Pernikahan mereka tinggal menunggu hari saja, undangan sudah mulai tersebar. Ada beberapa media yang sudah menerbitkan kabar bahagia ini, bagi banyak orang mungkin ini kabar bahagia tapi tidak berlaku untuk Bintang dan Sintia. Ada hati yang terluka, ada jiwa yang seakan terlepas dari raga mereka. Rasanya sandi-sandinya sulit untuk digerakan lagi. Hampa dan sangat menyesakan.
Sintia membanting surat kabar dari salah satu majalah bisnis itu ke lantai, di sana terpangpang wajah Andra dan Maura. menghiasi trending topik. Dia menginjak foto bagian Maura, dengan sepatu hak tingginya. Seseorang yang melihat itu, sudah mulai merasa gelisah.
“Hati kamu terbuat dari apa sih Dra? Kamu pikir aku apa?” ucap Sintia dengan wajah yang sudah memerah, dan mata yang berkaca.
“Sintia tenang dulu, maaf sebelumnya. Jika kamu harus tahu ini dari orang lain. Bukan aku tidak menghargai kamu tapi aku-“ Andra tergagap. Dia kecolongan. Sebenarnya harusnya tidak ada media yang mengetahui kabar ini. Sepertinya ada paparazi yang berhasil mendapatkan informasinya.
“Karena kamu gak punya hati Andra! Karena yang ada dipikiran kamu, yang hanya menurut kamu benar saja. Sedangkan aku? Aku sama sekali gak ada dipikiran kamu!" Sintia murka.
“Maaf Sin, tapi kamu harus percaya aku benar-benar sayang sama kamu, cinta sama kamu," ucap Andra sungguh-sungguh.
“Gak ada Dra, cinta yang menyakiti cintanya sendiri. Aku tahu selama ini, aku yang selalu ngabisin uang kamu, tapi bukan berarti aku terima ini semua. Aku bisa ganti itu semua!"
“Sintia, kamu kan tahu, mamah aku gak setuju sama kita. Aku gak bisa nunggu sampai mamah aku setuju.”
“Yang harus kamu tahu Dra, selama ini, aku berusaha untuk tidak mencintai kamu, tapi aku gak bisa, aku kalah. Aku suka sama kamu. Aku cinta sama kamu.” Sintia menatap Andra dengan lekat, dia berharap genangan yang sudah memenuhi pelupuk matanya, tidak jatuh.
“Sintia bilang sama aku, kalau ini semua bohong!” mohon Andra, sambil memegangi tangannya, dia berharap Sintia tidak benar-benar dengan perkataanya.
“Enggak! Aku gak bisa mundur lagi!” air matanya, jatuh tanpa permisi lagi,
“Tapi kamu sudah janji untuk yang satu ini!” Andra masiih menuntut penjelasan,
“Aku minta maaf, aku kalah!” Sintia berkata dibarengi dengan air matanya, suara terakhir yang bisa dia katakan dengan jelas walaupun suaranya sudah sangat serak.
Andra memegangi jantungnya. Dia merasa sangat kaget sekali, bagai mana bisa, Sintia mencintai dirinya. Ini tidak boleh terjadi, bagai mana pun Andra tidak bisa menyakiti siapa pun. Semuanya tiba-tiba menjadi gelap, seketika badannya menjadi limbung.
“Andraaaa.” Suara jeritan Sintia menggema di ruangan milik Andra. Dia segera meminta pertolongan, dan membawa Andra ke rumah sakit.
Sementara itu, di kantor yang berbeda, Maura harus menghadapi Bintang, yang datang secara tiba-tiba dan lebih mengejutkan lagi, Bintang terlihat sangat berantakan, lelaki itu sangat terlihat kacau. Bajunya yang sudah kusut, wajahnya memar dan tidak bisa terelakan laki-laki ini sepertinya habis mabuk semalaman. Maura menghampiri Bintang dan membawanya ke kursi.
Belum kunjung sadar, Maura dengan telaten mengompres dan mengobati luka-luka Bintang. Dalam tidur lelapnya, Bintang terus saja mengigaukan nama Maura. hati Maura terasa terenyuh.
Nada dering handphone Maura berbunyi. Dia segera mengangkatnya setelah melihat nama si pemanggil adalah bang Jho, Maura sangat khawatir, mengetahui bahwa Andra masuk rumah sakit. Maura ingin segera menemui Andra, namun Bintang tidak ada yang menjaga, ditambah demamnya belum juga turun. Maura masih hapal, jika lelaki itu sedang demam, dia harus selalu menggenggam tangan siapapun dan tidak bisa ditinggalkan.
Maura menunggu Bintang sadar, waktu terasa berjalan lamban. Beberapa kali Maura melihat arlojinya.
“Muara,” ucap Bintang, yang baru saja bangun.
“Alhamdulillah, akhirnya kamu sadar juga, aku harus pergi, tapi kalau kamu mau istirahat di sini, istirahat saja dulu.” Maura segera mengambil tasnya lalu pergi, tanpa memberi kesempatan untuk Bintang bicara.
Dia pergi ke rumah sakit biasa Andra dirawat. Namun sial, dia terjebak macet, beberapa kali dirinya memukul stir mobil dan mengumpat. Setelah 30 menit akhirnya dia sampai. Dengan langkah tergesa-gesa dia segera memasuki ruangan inap. Dengan nafas yang memburu dia membuka pintu, di sana Andra sedang tidur dijaga oleh Sintia.
“Sedang apa kamu di sini?” pertanyaan itu langsung dilayangkan Maura pada Sintia.
“Gue? Ya nunggu pacar gue lah," ujarnya santai. Dia tidak ingin terlihat lemah dihadapan Maura.
Maura menarik pacar Andra ke luar dari ruang inap.
“Emang kurang uang belanjanya? Nih pake yang gue.” Maura memberikan salah satu kartunya, dan yang dilakukkan Sintia jauh dari prediksinya. Sintia menepis kartu itu sehingga jatuh ke lantai begitu saja.
“Gue emang suka ngabisin uang Andra, tapi bukan berarti gue gak punya harga diri, untuk nerima itu dari lu. Jangan sok suci munafik."
“Terus kenapa? Jangan bilang lu yang buat Andra begini.”
“Iya,”
“Kenapa Sintia, lu sama sekali gak bisa lihat sahabat gue sedikit aja. Jangan sakitin dia terus!” Maura berkata pelan namun penuh penekanan. Dia tidak ingin orang lain menyadari dirinya sedang berdebat.
“Bukan gue Ra, tapi lu.” Sintia meninggalkan Maura yang mematung tidak mengerti, kemudian dia berjalan menjauh. Maura terenyuh. Bingung dengan ucapan perempuan itu. Dia menatap kepergian Sintia sejenak. Lalu dia kembali masuk ke dalam
“Dra, kok bisa masuk sini lagi sih,” Maura berbicara sendiri sambil mengelus rambut Andra, dipandanginya laki-laki dengan rambut lebat dan rahang yang kokoh.
Cukup lama namun Andra belum juga bangun, tidak terasa justru Maura tertidur. Karena dia lelah, dia sampai melupakan makan siangnya.
“Ra…” Muara terusik dari tidurnya, dia mendengar seseorang memanggil namanya, ternyata itu Andra,
“Maaf Dra, aku ketiduran, kamu mau minum? Atau butuh sesuatu,”
“Bukan Ra, kamu pulang gih, ganti baju terus istirahat.”
“Enggak, nanti aku suruh Neva yang ambilin aku baju ke sini,”
“Nurut sama aku Ra, aku gak punya tenaga buat ngomongin kamu,”
“Dra, tapi kan kamu sendiri di sini,”
“Pulang Ra,” selalu seperti ini, Andra dengan segala keegoisannya, dia sangat anti bila Maura menemaninya yang sedang sakit, karena Andra akan terlihat leman, Andra tidak suka bila Maura melihat dirinya sedang kesakitan.
“Yaudah, kalau kamu ada apa-apa hubungi aku,” Andra hanya mengangguk, padahal Maura sangat ingin bertanya penyebab Andra begini.
Maura keluar dari ruangan, dan menemui salah satu suster jaga, agar menjaga Andra, walaupun dari kejauhan. Dia melihat waktu ternyata sudah pukul 8 malam. Handphonenya pun sudah akan mati, namun suara telpon terdengar
“Ra, kantor kamu mati lampu yah,” suara seseorang yang menelponnya
“Bintang? Kamu masih di kantor aku?” Maura panik, dia pikir Bintang memilih pulang setelah dia tinggalkan sendirian.