Maura kembali harus bertemu dengan Bintang, karena kemarin, perbincangan mereka harus terhenti karena ada Andra, dan Bintang mendapatkan telepon dari managernya.
“Jadi, kamu akan terima kasus ini?”
“Maaf, aku sepertinya tidak bisa.”
“kenapa? Bukan kah pengacara tidak boleh pilih-pilih kasus?”
“Tapi aku punya hak untuk menangani atau tidak.”
“Tidak propesional!” sindiran telak dari Bintang, sedikit melukai harga dirinya. Karena memang benar, dirinya terlalu takut.
“Aku berhak memilih,”
“Memilih untuk menghindar maksudnya. Mau dengar cerita tidak?”
“Apa?”
“Pada suatu hari ada seorang pemuda. Dia badboy tapi tampan. beruntungnya pemuda itu mengenal sorang perempuan yang sangat baik hati. Mereka sering menghabiskan waktu bersama, belajar, bermain, berantem dan lain sebagainya. Tapi sayang saat pemuda itu melabuhkan hatinya, perempuan itu menolak cintanya dan pergi begitu saja. Katanya sih, pemuda itu bodoh. Dia tidak suka cowok bodoh, akhirnya setelah kelulusan tiba. Laki-laki itu membuktikan bahwa dia itu pintar dengan mendapatkan beasiswa ke luar negeri. Lelaki itu akhirnya mendatangi perempuan itu dengan pdnya. Berharap hati perempuan yang dicintainya luluh.” Bintang beberapa kali meneguk kopi panas.
“Namun naas, saat pemuda itu hendak bicara, dia melihat, perempuan yang dicintai berpegangan dengan cowok lain, yang kami kenal, sebagai sahabat perempuan itu, mereka pacaran.. Untuk kedua kalinya hati pemuda tersebut patah dan memutuskan tidak membicarakan tentang beasiswanya. Tidak patah semangat, saat malam prome night pemuda tersebut mencari perempuan itu ternyata dia tidak hadir. Saat datang ke rumahnya ternyata sudah pindah ke luar negeri. Kasihan banget yah nasibnya. Benar-benar bodoh memang, sudah tahu tidak dicintai malah bertahan, kadang manusia memang sengaja menyakiti dirinya sendiri supaya dikasihani,”
“CUKUP!” Maura sedikit menahan getaran di bibirnya saat mengatakan itu, air matanya sudah mengalir dengan deras, sepintas kenangan masa lalunya kembali datang, seperti kaset yang kusut.
“Kamu harus tahu ceritanya Maura, biar kamu tahu seberapa tersiksanya aku. Seberapa patahnya hati aku saat itu.”
“Tolong! Dari pada begini, benci aku saja, jangan pernah temui aku. Anggap saja aku sudah mati bersama kenangan masa lalu kita.” Seakan menulikan pendengarannya, Bintang tidak mau mengikuti saran Maura.
“Kamu bisa bilang begitu, karena kamu tidak ada diposisi aku Maura!”
“Terus aku harus gimana? Kita kembali bersama, dan kamu yang tinggalin aku pergi gitu?”
“Terima kasus ini dan setelah itu aku anggap semua ini impas,”
“Kenapa harus aku?”
“Kenapa harus yang lain?”
“Oke! Aku terima, tapi setelah ini aku mohon, kamu jangan pernah ganggu hidup aku lagi,”
“Tidak masalah, tapi tuntaskan kasus perceraian ini.”
“Baik, aku terima kasus ini.” Maura tetap miris pada dirinya sendiri, bagai mana bisa pertahanannya runtuh. Hanya karena cerita masa lalu. Yang diceritakan kembali oleh tokoh sekaligus korban dari keegoisannya.
Setelah itu, Maura memilih untuk pergi dan kembali ke kantor. Ternyata di kantor sudah ada Andra, Maura memutuar bola matanya malas. Sedang apa laki-laki itu di sini.
“Sudah jadi pengangguran kamu yah, tiap hari datang ke kantor aku terus.”
“Kamu sudah tidak marah?”
“Sejak kapan aku jadi barepan sih Dra, sudah jangan dibahas mungkin aku sedang banyak pikiran jadi tidak bisa diajak bercanda.” Entah terbuat dari apa hati perempuan yang berada di depannya ini, tapi kenapa sampai saat ini dirinya tidak bisa mengatakan cinta pada wanita ini.
“Boleh ga sih kalau aku gak ada kamu juga ikut aku? Rasanya aku tidak bisa meninggalkan kamu di dunia ini sendirian,” ujar Andra sambil mengertakan pelukannya, sementara yang dipeluk berusaha melepaskan.
Tok
Pulpen sudah mendarat di kepala Andra, membuat Andra mengusap rambut hitam lebat itu.
“Mati kok ngajak-ngajak, ogah banget tau gak.”
“Gak setia kawan banget,” Andra merajuk, sedikit senyum tersungging dari bibir Maura.
“Kamu sudah minum obat? Sudah sarapan?”
“Minum obat gak minum obat juga sama saja, udah sarapan kok,” mungkin jika Andra boleh berbicara dia ingin sekali bilang bahwa dirinya sudah menyerah. Tapi saat mengeluh dia kembali semangat, karena dia yakin, jika hari ini mendung, mungkin besok terang.
“Hmm, iya deh bagus, biar cepet mati, kan aku gak perlu nikah sama kamu.”
“Enak saja, lagi pula aku sudah minum obat.”
Maura membuka laptopnya, ada beberapa pekerjaan yang belum sempat dia selesaikan, dia sudah biasa dengan kedatangan Andra di kantornya, bahkan Andra biasa mengerjakan pekerjaannya juga di ruangan yang sama dengan Maura seperti sekarang ini, saat ditanya kenapa dia tidak mengerakan pekerjaannya di kantor sendiri, dia menjawab karena tidak ada Maura.
Tidak seperti calon pengantin kebanyakan, mereka terus sibuk bekerja. Karena sudah ada yang mengatur untuk mempersiapkan pernikahan mereka. Padahal, waktu pernikahan mereka tinggal satu minggu lagi.
Maura sudah menyelesaikan pekerjaannya,
“Dra, kamu mau minum apa?”
“kamu sudah selesai?” Maura hanya mengangguk “Kopi boleh deh,”
“Jus tomat yah?”
“Terserah nyonya saja,” Maura berlalu ke pantry, padahal bisa saja dirinya menyuruh Nevi tapi selagi dirinya tidak sibuk, Maura jarang memerintahkan orang lain sekalipun itu bawahannya.
Hanya menunggu 15 menit, Maura sudah kembali dengan gelas di tangannya, satu jus tomat dan satu lagi air mieral, . Andra segera menutup I padnya. Setelah meneguk jus itu, Andra bicara pada Maura.
“Kenapa sih Ra, suka banget minum air mineral,”
“Sehat.”
“Tapi hambar,” Andra selalu saja mengejek Maura, karena kesukaannya terhadap air mineral.
“Percuma minum yang berasa dan berwarna juga, gak akan bisa merubah hidup kita jadi manis, malah bikin sakit.”
Andra menyipitkan matanya, sedikit kesal, Maura selalu saja bisa membalikkan ucapannya. Dia menepuk jidat, melupakan sesuatu,
“Ra, setelah kita menikah nanti. Kita tinggal di Apartemen yang di Kali bata saja yah, jadi posisinya gak terlalu jauh dari kantor kita.”
“Ouh apartemen yang kamu pakai buat kencan sama Sintia itu yah, yang wkatu kamu mabuk dan telpon aku malem-malem itu bukan sih,”
“Maura, udah dong jangan bahas itu terus, sumpah aku kencan juga tidak seperti yanga da di pikiran kamu. Kalau kamu gak suka yang itu kan aku punya dua unit.”
“Si kayaaa,” Maura meneguk kembali airnya.
“Serius Ra, kamu mau kan?”
“Iya, aku ngikut aja.”
“Hmm, terus kamu mau kita honeymoon kemana?” tanya Andra, mendengar kata itu pipi Maura memerah seperti tomat.
“Honeymoon? itu buat pasangan yang saling mencintai. kita sih, judulnya baby project.”
“Tapi, pipinya biasa aja dong, jangan blush gitu.” Andra menggoda Maura.
“Enggak. Lagian aku sibuk Dra, gak bisa pergi jauh-jauh.”
“Kita itu liburan terakhir kali pas kelulusan kuliah loh Maura, masa iya kamu gak kepikiran untuk liburan.”
Walaupun Maura bukan orang yang senang jalan-jalan, tapi terpikir olehnya untuk jalan-jalan jika saja dia tidak lupa bahwa dirinya baru saja menerima kasus perceraian.
“Aku ada kasus baru Dra.”
“Kasus apa?”
“Perceraian seorang artis.” Andra menggerutkan dahinya sejenak dia berpikir.
“Yang kamu pikirkan bener Dra, aku harus propesional,”
“Dia masih suka gangguin kamu? Mau aku bantu gak?” seandainya saja dulu, Maura tidak meminta bantuan sahabatnya ini, mungkin sekarang Andra tidak salah paham.
“Engga. Tenang aja, lagi pula kami propesional.” Ada rasa khawatir dalam diri Andra, namun segera ditepisnya.
“Hati-hati CLBK,” andra menekan kata itu. ada rasa tidak suka jika Maura terlalu dekat dengan laki-laki lain.
“Aku gak sebodoh kamu yah Dra,” Maura menyindir Andra, walau dalam hati dia merutuki ucapan tersebut. sebenarnya yang harus disebut bodoh adalah dirinya.
Andra meminum jus tomatnya sampai tandas, lalu berpamitan pada Maura, karena dia masih ada meeting bersama investor, yang sangat penting.