BAB 7

1990 Kata
Keenam pemuda itu berdiam diri, memacu kuda secepat-cepatnya ketika mereka melewati jalan setapak tanpa hambatan. Di depan mereka, jarak antara jalan setapak dengan kaki gunung Sanhora semakin dekat, sebelum akhirnya mereka memutar ke arah Barat saat matahari sudah berpindah hingga menyinari tubuh mereka dengan cahaya jingganya. Setelah mereka berkuda sejauh berpuluh-puluh kilometer dari rumah Leim dan Leom, mereka tiba di padang rumput sabana, mereka berhenti disana saat matahari hampir saja terbenam lalu mendirikan kemah, malamnya mereka langsung membuka peta dan berdiskusi tentang jalur apa yang baik untuk mereka tempuh ke rintangan kedua. “Padang sabana ini sangat luas, barangkali kita akan menyusuri pantai sehari penuh besok, kemudian melewati hutan lagi,” gumam Aime menunjuk area peta tanpa gambar pohon-pohon. “Baguslah, setidaknya kita bisa fokus memacu kuda secepatnya,” ujar Baldwin..  “Tetapi dimana kita akan singgah untuk tantangan kedua?” tanya Dion yang terlihat tidak bersemangat, karena kalau mereka memacu kuda dengan cepat, itu berarti dia tidak akan bisa bersenandung, atau kalau dia bersenandung dia akan masuk angin atau kemasukan serangga. “Di sini,” tunjuk Aime pada salah satu bagian peta. “Sebuah daerah bernama Merksi. Kira-kira sejauh—delapam puluh meter dari sini,” tambahnya, kemudian dia membuka buku di sebelah peta dan membaca informasi dari sana. “Merksi adalah sebuah daerah rawan konflik antara suku Mium dan suku Teryu. Suku Mium adalah suku berisi laki-laki dan suku Teryu adalah suku berisi perempuan. Untuk menghasilkan keturunan mereka saling bertemu pada musim tertentu.” “Ha? Apa-apaan mereka?” sela Toby. “Apa benar daerah itu ada. Maksudku, laki-laki dan perempuan adalah dua hal yang tidak pernah terpisahkan.” “Ya, memang ada. Aku pernah mendengar kedua kepala suku datang ke kerajaan Altis pusat untuk meminta ayah menghentikan konflik mereka. Tetapi, saat ayah memenuhi keinginan mereka, mereka tetap saja tidak pernah akur,” ujar Caesar, membuat semuanya mengangguk. “Di dunia kami tidak ada yang seperti itu,” gerutu Toby. “Maksudku laki-laki selalu membutuhkan perempuan dan begitupun sebaliknya. Bagaimana mereka bisa punya keturunan kalau begitu.” “Karena itulah dijelaskan disini Tob, mereka bertemu pada musim tertentu,” jawab Aime kesal karena Toby seperti tidak mendengar kalimat terakhir yang dibacakannya tadi. Toby dan Aime berhenti berdebat tentang suku Mium dan suku Teryu saat Luce memandang ke langit-langit dan berkata “wow.”, bintang-bintang terlihat berwarna biru, di kegelapan malam membuat keenam pemuda itu takjub. Luce tak dapat menahan air mata saking bahagianya, salah satu cita-citanya terwujud. 'Keluar dari rumah, berdiri di kegelapan malam sambil melihat bintang-bintang.' Keenam pemuda itu tanpa sadar saling merangkul, kecuali Toby yang berada di ujung kiri dan Aime di sebelahnya, tangan Toby terlalu pendek untuk merangkul Aime sedang Aime tidak bisa merangkul Toby karena tubuh Toby terlihat gemuk, maaf maksudku terlalu besar. Aime tersenyum, dia merasa bahwa bintang biru itu adalah sesuatu yang diinginkannya. Bayang-bayang dirinya saat ayahnya memaksanya untuk terus belajar terlintas di pikirannya bersamaan dengan saat Leim memberinya teka-teki. Sementara itu, Dion berenandung lagi. Malam ini ketika bintang terlelap Di Sebuah padang yang akrab dan asing Setelah melewati rumah warna-warni Jangan lupakan malam ini Jangan lupakan tempat ini Saat jutaan bintang biru tersenyum ¶¶¶¶¶ Keesokan harinya, mereka terbangun. Rumput-rumput kecokelatan terlihat jelas seperti saat musim gugur, dan udara terasa sedikit panas setelah matahari memancarkan sinarnya yang kuning kemerahan. Tidak seperti kemarin, hari ini mereka berangkat lebih  awal, memacu kuda dengan cepat-cepat. Selama itu, mereka tidak melihat apapun kecuali rumput-rumput kering di sekeliling,  sedang kalau mereka memutar kepala sembilan puluh derajat ke Selatan mereka akan melihat pantai dan laut biru yang sesekali menyegarkan mata kalau mereka merasa suntuk.                            “Apa kita perlu istirahat sekarang?” keluh Toby berusaha membesarkan volume suaranya agar tidak tenggelam karena udara, sepanjang perjalanan dia sudah menahan rasa laparnya, saat ini dan seterusnya dia tidak ingin lagi menderita seperti kemarin. Semoga saja. Caesar yang memimpin perjalanan itu menghentikan kudanya lalu menyrusuh semua orang untuk beristirahat. Dia tersadar kalau mereka baru berhenti setelah berjam-jam perjalanan, hasratnya untuk cepat tiba di Tenggara hampir saja membuat dia melupakan segalanya. Baldwin merenggangkan tubuhnya sampai terdengar bunyi sendi. “Apa masih jauh Aime?” Aime membuka gulungan peta. “Baru seperempat jalan.” “Huh…” Toby menghela napas, sembari membagi-bagikan bekal kepada semua orang. Bekal dari Leim dan Leom, kue berwarna-warni yang membuat Toby jadi rindu rumah-rumah berwarna milik Leim yang berantakan, karena itu lebih baik ketimbang padang hampa yang panas ini. Sementara yang lain merenggangkan badan, Toby sudah lebih dulu menyantap kue miliknya hingga dia tiba-tiba berhenti karena menyadari ada sesuatu di balik semak-semak. Pikirnya itu adalah rusa atau hewan-hewan  seperti kadal atau lainnya. Tetapi semakin lama jantung Toby semakin berdegup kencang menyadari bahwa makhluk misterius itu semakin banyak dan banyak lagi. Deg. Toby tertegun saat Baldwin memegang pundaknya. "Ada apa Tob?" "Ada sesuatu dibalik semak-semak," jawab Toby dengan nada rendah membuat Baldwin langsung berdiri dan memegang sarung pedangnya, karena reaksinya itu membuat yang lainnya ikut memasang posisi berjaga-jaga juga. "Keluarlah!" teriak Baldwin setelah melemparkan batu ke semak-semak. Namun tak ada jawaban, yang ada hanya angin semilir yang bertiup kencang. "Mungkin matamu kelelahan Tob." "Ah mungkin," gumam Toby ragu lalu duduk kembali, menyantap sepotong kuenya yang masih tersisa. Semuanya terasa tenang dan damai. Tak ada kejadian apapun hingga lima harimau padang yang entah berasal dari mana mengerumuni mereka dengan cepat. Mata hewan itu siap menerkam apapun dihadapannya, seperti sudah berhari-hari tidak mengunyah. Keenam pemuda itu berdiri dari tempatnya. Kaki Toby gemetar, dia bersembunyi di belakang Caesar, tak ingin menatap mata harimau itu untuk yang kedua kali.  "Ah s**l, Aime, Luce jaga kuda! Baldwin siapkan pedangmu, Dion panah mereka jika perlu dan Toby, lempar batu kepada mereka jika mereka mendekat!" Perintah Caesar, kemudian setelah beberapa lama dia menyusun rencana agar satu persatu orang naik ke kuda kemudian lari, sementara yang lainnya siap siaga. "Dion, kamu naik lebih dulu. Sementara Dion naik, Toby kamu sudah harus mengumpulkan banyak batu dan bersiap melempar hewan-hewan ini. Setelah itu disusul Luce serta Aime bersamaan. Kemudian Baldwin, dan terakhir aku. Posisi saat kuda berangkat adalah Aime dan Luce di depan, kemudian dibarisan kedua Dion dan Toby yang nantinya akan terus melempar mereka dengan anak panah dan batu selama perjalanan. Serta aku dan Baldwin di kiri dan kanan mengawasi Dion dan Toby kalau harimau itu mendekat. Paham?" "Paham!" seru kelimanya bersemangat. Setelah itu, mereka melakukan apa yang direncanakan. Dion naik buru-buru sambil memegang panahnya. Setelah berhasil menunggangi kuda, dia langsung membidik ke salah satu harimau yang membuat Baldwin sedikit kewalahan. Kemudian, Toby juga sudah menunggangi kudanya setelah mengumpulkan banyak batu sembari menggendong tas perbekalan. Setelahnya, Aime dan Luce. “Baldwin, dalam hitungan ketiga…” kata Caesar, sementara para harimau semakin mendekat. “Satu, dua, tiga—“ Kedua pemuda yang punya tubuh paling atletis diantara yang lain itu naik dengan buru-buru. Baldwin menepis wajah salah satu harimau yang melompat ke arahnya sebelum dia berhasil menunggangi kuda membuat harimau itu mengerang kesakitan, sedangkan keempat harimau lain langsung . Dengan buru-buru keenam pemuda itu memacu kuda. Sementara keempat harimau mengejar mereka dengan kemarahan yang sangat mengerikan, suara kekalutan mereka hiruk-pikuk memenuhi padang. “Apa harimau tidak bisa menyusul kuda? Setahuku mereka lari dengan cepat,” tanya Toby dengan suara keras.  “Tentu tidak Tob. Mereka lari 65 kilometer perjam. Kalau kuda bisa 88 kilometer perjam,” jawab Aime si tahu segalanya. “Tetapi, harimau di dunia ini barangkali berbeda dengan dunia kita.” “Sama saja Tob. Jangan pikirkan itu sekarang dan fokuslah dengan kudamu!” seru Caesar, menyuruh Toby untuk fokus atau kalau tidak dia akan jatuh dan mati konyol dimakan harimau.   “Baiklah.” Malang sekali keempat harimau itu karena tidak dapat membalaskan dendam temannya yang sekarang meraung-raung di tempatnya. Sepertinya sia-sia saja keempat harimau itu mengejar karena dia tidak dapat menyusul kuda. Sejak itu, mereka takut pedang setelah menerkam hampir beratus-ratus pengelana yang tersesat.  Harimau sudah sangat jauh di belakang. Kuda-kuda yang akhirnya kelelahan, perlahan mulai berlari normal. “Syukurlah hewan-hewan itu tidak memakan kita. Kalian lihat mata dan giginya tadi? Ditambah taringnya, ah tolonglah…” “Mungkin tidak kali ini Tob, tetapi bisa saja dia memakan kita nanti. Padang ini masih panjang jadi masih banyak harimau-harimau yang lain. Sedang aku belum makan sama sekali. Jadi orang pertama yang akan diterkamnya adalah kamu Tob, kamu yang paling bergizi diantara yang lain. Bersabarlah karena kamu akan kami jadikan umpan,” ujar Dion yang mulai kesal karena Toby terus-terusan berbicara, sedang dia tak dapat lagi bersenandung. Toby bergidik ngeri membayangkan tubuhnya di cabik-cabik, bola matanya ditusuk-tusuk dengan cakar, lehernya digigit. “Ah… kalau begitu kita tidak boleh singgah-singgah sampai tempat tujuan,” katanya setelah terbangun dari lamunan mengerikannya.   “Kenapa tidak? Lihatlah itu!” Luce mengarahkan semua orang untuk melihat ke pantai. “Kupikir pantai adalah tempat teraman agar kita bisa memakan perbekalan yang belum sempat dimakan,” sarannya dan semua orang mengangguk menyetujui membuat Luce tersenyum, baru kali ini dia mengeluarkan isi pikirannya. Mata mereka terpukau, setelah memacu kuda ke arah selatan sejauh lima puluh meter, pemandangan yang tak pernah mereka temui sebelumnya. Pantai yang dipenuhi batu karang dengan pasir putih yang bersih tanpa sampah-sampah seperti di dunia Baldwin dan kawan-kawan terdamparnya.  Sementara yang lain makan di atas batu karang, Luce, Toby dan Aime melangkahkan kakinya mendekati laut dan mendapati kumpulan ikan berwarna-warni. Merah, kuning, biru dan satu-dua berwarna hijau. "Melihat warna-warna ini aku jadi ingat kakek Leim dan Leom. Kira-kira mereka sedang apa sekarang," gumam Toby sembari bermain air. "Kupikir mereka berkebun di ladang atau mengecat apa saja yang bisa di cat," jawab Aime saat ini dia mencari benda-benda unik lainnya di dalam air. Di tangan kirinya sudah ada kerang dengan cangkang cokelat, juga benda unik yang entah apa berbentuk persegi, keras seperti batu, tanpa mata, hidung dan mulut. Aime yakin itu makhluk hidup karena didapatinya bergerak-gerak. Toby ber-hmm sebentar. "Buang itu Aime! Jangan memegang makhluk hidup apapun disini. Bisa saja itu beracun," tegur Baldwin yang datang setelah menyantap kue merahnya. Sementara Caesar dan Dion masih belum selesai, mereka tambah dua-tiga kue lagi. "Kupikir tidak masalah. Lihatlah kerang ini, mana mungkin ini beracun." "Kerang tidak beracun di dunia kita Aime. Tetapi di dunia ini, kita tidak tahu banyak hal. Bahkan apa air disini baik untuk kulit." Aime dengan iseng mencipratkan air ke wajah Baldwin. "Ppuih... Apa-apaan ini Aime." “Lihatlah, tidak masalah kan?” Baldwin meludah sebelum balas mencipratkan air ke wajah Aime. “Rasakan…” “Ah… kamu cura—cuihh… Aku menyerangmu satu kali tadi.”  “Hei ada yang sedang bermesraan rupanya. Kalian tidak mengajak kami?” seru Toby yang tadi sibuk berbicara dengan Luce, membahas tentang bagaimana matahari terbenam di dunia asing ini. Karena tak ada orang yang bisa disiram, Toby tiba-tiba menjadikan Luce sebagai korban yang berdiri tepat di sebelahnya. Luce mengucek mata karena terkena cipratan air. “Toby….” Dengan sedikit kesal Luce menyiram balik Toby. Tak lama, Dion dan Caesar datang hingga terjadilah perang air-airan, diiringi tawa yang memenuhi atmosfer, menembus bawah air membuat beberapa ikan seperti tersenyum. “Sungguh menyenangkan,” gumam Toby. Mereka lalu mengeringkan badan dengan angin laut yang bertiup kencang. Tubuh mereka yang tadinya basah semua kini kering sempurna. Terlihat awan-awan hitam yang menggumpal di langit-langit laut, menandakan akan terjadi badai. Setelah berkemas, mereka berangkat dalam keadaan mendung. Mereka kehujanan di perjalanan membuat pakaian mereka basah kembali. Malang, mereka salah menduga kalau badai hanya terjadi di laut. Badai memporak-porandakan padang dengan sama buruknya. Rumput-rumput yang kecokletan ikut menghitam, burung-burung dari laut bersembunyi kembali ke sarang mereka, hewan-hewan padang bersembunyi dengan sebisa mungkin dimana pun. Sementara keenam anak itu, melawan badai karena tidak menemukan tempat persembunyian apapun. “INILAH ALASANNYA MENGAPA PADANG INI DISEBUT PADANG HARAPAN,” teriak Dion berusaha bertahan di atas kudanya begitu pun yang lain. Toby juga ingin berteriak membenarkan apa yang Dion katakan, tetapi baginya tak mungkin, badai semakin kencang. Dia memegang erat kudanya namun sepuluh detik kemudian badai malah semakin menjadi-jadi membuat keenam pemuda itu tidak dapat bertahan dan terlempar. Semuanya porak-poranda. Mereka tak sadarkan diri. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN