Episodeukiran yang berbicara
Bab 1: Ukiran yang Berbicara
Di sudut kota tua yang terletak di lereng pegunungan Vena, berdiri sebuah rumah kayu bercat abu terang. Angin yang membawa wangi kayu pinus mengalir dari celah jendela, berbaur dengan suara halus alat pahat yang mengenai permukaan kayu. Di dalam ruangan berdebu itu, seorang pria tengah menunduk dalam diam. Ia memegang sebilah pahat kecil, jari-jarinya kuat namun lembut saat menyentuh setiap detail ukiran. Namanya Aldian Raka. Usianya tak lagi dua puluhan, namun cara ia menatap dunia tetap jernih, seperti seorang anak kecil yang jatuh cinta untuk pertama kali.
Ia tidak menciptakan patung, ia membebaskan jiwa dari dalam kayu.
Sudah dua minggu ia mengerjakan sebuah pahatan setinggi lutut—seorang perempuan yang duduk sambil menundukkan kepala, rambutnya terurai ke samping, dan tangannya memegang sehelai bunga kamboja. Wajahnya belum diukir. Aldian belum berani. Seakan-akan, ketika wajah itu lengkap, ia harus mengakui bahwa rasa yang telah ia kubur bertahun-tahun lamanya... ternyata belum mati.
Waktu terasa menguap begitu saja setiap kali ia berada di bengkel kecil itu. Jarum jam tua di dinding berderak pelan, menandakan pukul tiga lewat lima belas. Di luar, burung-burung jalak menyanyikan lagu sore seperti biasa. Tetapi di dalam dirinya, ada sesuatu yang tidak biasa—gemetar halus di perutnya, seperti orang yang menanti seseorang yang tidak tahu akan datang atau tidak.
Aldian berhenti memahat. Ia berdiri, menghela napas, dan mengambil cangkir dari atas meja. Ia menyesap kopi hitam yang kini hanya menyisakan hangat samar di lidah. Matanya menatap pahatan yang belum selesai, dan dalam hening, ia bertanya dalam hati, "Elira, apa kau masih ingat suara kayu ini?"
Dulu, saat mereka masih belia, Elira pernah berkata padanya, "Aku lebih percaya pada ukiran daripada kata-kata. Kata bisa hilang, tapi pahatan itu tetap bicara meski orangnya sudah tiada."
Itulah mengapa Aldian masih memahat. Bukan untuk dijual. Bukan untuk pameran. Tapi karena hanya lewat kayu, ia bisa bicara pada masa lalu yang tak ingin ia akui sebagai kenangan.
---
Delapan tahun lalu, Elira datang ke bengkel ini untuk pertama kalinya. Ia bukan pelanggan. Hanya gadis yang ingin tahu bagaimana suara pahat bekerja. Ia duduk di sudut ruangan, memperhatikan Aldian memahat. Tak banyak bicara, namun senyumnya... senyumnya seperti lampu minyak di malam mati listrik. Hangat dan tulus.
Mereka tak pernah pacaran. Tak pernah pula mengikat janji. Namun bagi Aldian, Elira adalah definisi dari “berhenti mencari.”
Sayangnya, waktu tak selalu memberi ruang pada mereka yang bersabar. Elira pergi. Mengembara. Menjadi penulis. Kota ini hanya sebuah titik dalam peta hidupnya. Dan Aldian tidak pernah memintanya kembali. Ia hanya memahat. Diam-diam, ia menyalurkan rindunya ke dalam serat kayu jati dan mahoni.
Hingga kini.
Hingga tiba-tiba, wajah yang ia hindari mulai membentuk dirinya sendiri dalam imajinasi. Jemarinya bergerak otomatis. Dan kini, pahatan itu hampir selesai.
---
Hari itu, suara lonceng gereja terdengar lebih nyaring dari biasanya. Kota kecil itu sedang bersiap menyambut festival sembilan tahun. Sebuah tradisi kuno di mana para perajin, penyair, musisi, dan pelukis dari seluruh negeri datang untuk berkarya bersama. Festival yang dahulu mereka datangi bersama, sekadar mencuri pandang di tengah lautan obor dan lantunan musik kecapi.
Aldian sebenarnya tak berminat datang. Ia tak suka keramaian. Tapi entah mengapa, tahun ini ia merasa ingin berjalan ke tengah kota. Bukan untuk mencari siapa-siapa. Tapi siapa tahu... takdir punya jalur yang membingungkan.
Ia menyimpan pahatnya. Menutup tirai. Mengenakan jaket kain wol tua. Dan sebelum ia keluar, matanya melirik ke arah pahatan perempuan itu. Masih tanpa wajah. Namun sekarang, sudah lebih dari sekadar kayu.
"Besok," bisiknya. "Besok, aku ukir wajahmu."
---
Langkah Aldian menyusuri trotoar batu yang basah sisa hujan subuh. Toko-toko sudah mulai dihiasi lentera kertas dan anyaman bambu. Anak-anak berlarian sambil memegang gulali, dan para pedagang menggantungkan cita rasa manis dan harum di udara. Tapi bukan itu yang dicari Aldian.
Di benaknya hanya ada satu kemungkinan yang tak masuk akal: Bagaimana jika Elira datang tahun ini?
Ia tak pernah menerima surat. Tak ada kabar. Tapi kerinduan kadang membentuk harapan yang cukup untuk membuat seseorang percaya, tanpa alasan yang jelas.
Di sebuah sudut toko musik klasik, seorang pemuda memainkan biola. Nada-nadanya menggantung seperti embun pagi. Dan di sana, tepat di seberang jalan... ada sesosok perempuan berdiri. Memakai mantel biru tua. Rambutnya kini sebahu. Ia sedang membaca pamflet festival yang tertempel di dinding kayu. Dan saat ia membalikkan tubuhnya—
—mata mereka bertemu.
Waktu seperti berhenti. Tidak ada teriakan. Tidak ada musik. Tidak ada kata. Hanya dua pasang mata yang saling menyapa dengan bahasa yang tak pernah diajarkan di sekolah mana pun.
Elira tersenyum. Bukan senyum sopan. Tapi senyum yang sama. Senyum lampu minyak.
Aldian mengangguk pelan. Tidak tergesa. Tidak juga heran. Seolah ia tahu, Elira memang akan kembali. Bukan karena ditarik takdir, tapi karena cinta yang diam kadang justru paling kuat arah tujuannya.
---
Hari pun menjelang senja. Di kota Vena, senja datang dengan lambat, seperti ingin memberi waktu bagi hati-hati yang tertinggal untuk menyusul. Dan di hari itu, dua hati yang pernah diam—kini berdetak di waktu yang sama.
Pahatan itu belum selesai. Tapi Aldian tahu, kini ia punya alasan untuk menyelesaikannya. Bukan sebagai kenangan. Tapi sebagai awal dari sesuatu yang sudah lama menunggu untuk dimulai ulang, tanpa harus dari awal.
---
Kutipan Bab 1:
"Kadang, yang paling keras bukan suara—tapi ukiran
yang diam. Karena di sanalah cinta bisa tinggal tanpa takut hilang."