Ternyata lo satu kampus ama temem gue." Di imbangi senyuman girangnya, Silfa berusaha untuk tidak terlalu salting di hadapan Rafael.
Asya hanya diam. Pikirannya sedang khawatir, takut Rafael berbicara macam-macam. Asya juga sama sekali tak memperhatikan apa yang di bicaraka Silfa dan Rafael. Biarkan saja, mereka reunian sejenak. Asalkan Rafael tidak akan berbicara tentangnya.
"Udah kali reuniannya. Pegel nih berdiri gini. Kagak haus apatuh?" Asya yang sudah mengembalikan dirinya, menyadarkan Rafael dan Silfa yang bertanya-tanya kabar teman SMAnya.
Silfa mendelik sebal, menoleh kearah Asya yang sepertinya bete dengan obrolan Silfa dan Rafael. Karena memang Asya tak tau apa-apa tentang apa yang di bicarakannya. Tapi tetep aja dalam hatinya Silfa mencibir pada Asya. Huh, gak bisa amat liat temen bahagia. Batin Silfa. Ia hanya tertawa, sambil menatap Asya jengkel.
"Yaudah ayuk pulang. Gue pulang yaa, Raf. Salamin ama anak-anak yang masih suka maen ama elo." Silfa pun pamitan, berjalan menghampiri pintu mobilnya. Di ikuti dengan Asya.
Dalam hati Silfa bersungut, Asya memang tidak bisa melihatnya senang sedikit! sialan! di mobil, ia akan menghabisi Asya!
"Ohh yaudah, hati-hati yaa. Ohh iya, Asya! Besok jangan lupa yaa," Rafael mengingatkan Asya.
Asya yang sudah memegang pintu mobil, sama halnya dengan Silfa, berhenti sesaat karena bingung dengan omongan Rafael. Asya saja yang di maksud Rafael tidak mengerti maksudnya besok jangan lupa apaan?
"Emang besok apaan?" tanya Asya panik, matanya sudah melotot, berusaha mengintimidasi Rafael agar tidak berbicara macam-macam.
"Besok satnite, nanti gue jemput lo di rumah lo jam delapan." Rafael menyeringai jail menatap Asya. Mata itu mengedip sebelah, membuat Asya terkejut dengan perkataan Rafael.
"Apaan sih? Gak jelas lo!" Omel Asya kesal, matanya melirik pada Silfa yang memperhatikannya begiti serius.
"Makanya jangan pikun, kan lo kemaren minta anter gue nyari tugas." Jelas Rafael, mengingatkan janji mereka.
Asya bernafas lega, mendengar penjelasan Rafael. Huh, hampir saja jantung Asya nyaris turun ke perut saat Rafael berbicara macam-macam. Silfa malah tertawa dengan tingkah Rafael. Dari dulu dia emang jail, tapi gue selalu suka. Batin Silfa, di iringi senyuman manisnya, yang saat itu menatap Rafael yang sedang tersenyum jail pada Asya.
Sama sekali tak terlintas di pikiran Silfa soal Rafael yang menatap Asya dengan pandangan beda. Silfa hanya sibuk dengan perasaan girangnya yang bisa bertemu dengan Rafael. Dan semoga ini bukan hanya pertemuan yang berlalu begitu saja, semoga setelah pertemuan ini Silfa bisa dekat dengan Rafael. Dan yang pasti Silfa akan sering-sering main ke kampus Asya.
Saat keduanya sudah di dalam mobil, Silfa berteriak dengan hebohnya, mengutarakan perasaannya setelah bertemu Rafael. Asya rasanya ingin memakai earphone dengan kualitas paling baik yang tidak bisa dirasuki suara dari luar, demi menghindari celotehan Silfa.
"Yaa kaan, Syaa! Ganteng banget kaan Rafa! Gue harus mulai mikirin nama-nama anak kita nanti nih!"
Asya menatap Silfa tidak percaya. Silfa dan Rafael mungkin akan cocok. Mereka sama-sama gila!
Tuhan, tolong lindungi Asya yang masih waras dari dua orang gila yang berada di sekelilingnya ini. Asya ingin tetap waras.
***
Malam itupun tiba. Malam minggu, malam yang biasanya sering di pakai untuk anak muda jalan dengan pasangannya. Dan walaupun Asya bukan pacar Rafael, namun Rafael sangat senang bisa menghabiskan waktu malam minggunya dengan Asya. Mungkin inilah yang di namakan kebetulan, saat Asya meminta bantuan untuk mencari tugas pada Rafael. Dan yang menentukan harinya pun Asya, meski Asya hanya memberitahu tanggalnya, namun Asya tidak tau bahwa hari itu adalah malam minggu.
Di bawah sinar rembulan, dan taburan bintang yang berkelip bergantian, Rafael dan Asya terus berjalan menyusuri pameran tanaman yang di gelar setiap malam minggu itu. Pameran yang tidak bertempat di sebuah ruangan, namun bertempat di alam terbuka. Dinginnya angin malam terasa menusuk kulit Asya yang saat itu hanya memakai kemeja dengan lengan sampai sikut.
Perlahan, tangan Rafael diam-diam mulai merangkul tubuh Asya. Asya yang merasa tangan Rafael melingkar di bahunya pun langsung menoleh, menatap Rafael. Rafael hanya membalasnya sambil tersenyum. Asya tertegun, memandang Rafael yang tersenyun begitu manis di hadapannya, dengan posiai Asya yang masih di rangkul Rafael, Asya mendongkak menatap Rafael dengan senyuman manisnya.
Degg.. jantung Asya pun mulai berdegup. Saat dengan tepatnya pandangan mereka bertemu. Dan baru kali ini Asya mampu menatapn mata sipit Rafael. Perasaan aneh tiba-tiba menjalar di hatinya. Tidak! Tidak mungkin! Asya tidak mungkin mencintai Rafael. Apalagi kini sebuah fakta terbuka, bahwa Asya memang tidak akan mungkin bisa bersama Rafael, meski sampai ribuan kali Rafael menyatakan cintanya, tekad Asya sudah bulat untuk tidak akan menerima Rafael. Silfa sangat mencintai Rafael, sedari dulu, dam Asya sangat tau tentang itu. Betapa tulusnya perasaan Silfa untuk Rafael, yang mungkin selama ini hanya berlangsung di hati Silfa sendiri.
Asya akan memastikan, ia tidak akan bermain gila dengan terlibat hubungan yang akan menghancurkan persahabatannya. Pilihan terbaik adalah ia harus membunuh segala perasaan yang berpotensi tumbuh di hatinya.
"Lepasin ahh!" Asya kembali tersadar, dan menguasai dirinya kembali. Ia melepaskan tangan Rafael yang tadi melingkar di pundaknya.