Maura bersama ayahnya bersantai dengan menonton tv, acra talk show kesukaan mereka, sedikit hiburan untuk mereka yang sama-sama sibuk bekerja, dan jarang mendapatkan waktu bersama.
“Maura,” panggil papahnya.
“Iya Pah,” balas Maura, segera menoleh.
“Sebentar lagi kan acara pernikahan Kamu, Papah sudah mencoba menghubungi Mamahmu, tapi,” ucap sang papah yang tidak bisa melanjutkan kata-katanya.
“Pah, Aku gak masalah, ada atau enggaknya Mamah, Aku akan tetap menikah," ucapnya berusaha tegar. Maura lelah harus terlihat lemah, karena kesedihannya untuk yang satu ini memang tidak pernah bisa ditutupi oleh topeng apapun.
“Maura jangan benci Mamah, bagaimanapun, dia ibu kandung Kamu,” ujar papahnya, untuk kesekian kalinya. Mengingatkan sang anak. Jiwa Maura kerap kali ingin berontak, namun tidak bisa.
“Aku selalu mencoba Pah. Tapi, Aku gak bisa bohong, di sini rasanya tetap sakit," ucapnya lirih. Sembari memegang dadanya sesak.
“Bagaimana kalau kita ke-,” ajakan yang belum selesai itupun langsung dibantahnya.
“I am ok Pah." Maura tersenyum. Bukan itu yang dimaksudnya.
“Ya sudah, Papah tidur dulu, selamat malam."
“Malam."
Papah Maura pergi berjalan ke kamarnya, baru beberapa langkah, dirinya menengok kembali sang putri yang tetap santai dan melanjutkan untuk menonton acara tersebut, dengan sesekali tertawa karena lelucon yang dilemparkan antar host.
Setelah masuk ke kamar, Andi memegang bingkai, foto dirinya bersama sang istri dan anak, tidak terasa air matanya jatuh. tidak pernah menyangka, bahwa dirinya harus menghabiskan masa tuanya tanpa sang istri, tidak ada lagi, perempuan yang selalu menenangkan jiwa dan raganya, memasakkan makanan kesukaanya, dan banyak hal yang tidak akan bisa orang lain lakukan. Mungkin bisa, namun rasanya tidak akan sama.
Kerap kali Maura bertanya, kenapa sang papah tidak juga berhenti untuk mencintai mamahnya, dan Andi selalu menjawabnya dengan satu kalimat yang sama “Karena hanya mamah kamu, yang bisa melahirkan kamu.” Jawaban tersebut terkadang membuat hati Maura bergetar. Tapi sakit hatinya belum juga sembuh. Masih sangat melekat, bagai mana mamahnya meninggalkan saat dia berada dititik terlemahnya. Sangat hancur.
Mungkin ada alasan di balik semua itu. Tapi tidak ada pembenaran.
Andi menyimpan bingkai foto tersebut di meja, kemudian bergegas untuk tidur, tidak semalam pun Andi tidak berharap, supaya dirinya bisa bermimpi untuk bertemu dengan mamah Maura.
“Masih pagi, sudah numpang makan.” sindiran untuk seseorang yang wangi parfum tercium sampai kamar Maura. Karena sudah bisa dipastikan sebelum ke ruang makan. Dia ke kamar Maura dulu.
“Maura,” tegur sang papah, yang baru saja duduk untuk bergabung sarapan bersama.
“Maaf Pah,” ucap Maura berpura-pura menyesal.
“Iya Pah, Maura suka gitu sama Andra, jahat banget kan," ujar Andra mencoba untuk mengadukan kelakuan putrinya.
“Siapa yang suruh kamu manggil saya Papah?” tanya Andi. Andra meneguk ludahnya, papah Maura memang galak, dia pikir jika dirinya sebentar lagi akan menjadi menantu, calon mertuanya ini akan sedikit lebih pro kepadanya, ternyata dugaannya salah.
“Maaf Om, Aku keceplosan," ucap Andra tidak enak hati.
“Mari makan, setelah itu pergi bekerja jangan malas-malasan,” ujarnya dengan tegas. Kedua anak muda di hadapannya mengangguk dan mulai sarapan.
Maura hanya bisa menahan tawanya, melihat sang papah sedang akting, memang dari dulu papahnya selalu saja bersikap so galak pada orang lain. Padahal, jika Andra sedang tidak ada atau sakit, papahnya akan cerewet menanyakan kabarnya. Belum lagi dia disuruh untuk menjaga Andra.
Setelah menghabiskan sarapan dan berpamitan mereka segera pergi ke kantor. Di perjalanan, mereka tidak saling bersuara. Sampai ada alunan musik yang berasal dari handphone Maura terdengar, memecah keheningan mereka. Ketika dilihat ternyata Bintang menelponnya, sungguh dalam keadaan yang tidak tepat. Namun tidak mungkin dia tidak mengangkatnya, dan membuat Andra curiga.
“Katanya gak balikan,” sindir Andra, sambil terus menyetir, dan pandangannya mengarah ke jalan.
“Berisik!” Maura kesal mendapatkan sindiran itu. dia memencet tombol hijau kemudian berbicara
“hallo, Ada apa Tang? Ouh iya bisa, enggak usah. Kirim saja alamatnya.”
“Makan siang bareng eh," ucap Andra setenang mungkin.
“Dra, ini kan pekerjaan.”
“Aku ikut. Sekalian mau makan siang.” Andra mulai beraksi. Dia mencari-cari alasan untuk bisa ikut menimbrung dalam pembicaraan Maura dan Bintang.
“Gak bisa. Kan aku harus bahas sesuatu yang lain, menyangkut kasusnya, dan itu bersifat rahasia," ujar Maura mencari alasan. Dia tidak ingin Andra merecoki pekerjaannya.
“Aku ikut, tapi duduknya di tempat lain.” Andra masih negosiasi.
“Terserah.” Percuma saja jika Maura terus meladeni ucapan lelaki tersebut. hanya buang-buang waktu. Andra akan terus merengek seperti anak kecil, jika keinginannya tidak dituruti.
Maura turun di kantornya, dan Andra pergi. Kebetulan hari ini, Andra harus menjemput salah satu koleganya, yang berasal dari korea. Jadi dirinya tidak bisa ikut bekerja di kantor Maura. jelas Maura sangat senang, dirinya tidak akan diganggu makhluk seberisik Andra.
Siang hari...
“Bodyguardnya gak sekalian diajak makan bareng,” kata-kata sindiran itu sangat bernada sinis, saat terdengar di telinga Maura. Bintang merasa tidak nyaman, jika pergerakannya dipantau oleh seseorang.
“Gak tau, watak kali. Gimana? Surat-surat yang aku minta sudah kamu bawa?” tanya Maura pada Bintang. Sebenarnya sih, upaya untuk mengalihkan pembicaraan.
“Sudah, lain kali, jangan dibawa. Risih.” Maura tidak menjawab, dia akan makan hati jika mendebatkan soal Andra. Jika dipikir-pikir Andra dan Bintang mempunyai kemiripan sifat seperti keras kepala dan semaunya sendiri. Mungkin ini juga yang membuat Maura nyaman dekat dengan Bintang. Dia menganggap Bintang seperti Andra.
Dulu, Bintang adalah orang yang sangat banyak bicara, dia selalu menghibur Maura, tidak pernah sekalipun Maura dijudesi seperti itu. waktu memang sudah berubah, bersama Bintang, tetapi tidak dengan Maura dan kenangannya.
Mereka makan bersama, hanya Andra yang tidak selera makan, dia tidak suka makan sendiri, selalu tidak selera. Andra selalu memperhatikan gerak-gerik Bintang yang menurutnya sok perhatian pada Maura. melihat itu, Andra menjadi kesal sendiri. Dia bukan cemburu hanya saja bagaimana jika Maura tiba-tiba membatalkan pernikahannya dan pergi bersama calon duda tersebut. hanya itu saja, Andra mencoba menyakinkan dirinya.
Jika bukan karena pengakuan dari Maura, dia tidak akan takut tersaingi oleh Bintang. Yang dari segi manapun dirinya lebih unggul. Waktu itu Maura dan Bintang hampir jadian, Maura juga bilang bahwa dirinya menyukai lelaki tersebut. tapi karena Maura melihat Bintang jalan dengan perempuan lain, Maura sakit hati dan meminta pertolongan padanya untuk menjadi kekasih pura-pura.
Tentu dia tidak menolak, mana mungkin membiarkan sahabat sejatinya itu disakiti oleh cowo playboy macam Bintang. Itu adalah kisah mereka yang dulu pernah Maura ceritakan padanya. Maka dari situ lah Andra jadi waspada, bagaimana jika si Bintang itu mencoba merayu Maura untuk kembali jatuh cinta, Andra hanya jaga-jaga saja.