BAB 6

2887 Kata
Lewat tengah hari mereka sudah menyusuri tepi sungai, kemudian memperhatikan bahwa dimana-mana banyak ditemukan buah-buahan yang tumbuh berkelompok-kelompok, ukurannya kecil-kecil sejempol manusia dewasa. Ada buah berwarna biru, ungu, hijau, jingga. Semua begitu menarik. Sedang Di udara terdengar suara burung yang berukuran kecil berterbangan kesana-kemari, banyak sekali dan terlihat sibuk. Alangkah kecilnya burung-burung itu, berwarna warni sama seperti buah di sekitaran, Toby bahkan sempat lupa rasa lapar karena pemdangan menakjubkan itu. "Kalau semua burung ini kujual di duniaku," pikirnya. "Aku pasti akan jadi manusia kaya-raya." Dengan tiba-tiba Caesar menyuruh semua orang berhenti, membuat kuda yang Luce tunggangi hampir saja jatuh terjungkang karena berhenti mendadak. "Kurasa ada rumah penduduk di sekitaran sini, lima tantangan untuk bisa mencapai kerajaan tenggara dengan selamat, dan barangkali disinilah tantangan pertama kita," kata Caesar memperhatikan ke arah selatan, barat, utara, timur lalu kembali ke selatan lagi. "Dari buku yang pernah aku baca seperti itu." "Buku? Oh tunggu sebentar," Aime turun dari kudanya, akalnya bekerja seperti memikirkan sesuatu. Dia lalu membuka tas dan mengambil peta serta buku seperti yang Caesar katakan. "Dapat!" serunya seraya membuka lembar demi lembar. "Nama daerah ini Teolkins." "Teolkins?" tanya semua orang kebingungan." "Ya. Tunggu, ada tulisan disini," seru Aime lagi. "Makanlah pelangi dengan rasa berbeda, lalu minumlah di air yang mengalir, maka temukan keajaibannya!" “Kebetulan aku lapar. Tetapi, dimana kita bisa makan pelangi?” tanya Toby dengan bodohnya. “Kupikir bukan pelangi sungguhan Tob,” jawab Aime. “Barangkali sesuatu yang berwarna,” timpal Luce. Setelah itu, Aime dan Luce saling melemparkan petunjuk demi petunjuk, sementara yang lain hanya menunggu apa yang akan dilakukan.  “Mungkinkah buah di sekitar sini?” “Ah benar Luce,” mata Aime membulat sempurna. “Kita harus memakan buah disini, dengan rasa yang berbeda.”  “Bagaimana cara mendapatkan rasa berbeda. Apakah dengan bentuk yang berbeda maka rasanya berbeda juga?” Aime memegang dagunya, sebelum sesuatu terbesit di benaknya. “Aha… bukan dengan bentuk Luce. Tetapi dengan warna.”  “Ah… benar.” “’Kemudian minumlah di air mengalir maka temukan keajaibannya’.” Aime kembali membaca potongan kalimat di buku. “Sungai.” “Benar Luce. Semua jawabannya sudah lengkap. Jadi tunggu apalagi, cepatlah!” perintah Aime kepada yang lain. Namun yang lain sedari tadi hanya terlihat melamun, tidak mengerti apa yang Aime dan Luce bicarakan. Aime menghela napas kesal sebelum lanjut bicara. “Pilihlah salah satu buah di sini, setiap orang harus memakan buah dengan satu warna dan tidak boleh ada yang sama.. Kemudian kita akan mencari sungai di sekitar sini untuk minum.” Semua orang mengangguk, lalu bersama-sama mencari buah-buahan di balik semak belukar atau di petak-petak kebun, hingga akhirnya semua orang mendapatkan buahnya masing-masing. Merah Baldwin, jingga Luce, kuning Toby, hijau Dion, biru Aime dan ungu Caesar. Semua orang makan secara bersamaan, sedetik kemudian ekspresi mereka jadi berbeda-beda. “Jadi rasa apa yang kalian dapatkan?” tanya Aime yang sudah menelan buahnya sambil tersenyum-senyum.  “Asin, aku baru mencoba buah seperti ini. Mungkin ini bisa dibuat garam seperti tebu dibuat gula. Begitu,” kata Baldwin bergidik. Sementara yang lain, Caesar mendapatkan rasa manis, Luce mendapatkan rasa asam hingga wajahnya yang selalu datar langsung berubah mengernyit, Dion tidak tahu merasakan apa pertanda bahwa buah yang didapatkannya hambar, sedang Aime suatu keberuntungan dia mendapatkan rasa umami, rasa terbaik yang pernah ada. Semua orang menatap Toby sekarang yang terlihat kesal. “Pahit,” gerutunya. Dia menahan lapar berjam-jam dan yang didapatkannya adalah buah dengan rasa pahit, malang sekali nasibnya. Tetapi penderitaannya itu malah mengundang tawa semua orang. “Ah tidak masalah, setidaknya semoga buah ini tidak beracun,” harapnya menghibur diri. Kemudian mereka menyusuri suara air mengalir yang terdengar samar-samar tak jauh dari tempat mereka berada. Sepuluh menit perjalanan setelah menyusuri jalan setapak, mereka akhirnya menemukan sungai dengan air terjun yang tak terlalu tinggi. Mereka minum disana untuk menghilangkan dahaga, Toby mengambil kesempatan dengan minum banyak-banyak untuk menghilangkan rasa laparnya juga. Setelah minum mereka mendongak, sesuatu membuat mereka takjub. Di seberang sungai, terlihat rumah yang mengingatkan kelima anak itu akan rumah kakek Ryu. Atapnya berbentuk bulat, setengah bola. Bedanya, hanya pada warna. Rumah ini terlihat lebih berwarna ketimbang rumah kakek Ryu yang hanya berwarna cokelat polos. Rumah ini warna-warni. Merah pada atap, kuning pada badan rumah, jingga tiang-tiangnya dan biru untuk tangga. Tak lupa sang pemilik juga membuat ukiran berbentuk pohon di dinding rumah dan mengecatnya berwarna hijau dan ungu. "Aku jadi ingat saat aku masih kecil. TK-ku di cat seperti ini," bisik Toby kepada Luce. Luce pura-pura mengangguk seolah tahu apa itu TK. "Apa kita perlu kesana?" tanya Baldwin kepada Caesar. Caesar mengangguk. "Ya, dan kurasa jawaban dari petunjuk pertama ada di rumah itu." Mereka akhirnya menyeberangi sungai yang cukup dalam dengan berenang, sementara yang tidak tahu berenang seperti Toby dan Luce menaiki batang kayu besar yang didorong oleh Baldwin dan Dion, kalau saja kayunya lebih besar lagi mungkin mereka cukup ber-enam dan tinggal mendayung dan seandainya mereka tidak berenang dan memutuskan untuk menyusuri hulu sungai, mereka akan sampai ke kaki gunung Sanhora. Jadi tak ada cara lain selain seperti itu. Dengan terengah-engah mereka akhirnya tiba di seberang, sementara kuda-kuda mereka tetap tinggal, serta beberapa barang berat lainnya seperti perbekalan dan buku-buku. Caesar mengetuk pintu rumah bertuliskan ‘MJKHBU”. “Kurasa tak ada orang di dalam.” “Apa pemiliknya sedang berkebun,” kata Luce sembari memperhatikan halaman di samping kanan rumah yang penuh dengan tanaman-tanaman menjalar.  “Aku tidak sedang berkebun.” Suara terdengar membuat Luce dan yang lainnya terlonjak. Tiba-tiba muncul seorang kakek berbaju merah terang dari arah samping kiri rumah. “Oh mohon maaf, kami tidak bermaksud lancang berada disini,” kata Caesar sopan, sementara sang kakek berbaju merah tadi tidak menggubris, fokus mengambil kunci kayu dari sakunya dan membuka pintu. “Masuk dan duduklah!” katanya, membuat keenam pemuda itu melangkahkan kakinya dengan canggung. Mata mereka langsung melihat sekeliling rumah dengan antusias, tak kalah berwarna daripada bagian luar rumah. Ada buku berwarna-warni yang berjejer rapi, serangga-serangga yang diawetkan lalu di cat sedemikian rupa, juga kursi-kursi tanpa sandaran berbentuk bulat dari batang pohon. Bahkan setiap lantainya pun di cat. “Aku pusing melihtanya,” bisik Toby kepada Luce. “Jadi apa tujuan kalian datang kesini,” kata kakek setelah menghidangkan minuman dan kue-kue dengan berbagai macam warna. Toby tanpa sadar langsung mengambil kue-kue itu, dua-tiga lalu dilahapnya. “Kami punya tujuan datang kesini, tetapi kami belum tahu apa itu,” jawab Caesar, memilih kata yang tepat untuk menggambarkan keadaan mereka sekarang. Kakek dihadapannya kebingungan. “Bagaimana maksudnya anak muda? Coba cerita apa yang membawa kalian kemari,” “Kami sedang dalam perjalanan menuju ke sebuah kerajaan di tenggara karena kerajaan Altis pusat sedang terkena musibah.” “Benarkah? Sudah lama aku tidak ke Altis Pusat. Kira-kira empat tahun lalu, kalau boleh tahu kenapa ini bisa terjadi?” Caesar menelan ludah. “Sebelum itu aku ingin memperkenalkan diri dulu, aku Caesar, putra kedua dari raja Ermolo. Kakakku sendiri, Bofur yang menghancurkan kerajaan dan memelihara beruang-beruang gunung. Beruang-beruang itu mengamuk memporak-porandakan rumah penduduk dan istana.” Sang kakek terpukau saat tahu di hadapannya adalah seorang pangeran. “Ah… malang sekali nasibmu Nak. Jadi apa yang bisa aku lakukan untuk membantumu?” Keenam pemuda saling bertatapan karena kebingungan. Bahkan Toby menghentikan aktivitas makannya sesaat. Mereka seolah berdiskusi untuk memutuskan apa yang sebenarnya terjadi sampai Aime lah yang angkat bicara. “Begini Kek, kami melihat sebuah peta bahwa sekarang kami berada di sebuah daerah bernama Teolkins. Setelah itu ada sebuah buku tentang desa ini. Buku itu berisi kalimat ‘Makanlah pelangi dengan rasa berbeda, lalu minumlah di air yang mengalir, maka temukan keajaibannya’” “Oh... aku mengerti sekarang,” kata kakek antusias. “Kupikir kalian harusnya bertemu dengan sepupuku Leim. Bukan aku. Karena dialah yang menulis buku itu dan diam-diam mendaftarkannya di perpustakaan Altis pusat.”  “Bisakah anda mengantarkan kami kesana?” “Tentu… tentu anak muda. Tetapi makan dan minumlah dulu sebelum teman kalian menghabiskan semuanya.” Toby langsung menjadi canggung saat kue-nya yang keenam sudah dimakannya sepotong. Membuat semua tertawa karena tingkahnya. “Makanlah lagi Tob, jangan malu-malu,” ledek Dion membuat Toby mengunyah cukup pelan dan itu menjadi kue terakhir yang dimakannya sebelum menyeruput minuman yang berwarna kemerah-merahan di meja. Setelahnya mereka pergi ke rumah Leim. erjalan menyusuri hilir sungai sekitar dua puluh meter, di pinggir jalan banyak pagar dan batang-batang pohon yang di cat berwarna-warni, bahkan batang-batang pohong dengan jalan setapak, hingga mereka tiba di rumah yang sama seperti rumah kakek berbaju merah. "Ketuklah pintu rumahnya, aku buru-buru, harus kembali ke ladang untuk mencabut rumput karena saat sebelum matahari terbenam aku tinggal menyiram tanaman," ujarnya. “Satu lagi, aku lupa memperkenalkan diri… Aku Leom, tujuh tahun lebih tua dari Leim. Tetapi Leim bersikap lebih dewasa. Salah satu sifat kekanakannya adalah dia suka bermain teka-teki, berhati-hatilah karena dia sedikit sensitif.” Leom akhirnya meninggalkan mereka, berjalan pulang, terlihat dia memetik beberapa buah di pinggir jalan sebelum tiba di rumahnya. “Jadi siapa yang akan mengetuk pintunya?” tanya Toby, kata ‘sedikit sensitif’ yang diucapkan Leom membuatnya khawatir, dia berusaha mencari celah untuk mundur di belakang Baldwin. “Biar aku saja,” Caesar maju dan langsung mengetuk pintu sampai berbunyi ‘kreet’ dan pintu terbuka hingga terlihat seorang kakek yang mirip Leom, hanya saja jenggotnya tidak terlalu panjang dan rambutnya sedikit berwarna kehitaman. Dia terlihat lusuh dengan baju basah. “Siapa kalian?” tanyanya dengan tidak ramah. “Ka—kami mencari anda, sebelumnya kakek Leom ada di sini namun dia harus pulang un—“ “Kakek Leom? Memangnya dia kakekmu? Sejak kapan dia menikah?” Keenam anak itu langsung melemparkan pandangan masing-masing, bingung ingin berkata apa. “Masuklah, jika kalian memang benar-benar mencariku.” Keenam pemuda itu melangkahkan kakinya dengan canggung untuk masuk. Mereka antusias, tetapi antusiasnya berbeda saat mengunjungi rumah Leom. Rumah Leim berwarna juga, hanya saja sangat-sangat berantakan. Buku tersebar di lantai, kursi-kursi yang tidak saling berhadapan dan posisinya teracak, membuat keenam pemuda itu harus duduk berjauhan.  “Aku pusing melihat rumah kakek Leom, tetapi rumah ini membuat kepalaku ingin meledak,” kata Toby kepada Luce dengan nada rendah namun dia langsung berhenti saat Leim muncul membawa nampan berisi kue-kue dan minuman. “Jadi apa yang membawa kalian kemari?” tanyanya setelah menaruh nampan di meja. “Begini, kami ingin pergi menuju kerajaan di di tenggara pulai ini. Kerajaan Altis pusat sedang dalam bahaya,” ujar Caesar, “Tetapi sebelum berhasil sampai di sana kami harus menemukan petunjuk demi petunjuk dan berdasarkan peta salah satu petunjuknya ada di daerah ini, daerah bernama Teolkins,” sambungnya. “Benar, daerah ini bernama Teolkins. Tetapi kenapa harus rumahku—eeh?” “Karena kami menemukan petunjuk di bukunya juga, ‘Makanlah pelangi dengan rasa berbeda, lalu minumlah di air yang mengalir, maka temukan keajaibannya’ dan itulah yang membawa kami sampai kesini,” timpal Aime yang mulai kesal karena ketidakpastian ini. Kalau sampai Leim menyuruhnya ke tempat lain lagi seperti yang Leom lakukan, maka Aime tidak akan segan-segan mengeluarkan kalimat seperti ‘kalau kalian tidak ingin membantu kami setidaknya katakan sedari awal. Waktu kami terbatas.’ Untung saja tidak demikian, Leom membenarkan bahwa dialah yang membuat petunjuk itu. “Jadi sekarang apa yang kalian inginkan?” tanyanya membuat semua orang kebingungan. “Anda-lah yang tahu apa itu!!!” gerutu Baldwin ikutan kesal. Leim tersenyum, alih-alih menjawab, dia pergi ke lemari di sudut ruangan, mengambil sebuah buku usang berwarna ungu, dia kembali setelah itu sambil membuka lembaran dan menyingkirkan butiran debu. “Sudah lama aku tidak bermain teka-teki.” “Teka-teki?” kaget keenam anak itu bersamaan. “Tetapi kami tak punya waktu untuk bermain-main.” “Kalau begitu kalian bisa pergi jika tidak ingin mendapatkan apa yang kalian mau. Tetapi jika kalian menjawab teka-teki ini aku akan memberikan sesuatu yang kalian inginkan.” Keenam anak itu saling melemparkan pandangan.  “Kalau begitu silahkan!” seru Aime, tanpa berbasa-basi membuat Leim tersenyum tipis. “Baiklah, tetapi sebelum memulai teka-teki ini, aku ingin membuat kesepakatan. Kalian kuberi dua kali kesempatan untuk menjawab. Jika kalian tidak berhasil, kalian harus mengecat rumah ini dan ingat, itu akan membutuhkan waktu hingga tiga hari lamanya.” “Tiga hari lamanya?” “Ya, karena kalian harus merendam banyak tanaman di air dulu sebelum mendapatkan warna.” Dion dan Toby saling bertatapan. Pikiran mereka sama bahwa dunia ini bukan dunia mereka, tidak ada cat yang tinggal dibeli di toko bangunan di dunia ini. “Jadi bagaimana?” Aime mengangguk, tanpa meminta persetujuan yang lain. “Baiklah.” “Tetapi Aime—“ “Tetapi apa Bald? Kamu ingin kita pergi saja tanpa mengambil apa yang harusnya kita ambil dari sini? Gerbang kerajaan Tenggara tidak akan terbuka dan Caesar tidak akan tiba di sana hanya karena ini?” Semua orang terdiam, karena apa yang dikatakan Aime benar. “Silahkan mulai,” seru Aime membuat Leim tersenyum. “Baiklah, teka-teki pertama.” Tak punya kaki. Tak punya tangan Tak punya sayap. Tapi bisa terbang “Jangankan punya sayap, punya tangan saja tak bisa terbang,” protes Toby. “Teka-teki-nya terlalu sulit.” “Asap,” jawab Aime, membuat semua orang takjub. “Ah benar, asap. Dia tidak punya tangan, kaki, sayap tapi bisa terbang di udara,” puji Toby lalu bertepuk tangan. Sementara Dion risih melihatnya. “Diamlah Tob! Jika kau tak ingin membantu Aime setidaknya jangan mempersulitnya.” Kalimat itu seketika membuat Toby terdiam, membenarkan kata Dion bahwa dia terlalu banyak bicara sedang tidak tahu apa-apa. Leim tersenyum. “Karena itu masih tergolong teka-teki mudah. Baiklah, teka-teki kedua.” Semakin banyak Tapi semakin tidak terlihat Suasana hening, sepuluh detik kemudian Aime tersenyum setelah membayangkan perjalanan mereka semalam. “Kegelapan,” jawabnya sementara yang lain masih berpikir.  Kini, Leim menganggap teka-tekinya terlalu mudah. Dia mencari-cari teka-teki sulit di lembaran-lembaran berikutnya, lantas tersenyum.  Tak bisa disentuh. Tak bisa dipegang Tapi mudah untuk dihancurkan Aime memejamkan mata, mencari-cari jawaban dalam pikirannya. Dia menjadi sedikit lebih serius karena pertanyaan yang Leim berikan menjadi semakin sulit juga. “Aha..” Mata Aime terbuka, membulat sempurna. “Kepercayaan.” Leim menghela napas dengan sedikit kesal. Tetapi dia juga sedikit bahagia, karena seingatnya sudah ada sekitar dua puluh kelompok yang datang untuk mengambil apa yang keenam pemuda ini cari, tetapi tidak ada yang berhasil. Itulah mengapa warna rumah Leim tidak pernah berubah dan selalu terlihat cerah. Mungkin, setelah ini dia akan mengecat rumahnya sendiri seperti Leom, mendaftarkan kegiatan itu di-list kegiatan sehari-harinya.  “Baiklah, pertanyaan terakhir.” Keenam pemuda itu tersenyum, mendapatkan sesuatu yang mereka cari sepertinya sudah di depan mata, terlebih mereka masih punya dua kesempatan untuk menjawab, jadi tak masalah bila salah menjawab untuk satu kali di pertanyaan terakhir ini. Sementara Leim, membuka bukunya lagi, mencari teka-teki yang lebih sulit hingga senyumnya merekah setelah menemukan yang dicarinya. Jika jingga jadi merah Kuning jadi merah Hijau jadi merah Biru jadi merah Ungu jadi merah Maka merah jadi? “Merah,” jawab Toby tiba-tiba. “Gampang sekali jawabannya.” Leim tersenyum miring. “Gampang. Tetapi—salah.” Dion menepuk jidat, Baldwin mengepalkan tangannya seperti siap meninju Toby kapan saja. Aime, Luce dan Caesar menghela napas. “Kalian tinggal punya satu kesempatan lagi,” gumam Leim sebelum keenam pemuda itu berpikir kembali. Aime mulai bermain dalam pikirannya. Dia berpikir tentang warna lain, pencampuran warna, pelangi. Ia juga punya firasat bahwa jawabannya barangkali adalah sesuatu yang berlainan sekali, sesuatu tentang permainan kata. Lima menit lalu setelah matanya terpejam, dia tersenyum lagi.  “Aku tahu…” serunya membuat senyum yang lain merekah setelah menunggunya membuka mata. “Apa itu?” “Banyak. Merah jadi banyak.” Bibir Leim yang kering dan tadinya melengkung kini berubah datar. “Benar, jawabannya banyak.” “HOREE!!” teriak Dion disusul yang lain kegirangan, Toby sampai-sampai memeluk Aime membuat Aime sesak dan tak jadi tertawa. Sementara mereka bersorak, Leim beranjak dari tempat duduknya, mengambil sesuatu dari lemari. Sebuah kotak berwarna biru tua. “Inilah yang kalian butuhkan anak-anak.” “Apa itu?” tanya Baldwin. “Bukalah! Kalau kalian ingin tahu apa isinya.” Caesar mengambil kotak itu dan membukanya. Hingga sedetik kemudian semua orang menutup mata karena silau. “Wow… Apa ini,” tanya Caesar saat benda itu tak lagi bercahaya seperti sebelumnya. “Itu adalah batu cahaya pelangi. Bukan benda sembarangan.” Kelima anak lainnya mengerumuni benda yang dipegang Caesar. “Warnanya benar-benar seperti pelangi,” decak Luce takjub. Kemudian, Leim bercerita tentang sejarah batu itu, yang ditemukan di sungai saat kakeknya berendam, salah satu ujung pelangi berada di sungai dan masuk ke batu misterius, itulah batu cahaya pelangi. “Sebenarnya ada dua batu yang seperti ini kata kakekku, tetapi satunya sudah diberikan kepada seseorang,” tambah Leim menghakhiri ceritanya.  Cukup lama mereka melihat batu itu, hingga akhirnya Caesar menaruhnya di saku baju. “Terima kasih banyak. Kalau begitu kami pergi dulu, kami harus berangkat sebelum matahari terbenam.”  “Baiklah, kuharap kalian tiba di tenggara dengan selamat.” Sebelum berpisah, Leim memberikan banyak perbekalan kepada mereka, juga Leom yang sudah kembali dari ladangnya. “Hati-hati di jalan anak muda,” kata Leom sementara Leim hanya memasang senyum tipis. Ia menemani keenam pemuda itu menyeberangi sungai. Keenam pemuda itu akhirnya menyeberangi sungai menggunakan perahu Leim yang terbuat dari papan, sehingga mereka tak perlu basah-basahan lagi. Kemudian mereka berangkat menuju ke Timur. Sebelum itu, keenam buah yang mereka makan bukanlah buah sembarangan. Warna dari masing-masing buah itu akan menjadi  pancaran warna mereka suatu waktu nanti.   
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN