Semuanya berawal dari kata ketidaksengajaan
Aletha Arabella
-
Hembusan napas tidak beraturan saling bersahutan dari tiga gadis berbeda. Langkah kaki yang semakin dipercepat tak urung membuat orang lain menatap mereka aneh. Salah satu di antara mereka sempat menabrak punggung pejalan kaki secara tidak sengaja. Ringisan, serta ucapan maaf keluar begitu saja hingga rasa tertunduk malu mengikuti.
Mengabaikan sejenak rasa lelah yang menghampiri, mereka berhenti sembari menengok ke belakang dengan kesal. Pandangan masih tertuju pada empat remaja laki-laki yang mengejar sejak tadi, seperti sedang bermain film action tanpa memperhatikan sekitar. Entah apa yang terjadi sampai mereka dalam situasi seperti ini.
"Mereka itu gila ya! Apa tendangan Aletha kurang kenceng? Ngapain coba masih ngejar? Capek banget gue, parah!" Laras memegangi perutnya yang terasa sakit akibat berlarian sepanjang jalan trotoar.
"Tha, bukannya g**g ini satu jurusan sama sekolah kita?" tunjuk Tania pada g**g yang memiliki jarak beberapa meter dari mereka.
Sembari menyeka keringat di sudut pelipisnya, Aletha tersenyum miring. Ada sebuah ide yang melintas dalam benak. "Kita pisah di sini, ketemu di minimarket depan sekolah,"
Sama dengan dua temannya, ia ingin segera terlepas dari kejaran para cowok kurang ajar itu. Jelas-jelas mereka yang salah, bukannya meminta maaf malah memperpanjang masalah, membuatnya semakin pelik hingga harus menghindar dan bermain kejaran-kejaran seperti saat ini. Sangat menggelikan.
Sejujurnya, Aletha juga sudah mulai jengah. Ia bisa saja menghajar empat cowok kurang ajar tadi yang ingin melecehkan mereka pada saat menunggu di halte bus. Yang dengan sengaja memegang paha Tania, lalu pura-pura menjatuhkan sesuatu tepat di bawah kaki Aletha. Sedang apa kalau bukan mengintip? Masih memandang sekitar niat itu ia urungkan, cukup menendang barang berharga dua di antara mereka, lalu kabur bersama teman-temannya. Yah, alasan terbesar yang menjadi penyebab mereka dalam situasi penuh drama film seperti sekarang ini.
"Ya ampun.. balik lagi dong kitanya! Gue capek," Laras mengeluh tidak sadar, bahwa mereka memang sudah berlari menuju ke sekolah lagi. Sepertinya sepanjang perjalanan ia sibuk melihat ke belakang.
"Duh, bodo amat gue sama lo, Ras." Tania memutar bola mata kesal, Laras masih saja tidak peka dengan keadaan sekitar. "Setuju aja gue, Laras sama gue lurus, lo belok ke g**g, Tha. Gimana?"
"Oke," jawab Aletha, setuju.
Lalu, mereka berpisah di ujung g**g. Berniat mengecoh empat remaja itu, agar mereka tahu bahwa mencari gara-gara pada orang yang salah bukan pilihan baik. Dan suatu keberuntungan besar bagi Aletha berhenti tepat di depan g**g sempit yang berujung pada jalan sekolahnya.
Sementara itu, keempat cowok tadi merasa bingung bercampur dengan rasa kesal. Tidak bisa menemukan apa yang mereka cari ketika sampai di depan g**g. Mereka kehilangan jejak Aletha dan dua temannya. Tidak tahu jika g**g sempit itu adalah jalan tikus menuju sekolah. Mereka bukan siswa Erlangga.
"s**l! Kita kehilangan mereka, bos." Doni mengumpat kesal, mengacak rambutnya asal.
"Dari mana mereka? Cewek kurang ajar itu bikin anu gue sakit, s**t!" geram Aldo. Pandangannnya memicing penuh emosi, tangannya memegangi area bawah yang menjadi korban s***s Aletha.
Doni berdeham. "Mereka cantik.. ngomong-ngomong. Gue suka yang model liar gitu, dan gue yakin lo juga." Ia tersenyum miring sembari menggosok dagunya pelan. Tahu Aldo tidak pernah secara terang-terangan mendapatkan penolakan dari seorang cewek. Aldo seorang player.
"s****n lo! Gue masih kesakitan juga lo mikirin hal kayak gitu! Apa masih penting kalau barang gue sakit!"
Aldo ingin sekali memukul kepala Doni yang kosong. Benar-benar tidak tahu situasi, ini bukan saatnya memikirkan hal semacam itu. Pacar dan apa saja kebodohan yang mengikutinya. Ketemukan mereka terlebih dahulu, lalu memikirkan sesuatu untuk membalas perbuatan mereka. Aldo menganggap ini sebuah penghinaan besar untuknya.
"Mereka dari SMA Erlangga, gue yakin seragamnya." ucap Doni lagi. Beruntung tendangan Aletha tidak begitu keras padanya. Ia tidak merasakan sakit saat berlari seperti Aldo.
"Erlangga? s**t, Sekolah Faisal?" Doni mengangguk samar. Aldo lantas berdecak, memandang ke sekeliling geram. "Masa bodoh dengan Faisal, cewek itu perlu dikasih pelajaran. meski harus ngelawan s****h kayak Faisal. Gue nggak peduli!"
Benar-benar hal sepele yang diperbesar, ini semakin seperti drama saja.
****
Aletha terus berlari hingga sampai pada sebuah minimarket di depan sekolahnya. Aletha duduk di kursi santai depan minimarket sembari menyeka keringat yang membanjiri wajah ayunya, cewek itu melihat ke arah gerbang sekolah yang sepi, hanya beberapa siswa yang masih berlalu-lalang di sana. Tentu saja, pasalnya dua jam yang lalu bel pulang sekolah berbunyi nyaring. Mungkin sekarang sekolah berisi siswa ekstrakurikuler basket dan dance yang jadwal latihannya sampai sore.
Merasa haus karena berlarian sepanjang g**g, Aletha membeli sekaleng minuman isotonic di minimarket untuk menyenangkan kerongkongannya yang berteriak haus minta disiram, dan duduk kembali di depan minimarket sembari melihat ke sekitar berharap teman-temannya segera datang.
Baru saja rasa hausnya hilang, kini pandangannya dihujani oleh vitamin A yang berlebihan.
Cowok itu baru saja memarkirkan motor besarnya di depan Aletha yang sedang duduk, ia melihat setiap gerak-gerik cowok itu dalam diam. Aletha tidak sengaja membuka mulutnya. Ini bukan tentang hal berlebihan, seperti melihat vitamin menyegarkan semacam itu lalu terjatuh akan pesonanya. Akan tetapi karena cowok itu berhenti di depannya, tepat saat Aletha akan meminum isotonic miliknya.
Aletha merasa tidak pernah melihat cowok itu di daerah sini. Menghendikan bahu tak acuh, ia tidak mau mengaambil pusing akan hal itu. Bukan sesuatu yang harus dipikirkan secara serius.
"Kenapa lo? Nggak pernah lihat cowok ganteng sampai mangap begitu?" ucapnya tersenyum miring.
Siapa yang dimaksud cowok ini?
Sialan!
Sepertinya Aletha harus menghapus spesies ganteng pada makhluk di depannya ini menjadi si songong tingkat wahid. Yang benar saja baru bertemu sudah percaya dirinya selangit!
Aletha berdecak malas. "Dih.. pede gila, yang ada gue kaget, kok ada cowok sejelek lo!"
Meski dilihat dari sudut manapun cowok itu memang ganteng. Celana jeans warna biru gelap dipadukan dengan kaos putih dan jaket bomber berwarna green army memberi kesan macho sekaligus keren. Ditambah rambut berantakan tanpa minyak dan wajah blasteran. Seberapa keras Aletha menyangkal tetap saja hatinya berkhianat. Aletha jadi kesal sendiri akan kebenaran yang dilihatnya. Bukan dia tidak pernah melihat yang lebih ganteng dari cowok itu, koleksi mantannya tidak ada yang di bawah standart. Mereka Paket komplit berkantong tebal.
Aletha hanya berpikir cowok di depannya ganteng, sedikit. Tidak lebih!
Agam mendengus geli lalu masuk ke minimarket mengabaikan cewek yang mengumpat kesal karena ucapannya tadi. Ada hal yang lebih penting ketimbang mengurusi cewek yang tidak ia kenal.
Menghendikan bahunya ringan, Aletha memilih membuka pesan yang baru saja masuk ke dalam ponsel nya. Pesan dari Tania yang berisi kalau anak itu tidak bisa menyusulnya ke minimarket. Mama Laras datang menjemput, mereka bertemu di jalan tadi. Sedang Tania sendiri dengan terPaksa ikut bersamanya. Tidak mau mencari masalah dengan Mama Laras yang sedikit pemarah.
Aletha mendengus, meletakkan kembali ponselnya ke dalam saku. Bangun dari duduknya, ia lantas berjalan meninggalkan minimarket. Tapi sebelum benar-benar pergi, ia kembali lagi dan menendang ban motor milik cowok itu. Kemudian kabur berharap aksinya tidak ada yang mengetahui.
Agam menggeleng tidak habis pikir melihat tingkah cewek tadi dari balik kaca minimarket. Cewek itu benar-benar usil dan kurang ajar, untung saja motor kesayangannya tidak roboh kalau sampai roboh mungkin Agam akan mengejar cewek itu dan meminta ganti rugi.