Menemani Makan Arya

1258 Kata
“Gimana, Tuan Satria? Apa gadis itu mau bekerja di rumah sebagai pengasuh Arya?” tanya Odi setelah Satria sampai di ruangannya. “Kalau dia nggak mau, saya bisa membantu untuk membujuknya. Bagaimana, Tuan?” imbuh Odi yang sontak berdiri lalu membantu pria atasannya itu melepaskan jas. “Diem, Odi. Pertanyaan awal kamu aja belum aku jawab. Kamu udah beri aku pertanyaan-pertanyaan lagi. Apa kamu ini penyelenggara ujian nasional?” sahut Satria, melengos. “Maaf, Tuan.” Odi menunduk, membawa jas Satria ke kursi pria itu, lalu mempersilakan tuannya untuk duduk. Setelah duduk, barulah Satria memulai penjelasan. “Dia udah mau, Od. Nggak perlu bantuanmu. Apa sih yang nggak aku bisa? Tinggal kasih harga sepuluh juta, dia setuju kok,” ujar Satria mengangkat kedua alisnya. Pria itu pun mengangkat kerah bajunya lalu memutar-mutar kursinya, merasa berhasil membuat seseorang takluk padanya. Padahal setiap waktu dia pun bisa membuat orang-orang takluk. Namun, entah kenapa dia senang sekali saat bisa membuat Caca menyetujui bekerja di rumahnya, karena gadis itu nampak sangat alot negosiasinya. “Oh, baiklah. Tuan Satria memang yang the best,” puji Odi. “Kalau begitu, saya permisi. Oh ya, tadi Nyonya Mona telepon kantor. Dia bilang akan ke sini,” ujar Odi lalu berjalan keluar, melanjutkan pekerjaannya di ruangannya sendiri. “Oke,” sahut Satria mengacungkan ibu jari. *** Di rumah besar, Arya menarik tangan Caca untuk masuk. Tak habisnya Caca mengagumi ruangan yang begitu luas di dalam. Arya membawa Caca ke dapur untuk dikenalkan pada Bik Sum. “Nenek Bibik, ini yang namanya Kakak Cantik,” seru Arya. Raut semringah tak lepas dari wajahnya. Tak sia-sia dia mandi pagi-pagi hari ini. “Oh, iya. Saya Bik Sum.” Wanita paruh baya itu mengulurkan tangannya pada Caca, lalu Caca menyambutnya dengan ramah. Ibunya selalu mengajarkan untuk bersikap sopan pada orang yang lebih tua, dengan profesi apa saja. Tak perduli dia adalah juragan ataupun seorang pembantu. “Saya Natasya. Biasa dipanggil Caca, Bu.” Bik Sum tersenyum. “Panggil saya Bik Sum saja. Lebih familiar,” sahutnya. “Oh ya, Bik Sum.” “Sebentar, Bik Sum mau selesaikan mencuci piring dulu ya Mbak Caca?” “Oh iya, iya Bik, silakan.” Caca memperhatikan apa yang dilakukan oleh Bik Sum. “Kak Caca di sini dulu ditemeni Bik Sum ya. Arya mau pipis dulu ke kamar mandi,” ujar Arya, terlihat menahan pipis. “Ya, Arya. Bisa sendiri?” tanya Caca. “Bisa. Arya pinter, kok! Kata Daddy kalo nggak bisa pipis sendiri, namanya bukan lelaki,” sahut Arya berlari ke kamar mandi. “Aneh. Bukannya perempuan juga bisa pipis sendiri?” gumam Caca. Dia menggelengkan kepala dengan ajaran ayah Arya. Dia tak ambil pusing lalu memilih untuk mendekati Bik Sum. “Banyak sekali cuciannya. Biar aku aja, Bik Sum!” ujar Caca saat melihat setumpuk peralatan masak yang sedang dicuci oleh wanita paruh baya itu. “Udah, Mbak Caca istirahat aja dulu di kursi. Biar ini Bibik yang kerjakan. Bibik juga seneng dengan kedatangan Mbak Caca. Pekerjaan Bibik jadi agak berkurang. Mas Arya udah mulai besar dan Bibik nggak mampu menemani setiap waktu karena pekerjaan rumah pun menyita waktu. Nggak enak juga kalo kerjaan belum selesai tapi Pak Satria sudah pulang.” Wanita itu menjelaskan sembari tersenyum. Caca menarik salah satu kursi di dapur. Benar-benar tak ada yang bisa dilakukan karena rumah itu telah bersih. “Lho, apa Cuma Bibik yang kerja di rumah sebesar ini?” tanya Caca. “Iya, Mbak Caca. Tuan Satria nggak mau kemasukan orang lain. Bibik ini sudah bekerja di sini sebelum Mas Arya lahir. Mbak Caca ini pengasuh pilihan Mas Arya sendiri, jadi Tuan Satria setuju agar Mbak Caca bekerja di sini,” ujar Bik Sum, sesekali menengok ke arah Caca yang duduk dengan sopan. “Oh, begitu. Peralatan masaknya banyak sekali, Bik. Apa Bibik selalu masak banyak?” tanya Caca yang sempat melihat tumpukan benda di kitchen sink. “Iya. Bibik sediakan saja beragam masakan. Biar Tuan Satria dan Mas Arya memilih. Namun, Mas Arya susah makan, Mbak Caca. Kadang semua yang Bibik sediakan tak disentuh sama sekali. Kadang, Nyonya Mona datang untuk ikut makan di sini.” “Nyonya Mona? Siapa itu, Bik?” “Pacarnya Tuan Satria, Mbak.” Nampak datar raut wajah Bik Sum saat mengatakan hal itu. Caca hanya membulatkan mulutnya saat mendengar sahutan Bik Sum. Tak ada masalah sepertinya. “Oh, begitu. Jadi, Arya udah mau punya ibu sambung ya, Bik?” lanjut Caca. “Iya, Tuan Satria sepertinya ngebet, tapi Mas Arya belum setuju,” sahut Bik Sum. “Lho, kok nggak setuju?” tanya Caca. “Iya. Yah, namanya anak-anak. Hatinya pasti suka merasakan baik atau nggaknya sikap seseorang kan, Mbak.” Bik Sum masih saja berkutat dengan peralatan dapur yang dipakai. Terdengar langkah kaki kecil milik Arya mendatangi mereka. Dengan senyumnya, Arya duduk di samping Caca. “Arya, tadi udah makan pagi?” tanya Caca. “Udah, pake roti panggang. Tadi Arya yang bikin sendiri lho,” celetuknya bangga. “Oh, sekarang hampir siang. Arya harus makan nasi. Yuk, kita makan nasi. Nenek Bibik udah nyiapain banyak masakah biar Arya pilih lho,” ajak Caca. Arya tampak mengerucut, dia seperti tak berselera. Dia ingin main. Namun, Caca tetap mengajaknya. “Tapi, Kakak Cantik temani Arya makan,” rengeknya. Caca mendesah. Perutnya sudah kenyang. Dia melirik ke arah Bik Sum yang masih menggosok panci dan menatap padanya sambil menganggukkan kepala, tanda ingin agar Caca menyetujui permintaan Arya. Anak kecil itu makan saja harus mengajukan syarat-syarat. “Ya deh, yuk. Arya ambil sendiri piringnya ya? Kak Caca mau bukain tudung sajinya.” Dengan raut semringah, Arya melompat dari kursi, kemudian mengambilkan dua piring kosong untuk dirinya dan Caca. Dia meletakkan piring kosong itu satu di meja depan kursinya dan satu di meja depan kursi Caca. “Arya mau makan apa? Nih ambil nasi sendiri,” suruh Caca menyodorkan penghangat nasi dengan berdiri. Dia membiarkan anak itu mengambil secara mandiri. Bik Sum tersenyum melihatnya. Dia kagum pada perlakuan Caca yang keibuan walau masih cukup muda. Arya juga dengan mudah menuruti perintah Caca. Tangan kecil itu mengambil centong, lalu mengambil nasi hangat secukupnya di atas piring. Masih banyak nasi tercecer di atas taplak meja makan. Bik Sum terbelalak melihatnya. Dia yakin, jika itu Tuan Satria pasti akan marah dengan Arya. Untuk itu, Bik Sum yang selalu mengambilkan Arya makan. Bik Sum nampak cemas, menunggu apa reaksi Caca. “Arya, ini nasi tercecer di meja. Nggak enak dilihat, kan? Coba lihat yang bersih sebelah sana dengan yang di sini. Bagus yang bersih, kan?” tanya Caca. “Iya, Kakak Cantik, bersih lebih enak dilihat.” “Nah, sekarang Kak Caca bersihin, tapi mulai nanti Arya yang bersihkan. Kalau nggak mau kotor, sebaiknya Arya berusaha perlahan mengambil nasi biar nggak tercecer kayak gini. Nggak bisa dimakan kalo kotor, kan sayang?” ujarnya pelan agar anak itu paham apa katanya. “Oh iya, Kak! Makasih, Kakak Caca!” seru Arya senang. Bik Sum tersenyum sekali lagi. Lega. Dia malah keasyikan melihat kegiatan Arya dengan Caca di meja makan. Tak ada drama menangis seperti yang biasa dia dengar dengan ayah Arya. Pria itu akan marah jika Arya mengacak-acak meja makan. “Nah, sekarang ambil sendiri lauk yang Arya mau. Nih, ada tiga sayur pilihan untuk Arya. Serta lauknya. Ayo, ambil sendiri,” titah Caca lagi. Anak kecil itu menaikkan kakinya di kursi, lalu menopang dengan kedua lututnya untuk mengambil sayur. Dia memilih paha ayam yang lezat. Menunggu mengambil lainnya, Caca tak mendapatkan hasil. Arya hanya mengambil ayam goreng bumbu lengkuas saja. “Hanya itu?” tanya Caca menatap piring Arya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN