Maura sedang menunggu papahnya di ruang tamu, sambil membaca beberapa majalah bisnis, papahnya keluar dengan balutan pakaian santai.
“Tumben, sudah siang kamu belum berangkat kerja Ra?”
“Iya Pah, ada yang mau aku bicarakan,” ucapnya sambil terus melihat pergerakan sang papah yang akan duduk di sofa yang bersebrangan dengan dirinya. Tangannya meremas majalah yang berada dalam genggamannya, deburan jantung dan rasa gugup sulit untuk dikendalikan.
“Apa itu? sepertinya penting sekali.” Maura tidak langsung menjawab perkataan sang ayah, dia ragu sekaligus takut. Tapi sekarang atau pun nanti dirinya tetap harus bicara.
“Pah, Maaf sebelumnya, kalau selama ini, aku belum bisa bahagiakan papah, selalu merepotkan papah. Terima kasih Pah, karena mau membesarkan anak seperti aku, anak dengan segala kekurangan. Aku mau menikah Pah.” Sangat khas dari seorang Maura, to the point. Dia tidak bisa berbasa-basi lagi, walaupun sangat gugup tapi Maura tetap berusaha tenang.
Hal yang berbeda dirasakan oleh Andi, bagaimana pun dia baru pertama kali mendengar kata itu, setelah dia menyaksikan sendiri kehidupan putrinya yang tidak pernah punya pacar. Walaupun dia mengerti bahwa suatu saat, atau kapan pun itu, pasti akan mendapatkan kalimat tersebut terlontar dari sang anak. Tetap saja, rasanya sangat berat untuk Andi mengingat betapa sangat berharganya Maura untuk dirinya.
Sekeras dan sebodoan orangtua, terutama ayah, beliau akan sangat merasakan kehilangan. Bagaimana dulu beliau yang menjaga puterinya ketika malam hari terbangun, membacakan dongeng, melatih berjalan, bersepedah dan mengajarkan bagaimana mudahnya hidup tanpa mengerti sulitnya kerja keras.
“Ternyata kamu sudah besar Nak, apa Papah terlalu sibuk, sehingga melewatkan kisah penting puteri satu-satunya ini hmm,” ucap Andi berusaha menutupi keterkejutannya, tidak ingin anakanya merasa terintimidasi. Bagaimana pun juga, dia yang sangat tahu keadaan sang putri melebihi siapapun, bahkan bunda Maura sekalipun.
“Maaf, kalau ini begitu mengejutkan Pah, tapi Maura sudah berpikir panjang dan sudah memutuskan, Maura mohon tolong papah restui hubungan Maura ini,”
“Siapa laki-laki yang berani-beraninya mau mengambil puteri Papah yang galak ini?” Maura tersenyum mendengar penuturan Papahnya.
“Andra Pah,” saat mengatakan ini Maura sudah duduk di sofa yang sama dengan sang Papah. Dia memohon agar diberikan restu, ada tatapan berbeda yang tersirat dari mata Andi, alis yang hampir menyatu dengan kerutan di dahi. Melihat itu, Maura segera berbicara.
“Pah, gak ada manusia sempurna di dunia ini, begitupun kita.”
“Bukan itu Maura, Papah ingin jika kamu menikah justru orang itu akan melindungi, menjaga dan menua bersama kamu.”
“Aku yakin Andra pasti bisa Pah,” Maura masih melihat keraguan di mata Papahnya, “Lagi pula kan bisa berobat ke luar negeri, sekarang alat kesehatan sudah canggih kok.” Andi yakin betul, keputusan anaknya itu pasti tidak bisa dibantah, walau dengan berat hati rasanya Andi tidak bisa menolak.
“Bawa laki-laki itu kehadapan Papah, jika dia memang lulus maka papah ijinkan kamu, tapi jika tidak menyakinkan jangan harap.” Mata Maura langsung berbinar, memang papahnya lah orang yang paling the best. Tidak menunggu lama, Maura segera memeluk papahnya dan mengucapkan terima kasih dengan tulus, setelah itu pergi ke kantor.
Sementara Andi, dia masih belum yakin dengan dirinya sendiri, dia takut jika melepas anaknya untuk laki-laki itu, trauma Maura akan semakin menjadi. Kehilangan sudah menjadi hal yang biasa untuk Maura, dia bahkan tidak pernah menangis saat kehilangan sesuatu. Termasuk, kepergian ibunya yang memilih menikah dengan cinta pertamanya, setelah mereka berpisah.
Waktu sudah menunjukan hampir tengah satu, tapi Maura masih tetap setia di depan laptop, pekerjaan sebagai pengacara, memang sangat menyita waktu bila sedang ada kasus. Dia sampai lupa bahwa ada janji dengan sahabatnya, eum salah, maksudnya calon suami.
Tok
Tok
Tok
Suara pintu diketuk, terdengar oleh Maura tidak mengalihkannya dari pekerjaan.
“Masuk!” setelah perintah itu terdengar oleh di pengetuk, pintu pun terbuka.
“Pantesan, kebiasaan, kalau udah masalah pekerjaan pasti semua dilupain.”
“Loh kamu Dra, aku pikir Neva,” ucap Maura saat melihat Andra datang dengan membawa beberapa jinjingan di tangannya.
“Ibu bos sibuk banget kayaknya, saya di utus oleh tuan bos untuk memberi makan, supaya cacing di perut tidak demo.” Maura tersenyum mendengarkan ocehan Andra, nyatanya dia sudah terbiasa dengan hal itu. tanpa menjawab, dia kembali bekerja, Andra membuka kotak pizza yang dibawanya, diangkat satu juring pizza dan mendekati Maura sambil duduk di tepian meja yang lumayan luas itu.
“Junk food?” Maura melirik sinis ke arah Andra, “emang udah niat jadiin aku janda sebelum kamu nikahin Dra?” yang disindir, malah senyum-senyum sambil menyuapkan pizza itu ke mulut Maura, kemudian ke mulutnya.
“Hidup Cuma sekali Ra, kalau sakit tinggal minum obat, tapi kalau gak makan ini bisa mati penasaran aku jadinya.” Perempuan itu sangat gemas dengan tingkah laku lelaki di sampingnya ini, segera mencubit perutnya itu.
“awwsss, jahat banget sih, iya maaf deh, kamu lupa emang ini kan emang jadwal aku makan junk food, kamu pasti lupa, sibuk kerja sih,” ujarnya sambil mengacak rambut Maura.
“Maaf, ouh iya aku lupa. Tadi aku sudah bilang papah. Kita akan menikah. Lalu papah memintamu untuk datang.”
“Hmm, sepertinya aku mengalami menantu shyndrom, rasanya takut sekali bertemu dengan papahmu yang galak itu,” Maura meggapai tangan Andra yang sedang memegang sedikit pizza itu lalu memakannya.
“Terserah kamu itu sih, sorry yah yang ngantri sama aku itu banyak, bukan cuma kamu.”
“Tapi kan cuma aku yang kamu tanggapin wlek,” Andra mengejek Maura, “ Lagi pula, kamu tidak usah khawatir, aku juga sudah bilang keluarga ku, mungkin minggu depan kita akan adakan pertemuan keluarga.”
Maura bangkit dari duduknya, lalu ke meja tamu yang di sana sudah ada minuman tea kesukaannya.
“Jangan lupa minum obat Dra, kamu gak lupa bawa kan?” Andra mengangguk lalu menggeleng, dan mengeluarkan obat yang Maura maksud dari saku jasnya.
“Bisa di pecat Om Andi aku, kalau gak minum obat ini.”
“Bercanda mulu sih, Yaudah minum terus istirahat dulu baru nanti balik lagi ke kantor.” Bukan seperti kekasih yang khawatir, tapi lebih mirip bos yang sedang memerintahkan peliharaannya, Andra hanya tersenyum lalu mengangguk, setelah meminum obat, laki-laki itu pun tertidur di sofa. Maura memastikan Andra tertidur, lalu mengatur pendingin ruangan agar sahabatnya itu tidak kedinginan.
Sebelum kembali ke meja kerjanya, dia melihat ponsel andra yang sedang bergetar dan di layar terlihat gambar telepon dan nama seseorang yang tidak Maura sukai. Namun bagai mana pun Maura tidak pernah mau mengganggu privasi sahabatnya tersebut. jadi dia tetap membiarkan telepon itu berbunyi tanpa berniat untuk mengangkatnya atau membangunkan sang empunya hadnphone.
Persahabatan akan berjalan lancar, ketika kita bisa saling menghormati privasi sahabat kita sendiri. Beri mereka ruang untuk dirinya sendiri, karena jika kepo itu namanya netizen bukan sahabat.
Sudah pukul lima sore, Maura segera merapihkan berkas yang ada di mejanya, dia bersiap untuk pulang. Wajah damai seseorang yang sedang tertidur, membuat Maura tersenyum, sambil geleng-geleng kepala. Andra belum pulang karena efek dari obat yang diminum.
“Hei bangun, Dra ini udah sore,” mendengar kata sore Andra segera bangun, walaupun bukan untuk pertama kalinya tapi tetap saja dia kesal.
“Maura kenapa sih, gak bangunin aku.”
“Mana tega Dra, kamu tidur lelap banget.”
“Itu kan efek obat,” Andra masih saja merajuk. Tapi Maura tidak ambil pusing.
“Kamu mau pulang atau enggak? Aku udah mau pulang soalnya.”
“Iya,iya pokonya aku gak mau minum obat itu lagi di sini.”
“Terserah kamu. Oh iya, tadi pacar kamu telepon.” Mata Andra membulat.
“Ah kamu sih Maura, dia pasti marah. aku tidak angkat panggilannya.”
“Kasih kartu gold yang ada di dompet kamu aja, nanti juga dia gak marah lagi.”
“Hei, dia bukan seperti itu Maura, aku kan pernah bilang, aku yang kasih, dia juga gak maksa aku.”
“Terus?” Maura menaikan satu alisanya, jelas-jelas Maura tahu wanita seperti apa yang dipacari oleh Andra.
“Kalau kamu belain dia di depan aku, lain kali kalau dia buat masalah lagi di Club, kamu yang belain dia dipengadilan. Bye.”