Part 9

1029 Kata
Dengan cahaya yang hanya sedikit, mata mereka benar-benar saling menatap dan terkunci, jarak yang tidak jauh membuat nafas Maura tidak beraturan. Seandainya saja ini terang, mungkin Bintang akan tau mata Maura sudah berkaca-kaca. “Aku hanya ingin tahu, alasan kamu pergi Maura, aku hanya lelaki dengan perasaan yang sama, yang selalu menyesal, yang selalu berharap tahu alasan sebenarnya ditinggalkan, tolong jujur," ujar Bintang dengan suara beratnya. Dia sudah memegang bahu Maura, sesak dalam hatinya sudah tidak bisa dibendung lagi. Semakin erat cengkramannya menuntut penjelasan perempuan di hadapannya. “Kamu sadar gak sih? Kamu sudah punya istri Bintang!” Maura membentak Bintang. Dan mencoba melepaskan tangan lelaki itu dari bahunya. “Kamu harus tahu satu hal, tidak ada pembenaran dalam sebuah kejahatan. Seklipun untuk kebaikan, kalau itu jahat, akan tetap jahat. Kamu harus belajar menerima satu hal, tidak semua hal akan selesai dengan penjelasan," ucap Maura sambil terisak. Silahkan katakan Maura wanita yang cengeng. Ya begitulah sekarang keadaannya. Sangat cengeng. Dia menangis, terisak, sesak dengan sangat prustasi, rasanya ingin berteriak agar semua orang tahu, dia juga merasakan sakit. tapi hanya sebuah rintihan yang keluar. Memang apa yang akan berubah dari sebuah kejujuran. Jika dia jujur, semua orang tahu, Bintang menceraikan istrinya lalu melamarnya. Dia membatalkan pernikahannya dan membuat Andra kena serangan jantung lalu meninggal. Kemudian dia akan menikah dan hidup bahagia bersama Bintang. Apa menjadi bahagia harus menyakiti banyak orang. Akan banyak korban jika dia menjadi egois. Apa dia akan menjadi seperti mamahnya, yang pergi meninggalkan keluarga, karena masih mencintai cinta pertmanya. Kenapa harus dia yang mengalami ini semua. Baru saat ini, Maura sangat menyesal telah jatuh cinta, bila harus sesakit ini, dia memilih tidak punya hati sedari dulu. Daripada, mejadi mati rasa seperti sekarang ini. “Aku minta maaf, kalau selama ini aku terus maksa kamu, tolong berhenti menangis, karena setiap air mata kamu adalah cairan asam yang membuat lukaku semakin perih,” ucap Bintang sungguh-sungguh. “Bukan kamu yang salah, bukan kamu yang harus minta maaf, tapi aku Bintang. Aku sadar aku sudah menyakiti kamu, tapi aku tidak bisa, aku tidak bisa menjelaskan apapun.” Bintang tidak menjawab ucapan Muara, karena yang diucapkannya diiyakan oleh hati kecilnya. Dia hanya bisa memeluk Maura, mengelus punggung perempuan dipelukannya dengan sangat sayang, berharap resah yang dirasakan perempuan itu ikut terhapus. Mungkin hanya ada satu dibanding sepuluh orang, dengan hati seperti Bintang, sangat membuat iri siapapun yang meilhatnya, lelaki memang selalu keras ketika berkelahi, tapi akan menjadi lembut ketika menghadapi wanita. Tapi tidak semua lelaki bisa berhati lapang seperti Bintang, yang bisa menerima dirinya disakiti dan masih mau memaafkan dan menjadi lelaki digaris terdepan jika perempuannya itu merasa tersakiti. Pagi hari, Maura terbangun dari tidur nyenyaknya, dari sekian malam, baru malam ini dirinya bisa merasakan tidur tanpa merasa gelisah seperti biasanya. Dia mencari Bintang, namun hanya sebuah note yang didapatkannya. To : Maura Pagi, Maura. maaf aku harus pergi lebih dulu, karena harus kerja. Aku sudah siapkan sarapan untuk kamu, dan juga air mineral dengan merk yang sama (. Oh iya, maaf gelangnya aku lepas, karena gelang ini suatu hari harus aku berikan pada pemilik sebenarnya. Maura segera melihat tangannya, ternyata benar, memang gelang itu sudah dilepas oleh Bintang. Dia hanya bisa tersenyum miris, kemudian memakan sarapannya. Dan pergi dari kantor, dia harus menjenguk Andra di rumah sakit sebelum pulang ke rumahnya Maura membuka pintu ruangan Andra, di sana sahabatnya itu masih tertidur dengan lelap. Maura mendekat ke brankar, kemudian berbisik “Cepat sembuh,” ucap Maura sambil memeluk Andra, Maura memperhatikan Andra, dia melihat apa dirinya bisa sekuat Andra. Apa dirinya, akan menjadi wanita yang sangat kuat, jika kelak punya anak dan ditinggalkan oleh Andra. Tanpa dia sadari, seorang wanita paruh baya, memperhatikan mereka berdua dengan miris. “Maura, mamah mau bicara soal perkembangan... jantung Andra.” “Mah, aku tidak mau tahu, soal itu. semua kita serahkan pada yang di atas saja.” “Tapi, pernikahan kalian tinggal 3 hari lagi.” “Aku bersedia Mah, tolong jangan ragukan lagi.” “Baiklah, Mamah mohon setelah ini, kamu tidak menyesal dengan keputusanmu.” “iya Mah,” Maura tersenyum pada mamah Andra. Sejenak dia merindukan mamahnya, mungkin jika ada seorang ibu yang mendampingi Maura saat ini, dirinya juga akan sekuat Andra. “Mah, Aku pulang dulu yah, kebetulan Papah katanya udah pulang dinas.” “Baiklah, ucapkan salam Mamah pada Papahmu yak” “Iya,” Maura pun pamit, Baru saja lima langkah, setelah menutup pintu, Maura melihat seseorang yang dia kenal, sedang duduk seperti menunggu sesuatu. “Sintia,” ucap Maura setelah mendekati orang tersebut. “Kenapa? Lu kaget gue ada di sini. Lu mau ketawain gue, karena gue harus menunggu kalian semua keluar dan gue baru bisa masuk untuk menemui kekasih gue sendiri.” Ada yang beda, Maura jelas tahu siapa Sintia ini, perempuan yang memang kekasih sahabatnya, yang sering memakai uang Andra untuk kebutuhan pribadinya. yang kerap kali hendak masuk penjara karena kasus perkelahian, namun selalu bisa berhasil digagalkan oleh Maura. “Kalau mau jenguk Andra, tinggal masuk aja, di sana ada Mamahnya," ujarnya santai. “Lalu, setelah itu Gue diusir," ucap Sintia dengan sinis. “Yaudah terserah." Maura pergi meninggalkan Sintia, hari ini dia sudah sangat lelah, rasanya tidak ada tenaga untuk meladeni siapapun. Dia hanya ingin bertemu dengan sang papah dan sedikit berbagi cerita, lalu kembali esok hari dengan perasaan yang sudah membaik. Karena tempat terbaik untuk pulang adalah keluarga, seberat apapun masalah yang sedang dialami. Keluarga adalah tempat paling aman, karena kalian tidak akan pernah dihakimi, ditinggalkan dan tidak juga dianggap sebelah mata. Karena darah akan selalu lebih kental. “Papah…” Muara memanggil papahnya, kemudian dia berlari kecil dan memeluk sang papah. “Kenapa Ra, tumben manja begini, ada yang nyakitin kamu? Bilang sama Papah,” Maura sangat terharu mendengar kata-kata ini, dia bersyukur ketika di antara banyak orang yang mungkin harus kehilangan sosok ayah. Merindukan kalimat kekanak-kanakan ini, dia sangat bersyukur. Dirinya begitu dimanjakan oleh sang papah. “Enggak Pah, Aku kangen aja,” ujarnya pelan. “Kangen Mamahmu?” “Pah…” Muara merengek tidak suka, segera melepaskan pelukannya. “Ya sudah, kamu istrirahat, siang ini kita berangkat ke SG.” “Ok,” Maura segera masuk, membersihkan diri dan bersiap untuk melanjutkan tidur. Jika yang lelah adalah raga bisa disembuhkan dengan tidur, namun seberapa lama pun kamu tertidur tidak akan bisa menyembuhkan lelahnya jiwamu. Sekuat apapun kamu berlari tidak ada bisa menandingi lelahnya jiwamu. Rasa lelah di jiwa tidak bisa dialihkan. Hanya bisa disembuhkan dengan satu cara yaitu bersyukur. Hal sederhana yang sering kita lupakan. Nikmat paling nyata yang tidak bisa dipungkiri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN