Hanya kebetulan biasa
Agam Aldric
-
Sudah satu Minggu Agam pindah ke SMA Erlangga di Jakarta, Setelah masalah yang dibuatnya, hingga Agam harus dikeluarkan dari sekolah lamanya di Bandung.
Bagaimana tidak? Seorang pelajar ketahuan merokok di perpustakaan pada saat jam kosong, dan itu ia lakukan hanya karena ingin mencoba. Meski sebetulnya Agam memang cowok nakal, ia masih memiliki hal positif. Ia bukan seorang perokok.
Agam hanya menempelkan ujung bibirnya pada ujung hisap rokok. Itu semua ia lakukan untuk mencari masalah. Yang akhirnya benar-benar membuat kepala sekolah menjadi marah besar dengan sikap Agam. Sangat disayangkan, padahal Agam termasuk murid yang masuk jejeran sepuluh besar ranking kelas seangkatan, meski sikapnya yang tidak disiplin dan suka tawuran.
Dan sekarang, mau atau tidak Agam harus mengikuti kemauan Papanya untuk kembali pulang ke Jakarta, ke tempat kelahirannya. Agam tahu Papanya hanya ingin yang terbaik untuknya. Adipati menyayanginya. Tapi Agam tidak bisa memaafkan kesalahan Papanya dulu, Agam cuma tidak ingin Mamanya kecewa di atas sana nanti. Mungkin ini sudah terlanjur, namun tidak ada kata terlambat untuk diperbaiki. Ia sudah memutuskannya dengan matang. Agam mau menuruti kemauan Adipati asal tidak tinggal di rumah besar itu lagi bersama dengannya.
Sekarang suasana kelas XI IPA 1 begitu ramai, baru saja bel istirahat berbunyi dan itu disambut suara lega para siswa yang sudah mulai bosan dengan pelajaran sejarah tadi.
Raka menepuk bahu sebelah kiri Agam pelan. "Gimana sekolah di sini? betah?"
Raka adalah teman Agam yang dulu ikut pindah bersama orangtuanya ke Jakarta waktu mereka masih SMP. Orangtua Raka ingin memfokuskan bisnisnya di kota metropolitan itu, kota yang penuh dengan keramaian serta persaingan bisnis yang ketat.
Sedang Agam sendiri tinggal di Bandung bersama Tantenya yang satu kompleks perumahan dengan Raka, mereka termasuk teman yang dekat sampai Raka harus pindah ke Jakarta mengikuti kemauan kedua orangtuanya.
"Lumayan." Agam memasukan buku-bukunya ke dalam tas tanpa berniat menjawab pertanyaan Raka lebih jauh.
"Minggir," sambungnya mendorong kursi Raka dengan kakinya agar bisa lewat.
"Duh.. duh... bentar kamvret gue masih duduk nih!"
Agam tersenyum melihat Raka yang hampir terjatuh karena ulahnya, lalu melangkah pergi meninggalkan Raka yang masih mengumpat kesal di belakang, kemudian berlari untuk menyamai langkahnya yang panjang.
"Wait, Gam. Jadi lo beneran berubah? Tampilan lo bener-bener bikin mata gue sepet."
Raka meneliti Pakaian Agam dari atas sampai bawah lalu ke atas lagi, kemudian menggeleng seperti peneleti fashion artis.
Baju dimasukan rapi, sementara kacamata persegi bertengger manis di hidungnya. Agam masih terlihat ganteng, cuma hal itu tertutupi dengan kesan culun dan kuper, benar-benar bukan Agam sekali. Itu yang ada di pikiran Raka sekarang.
Agam yang merasa risih dengan tingkah Raka langsung menonyor kepala Raka. Hal itu mendapat teriakan histeris dari Raka. "Aduhhh... Si Banteng! Kalo mukul Pakek tenaga banget!"
Raka mengeluh sambil menggosok kepalanya. "Gam, lo mau ke kantin apa ke perpus habis ini? Kalau ke perpus gue nggak ikut,"
Mereka berjalan beriringan menyusuri lorong sekolah yang cukup ramai. Sesekali terdengar bisikan para siswi yang membicarakan mereka, pasalnya Agam masih siswa baru mungkin itu yang mereka bicarakan. Agam tidak tahu dan tidak mau ambil pusing.
"Ke perpus, gue mau balikin buku yang gue pinjem."
"Gue nggak ikut kalau gitu.. itu tempat keramat, gue nggak bisa masuk situ." Raka bergidik ngeri, membayangkan tumpukan buku berjejer rapi di lemari perpus setiap lorong berisi buku dan hanya buku. Sungguh, Raka tidak menyukai suasana di dalam perpus, menurutnya itu terlihat menyeramkan.
Agam menggeleng geli, sahabatnya ini memang sedikit tidak waras. Terlalu sering berpikiran melantur. Mendengus Agam lalu berucap. "Kalau gitu tunggu gue di kantin aja."
"Oke, bos. Siap!" kemudian berlari meninggalkan Agam yang masih tersenyum geli menatap kepergian Raka.
Menggeleng, Agam melanjutkan langkahnya menuju perpus mengabaikan tatapan para siswi yang ditujukan untuk dirinya sepanjang jalan.
Apa ada yang salah dengan penampilannya?
****
Satu hal yang membuat Agam bingung, dua orang siswa yang berdebat hal tidak penting di depan pintu masuk perpus.
"Enggak! Sekali nggak, tetep nggak!"
"Duh... bentar aja Larass, Bu Sofi kan udah nyuruh lo ngambil buku di perpus."
"Tapi, Dinn.. perpus itu serem, lo tahu sendiri gue nggak pernah ke perpus. Masa gue masuk perpus sih... ogah pokoknya!"
Laras masih saja bersi keras dengan pendiriannya. Ia tidak ingin masuk ke dalam perpus, padahal Bu Sofi guru Matematika menyuruhnya mengambil buku Paket untuk anak kelas XI IPA 3 bersama Udin, si ketua kelas.
"Gue aduin Bu Sofi nih, biar dihukum bersihin perpus sekalian. Udah telat juga tadi, dihukum ambil buku di perpus aja riweuhnya minta ampun, sana masuk!" Udin mulai kesal akan tingkah Laras yang tidak masuk akal baginya.
"Duh, s****n banget! Jangan dongg, Udinn! Iya, gue masuk nih." dengan menghentakkan kaki Laras masuk ke perpus mendahului Udin yang tersenyum penuh kemenangan.
Agam yang melihat perdebatan Udin dan Laras menggeleng tidak habis pikir. Bagaimana sekolah ini bisa dipenuhi siswa dengan pemikiran seperti Raka. Yang jelas-jelas hal semacam itu bukan sesuatu yang masuk akal jika dipikirkan secara benar. Merasa tidak penting, Agam memilih masuk ke dalam perpus, kembali pada niat awalnya.
****
Raka duduk di meja paling pojok, dekat warung bakso Pak Karjo. Tempat itu biasa dijadikan tongkrongannya bersama anak futsal dan beberapa anak dari luar club. Raka bergabung bersama Yoga dan Aldi yang sudah terlebih dahulu duduk di tempat itu sembari memesan bakso.
Melihat Agam yang berjalan memasuki kantin, Raka melambaikan tangan. "Agam! Sini!" teriaknya tiba-tiba.
Sontak saja semua mata memandang ke arahnya. Raka hanya tersenyum menampilkan deretan giginya sembari mengangkat dua jarinya tanpa dosa. Agam menggeleng sekilas, berjalan menghampirinya, lalu duduk di samping Raka yang sudah terlebih dahulu memesan dua mangkuk bakso.
"Ngomong-ngomong, lo pada tahu nggak, kalau seminggu ini Aletha bolos lagi?" Yoga memasang wajah serius seperti membahas sebuah misi berbahaya yang terkesan berlebihan.
Braakkk!
"Ahhh... t*i! Bakso gue tumpah." Yoga menonyor kepala Raka yang tadi menggebrak meja tanpa alasan yang jelas, membuat sebagian dari kuah baksonya tumpah.
"Lo yang t*i, lo bikin gue nggak napsu makan. Bayangin! Gue udah stalkerin dia dari kelas satu. Pas gue mau nyatain cinta dia udah gandeng cowok lain... sakit hati gue Bangg," Raka memegangi dadanya seolah menunjukan rasa sakitnya. "Tunggu, kenapa dia nggak masuk? Sakit? Duh!" sambungnya beruntun.
Jujur saja alasan Raka terdengar lebih mirip sebuah curhatan seorang gadis yang patah hati, sangat berlebihan. Hal itu lantas membuat Yoga kembali menonyor kepala Raka lebih keras. Raka mengumpat akan perbuatan Yoga yang terkesan kasar sembari melotot kesal.
"Emang kenapa lo tanya Aletha Yog? Lo naksir?" Aldi yang sudah menghabiskan baksonya kini ikut berbicara tentang Aletha.
"Astaghfirullah... gue ingat kalau mau suka Aletha. Cantik sih, badannya bagus juga, tapi... judesnya minta ampun." Yoga menggeleng jika membayangkan ucapan Aletha. Cewek judes itu, tidak segan-segan bersikap tidak ramah pada setiap cowok yang menurutnya mengganggu. u*****n adalah hal yang paling sering ia keluarkan.
"Muna banget, lo dikasih juga mau, gue tahu lo juga nyimpen fotonya Aletha. Gue aduin Tyas baru tahu rasa! Inget, lo udah punya pacar!" Raka yang sudah kembali fokus dengan obrolan mereka ikut menimpali dengan ekspresi tidak suka. Ia masih dengan jelas merasakan sakit di kepalanya.
Agam hanya jadi pendengar, masalahnya Agam juga tidak tahu siapa yang mereka bicarakan, dan dia juga tidak berminat untuk mencari tahu. Bukan hal penting untuk diurusi.
"Kenapa lo jadi bawa-bawa Tyas! Gue tipe setia kamvret!" Yoga melempar sedotan ke wajah Raka.
"Malah pada debat sendiri, jadi gosip nggak, nih?" tegur Aldi malas.
Yoga berdeham. "Jadi gini, kemaren, ada anak dari sekolah lain nyari dia. Mereka udah tiga kali nyari Aletha seminggu ini," Yoga menggantungkan ucapannya untuk mengambil minum sebentar. "Menurut kalian, apa mereka punya niat baik?" sambungnya lagi.
Raka menggeser mangkuk baksonya. "Ya meneketehe, lo tahu sendiri Aletha sering gonta- ganti pacar. Nggak kaget gue."
"Betul, gue setuju sama si Raka, lagian lo nggak ada kerjaan banget ngurusin Aletha." balas Aldi.
"Gaya lo! Kayak lo nggak! Padahal dalam hati juga kesel, pengen deketin itu cewek,"
Aldi mendengus mendengar ucapan Yoga. Ia melirik tak acuh cowok berambut hitam legam itu, melihat ke samping Raka. Di sana, Agam masih diam terlihat tidak tertarik untuk masuk ke dalam obrolan mereka. "Gam, mau ikut ekskul apa? Masuk futsal aja bareng kita."
"Nanti gue pikirin lagi," jawab Agam singkat. Aldi lantas mengangguk.
Selang beberapa saat bel masuk berbunyi. Agam cukup terkejut ternyata sekolah barunya lumayan menarik. Semoga ia bisa sekolah di sini sampai lulus, tanpa membuat masalah lagi.
****
"Tan, anterin gue ke minimarket dulu. Di seberang jalan depan kompleks, nanti gue nyebrang sendiri."
"Lo adek kurang ajar emang ya, panggil gue Abang! Bukan Tristan apalagi Tan."
Aletha memutar bola mata bosan. "Duh, lo salah bangun?"
"Nggak, hla. Telinga gue cuma pengen dimanja," ucap Tristan mengerling nakal.
Aletha mendengus malas. "Dih.. emang lo j****y!"
Bukannya menjawab Tristan malah terkekeh kecil mengabaikan ucapan Aletha. Mereka baru saja pulang dari Yogyakarta. Melakukan wisata ke Borobudur dan kegiatan panjat tebing di salah satu Universitas Yogyakarta. Mereka sudah terbiasa, Aletha sering mengikuti kegiatan semacam itu bersama Tristan. Ia bahkan mengikuti kegiatan ekstrakurikuler karate di kampus Tristan hanya untuk mengisi waktu luang. Mungkin kebanyakan orang berpikir hal semacam itu membutuhkan sebuah persetujuan dari kedua orangtua. Namun bagi Aletha, ia sama sekali tidak membutuhkannya.
Hal seperti itu akan membuang waktunya dengan percuma.
Tristan memarkirkan mobil di seberang minimarket dekat pagar pembatas trotoar. "Gue tunggu sini, lo nyebrang hati-hati, dek!"
"Iya.. iya. Cerewet banget, sih. Jangan panggil adek! Geli gue denger lo manggil gitu," Tristan hanya menghendikan bahu tidak peduli.
Aletha mendengus, membuka pintu dan menutupnya sedikit keras, lalu berjalan di jalur penyebrangan saat sebuah pick up kehilangan kendali setirnya menuju ke arah cewek itu. Kejadiannya begitu cepat. Entah apa yang terjadi, Aletha masih shock, ia masih belum sadar dengan apa yang terjadi. Hal terakhir yang ia rasakan hanya sebuah lengan kokoh memeluknya erat dan membawanya ke pinggir jalan. Aletha berusaha membuka mata, ia bisa melihat wajah di depannya meski samar. Aletha mengernyit, merasa pernah bertemu dengan cowok itu sebelumnya. Dan di detik berikutnya kegelapan menyerang, membawanya ke alam bawah sadar secara keseluruhan. Tanpa tahu apa yang akan terjadi nanti.