Caca membiarkan Arya dengan nasi dengan lauk yang dia pilih, meski ambil makannya sedikit. Lalu, Caca pun ikut mengambil nasi dan sayur yang disediakan oleh Bik Sum demi memenuhi janjinya untuk makan bersama dengan Arya.
“Bik Sum udah makan?” tanya Caca merasa tak enak karena baru datang malah sudah menikmati makan pagi di rumah itu.
“Udah, Mbak Caca. Silakan dinikmati. Bibik mau seterika dulu,” pamitnya.
“Bik, maaf ya?” ujar Caca, tak enak hati.
“Untuk apa, Mbak Caca?”
Kening wanita paruh baya itu berkerut karena mendengar Caca mengucapkan maaf. Dia merasa Caca tak melakukan satu kesalahan pun. Malah terbantu karena dia bisa mengerjakan pekerjaan rumah tangga dengan lancar.
“Aku makan tapi Bibik malah kerja,” sahut Caca polos.
Wajah keibuan Bik Sum menjadi cerah saat mendengar sahutan Caca. Dia bahkan tak merasa Caca berlaku kurang ajar karena Caca hanya ingin agar Arya mau makan banyak. Anak kecil itu nampak kurus, jadi berbagai cara Bik Sum merayunya untuk makan. Namun, tak juga membuahkan hasil.
“Mbak Caca, tugas Mbak Caca mengasuh Mas Arya. Jika dia mau makan karena Mbak Caca, Bibik sangat senang sekali. Sudah, pokoknya dibikin nyaman saja,” ujar Bik Sum menyunggingkan senyumnya pada Caca.
“Baiklah, Bik.”
Bik Sum percaya pada Caca. Pertama kali bertemu saja, rasanya sudah seperti sangat mengenalnya. Dari pembicaraan mereka tadi yang hanya sesaat, Bik Sum bisa membedakan Caca dari yang lain. Dia pun yakin Arya bisa merasakan perbedaan itu. Caca itu jujur dan lembut, tapi juga tegas. Itulah yang dibutuhkan oleh Arya. Sedangkan Bik Sum merasa dia tak bisa tegas pada Arya. Karena selama ini pekerjaannya banyak di rumah itu. Juga usianya yang tak lagi muda membuatnya mudah capek. Jadi, lelah rasanya jika semua pekerjaan belum terselesaikan hanya karena menunggui Arya. Dia bersyukur karena adanya Caca, jadi dia bisa menyelesaikan pekerjaan rumah.
“Yuk, makan,” ajak Caca pada Arya.
Arya memperhatikan piring Caca yang penuh dengan sayur. Dia meneguk ludah melihat Caca makan dengan enaknya. Namun, rasanya tetap tak ingin makan sayur. Caca sendiri berakting makan enak padahal masakan Bik Sum kalah enak dari masakan ibunya.
“Kak Caca, itu namanya sayur apa?” tanya Arya menunjuk ke piring Caca, sedangkan tangannya memegang paha ayam yang dia gigiti sedikit demi sedikit.
“Ini namanya oyong. Enak!” sahut Caca, kembali menunjukkan ekspresi nikmatnya.
“Enak ya? Sampe merem-merem gitu?” tanya Arya, mencubit pipi Caca dengan tangan kanan yang baru saja memegang paha ayam. Alhasil pipi Caca jadi terkena minyak.
Arya terkekeh melihatnya. Caca pun tertawa lalu mengambil tissue untuk menghapus jejak minyak di pipinya.
“Iya, enak dan bermanfaat lho buat tubuh!” celoteh Caca demi membuat Arya tertarik untuk ikut makan sayuran. Namun, Arya tetap menggelengkan kepala.
Dari situ, Caca tahu bahwa Arya memang selama ini tak suka sayur. Sejak itu, Caca berpikir bagaimana cara agar Arya mau makan sayur yang bermanfaat untuk pertumbuhan anak-anak.
***
“Ya, memang Mas Arya tak suka sayuran. Bibik selalu paksa, tapi namanya anak-anak, dipaksa malah nangis. Jadi ya Mas Arya semaunya sendiri. Dia malah nggak suka makan nasi, cuma mau makan sosis, roti dan snack-snack. Bibik sampe pusing kalo suruh makan Mas Arya. Ini tumben dia mau makan nasi karena adanya Mbak Caca,” papar Bik Sum di sela siang saat perempuan paruh baya itu sedang menyantap makan siangnya.
“Oh, jadi dia nggak mau makan sayur ya?” ujar Caca mengangguk-angguk.
Caca melirik ke arah Arya yang menonton televisi dengan khidmat. Acara kartun kesukaannya membuat anak itu lupa akan keberadaan orang di sekitarnya.
“Apa dia selalu seperti itu, Bik?” tanya Caca.
“Iya. Mas Arya keseringan nonton televisi. Kalo nggak, Tuan Satria kasih dia ponsel untuk main game,” ujar Bik Sum.
Ya, sebagai seorang calon pendidik karena Caca kuliah di jurusan Perguruan dan Ilmu Kependidikan, dia pun agaknya mengerti psikologi anak. Membiarkan anak itu asyik dengan tontonan atau ponsel setiap waktu juga tak baik. Walaupun saat les, Arya masih mau meletakkan ponselnya. Caca takut jika Arya akan berlaku egois pada sekitar.
***
“Makasih Satria!” pekik Mona saat melihat sebuah gelang yang dibelikan oleh Satria untuknya.
Gelang itu nampak manis berdiam di dalam sebuah kotak berwarna hitam dan kelihatan elegan terletak di atas kain satin berwarna putih tulang. Gelang khusus limited edition yang dipesan oleh Satria pada seorang designer kenamaan.
“Apa sih yang nggak buatmu,” sahut Satria menerima kecupan di pipinya. Wanita itu dia rasa makin agresif jika diberi sesuatu yang berkilauan, juga apa yang dia minta. Kemarin dia menghadiahi Mona sebuah ponsel terbaru. Makanya krah bajunya penuh dengan kecupan yang sebenarnya ditujukan ke leher. Untung saja, Satria masih bisa menahan diri. Jadi, dia tak tergoda dengan kecupan-kecupan Mona untuk menuju ke jenjang ranjang.
Mona langsung mengambil untaian gelang itu dan memakainya sendiri di tangan. Satria agak melongo melihatnya. Apa memang wanita itu sangat suka benda berkilauan?
Cepat sekali pakainya.
Satria meringis melihat Mona, padahal dia ingin memakaikan gelang itu ke pergelangan tangan wanitanya. Namun, dia kalah cepat. Apakah semua wanita seperti ini? Satria masih melekatkan pandangannya pada wanita yang mematut tangannya dengan gelang emas bertabur mutiara itu. nampak cantik pada kulit Mona yang putih. Sangat cocok. Tak rugi dia membayar mahal untuk satu gelang khusus itu.
Jam makan siang mereka habiskan di sebuah restoran lagi. Sebenarnya Mona bosan. Namun, agak terobati dengan adanya hadiah gelang nan cantik yang bisa dia pamerkan ke teman-temannya. Harganya tak main-main. Ratusan juta rupiah.
“Sayang, tapi aku masih ingin jadi istrimu. Bukan cuma gelang aja yang kumau,” celetuk Mona, membuat Satria melotot.
“Maksudku, aku mau hatimu dan juga hati anakmu, Sayang. Aku ingin sekali hidup bersama dengan kalian. Aku janji akan menambah adik untuk Arya. Kapan kita akan menikah dan mewujudkan impianku ini?” keluh Mona.
Menambah adik sih gampang, sekarang pun bisa bikin.
Satria mendesah. Setiap Mona berkata seperti itu, dia pasti pusing. Dia berada di antara dua makhluk yang berbeda arah. Yang ini ingin mengikatnya, yang di rumah tak ingin dia bersama dengan wanita itu. Ah, memikirkannya saja, kepala Satria berdenyut. Bagaimana bisa dia berada di tengah-tengah? Atau dia akan selamanya berada di situ? Butuh waktu lama untuk meyakinkan dan merayu hati Arya.
“Mona, aku sudah bilang, kan. Kita tunggu waktu yang tepat. Aku punya anak dan dia belum mau menerima kita. Jadi, kita bersikap baik dulu padanya. Bagaimana mengambil hatinya agar dia mau menyetujui pernikahan kita. Menikah soal mudah, tapi untuk mendapatkan restu anak itu, kita harus perlahan-lahan. Tau sendiri kalo anak dipaksa, jatuhnya dia akan trauma dan aku tak mau itu terjadi.”
Satria mencoba memberi pengertian dan terus memberi pengertian pada Mona setiap Mona mengutarakan keinginannya. Dia pun ingin sekali menikahi Mona dan segera meloloskan sesuatu yang menegang di bawah jika Mona selalu menggodanya. Siapa bilang itu mudah? Satria terpaksa mengguyurnya dengan air dingin jika adik kecilnya tak juga mau turun. Untuk menggunakan sabun, dia tak mau bersolo ria. Tak maulah menjadi penyuka sabun.
“Baiklah, tapi apa ya yang bisa kulakukan untuk memikat hati anak itu?” desis Mona, merengek.
Satria tak bisa berkata-kata. Dia sendiri tak mengerti bagaimana caranya. Selama ini dia sudah mempertemukan keduanya, tapi tak ada hasil. Malah anak itu makin membenci wanita yang dia cintai di depannya ini.
Mereka berdua terdiam dalam keheningan. Hanya garpu dan sendok beradu, tetapi pikiran kemana-mana. Satria sudah habis akal, sementara Mona ingin melakukan sesuatu yang bisa menarik bagi Arya.
“Ah, aku tau! Kita bisa makan bertiga di rumah kamu, Sayang. Aku yang memasak!” cetusnya, menjentikkan jari.