1 | Berniat Mengusik

2080 Kata
Khusus buat lo, gue bedain cara makasihnya. Karena lo beda.. gue suka. Aletha Arabella - Setelah kejadian yang menimpanya dua hari yang lalu, Aletha baru masuk sekolah hari ini. Bertepatan pada hari upacara di sekolahnya. Yang menjadi masalah ia paling malas untuk ikut upacara, menurutnya itu adalah hari paling membosankan sepanjang sejarah sekolah yang ia lalui. Ia harus memakai seragam lengkap bersama topi yang menurutnya bukan gayanya sama sekali. Sialnya lagi, bangun kesiangan menjadi pelengkap harinya. Bergegas memasang tali sepatu dan turun dari lantai dua kamarnya, Aletha memandang sepi ke sekeliling rumah sembari tersenyum kecut. Memang apa yang ia harapkan? Paginya selalu sama tidak ada yang berubah. Tetap sepi. Beralih melihat pesan yang baru saja masuk di ponselnya. Memandang nama yang tertera, pesan itu dari Tristan. Trisstanwidi_ Tha, gue berangkat duluan. Gue ada urusan di kampus. Lo masuk hari ini? kening lo gimana? masih sakit? Trisstanwidi_ Mama tadi pagi tanya lo. Aletha hanya tersenyum miring membaca pesan terakhir dari Tristan. Tidak mau merusak paginya, ia lalu memasukkan kembali benda persegi itu ke dalam tas dan pergi meninggalkan rumah bernuansa putih itu. Setelah turun dari sebuah angkot Aletha berlari menuju gerbang sekolahnya yang hampir saja tertutup. Masih ada tujuh menit sebelum upacara dimulai, mungkin ia bisa merayu satpam sekolah agar mau membukakan gerbang untuknya. "Pak Sarip! Stop! Jangan tutup gerbangnya!" Pak Sarip hanya menggeleng tidak habis pikir melihat Aletha yang berlari menuju ke arahnya sembari berteriak. Bukannya membukakan ia justru menutup, lalu mengunci gerbang dan meninggalkan Aletha yang mengumpat kesal. Pak Sarip sudah hafal betul dengan murid yang satu ini. Suka datang terlambat dan membuat onar. Dia harus bersikap adil. "Duh. Malah ditutup! s**t!" Aletha memang tidak ada sopan-sopannya sama sekali. Dia dan kedua temannya selalu usil pada satpam itu, apalagi mereka selalu berhasil membolos lewat gerbang depan sekolah tanpa sepengetahuan Pak Sarip. Mungkin itu yang membuat Pak Sarip dongkol pada Aletha dan kedua temannya. "Gue bakalan telat kalau gini! Manjat aja deh kalau gitu. Bodo amat gue Pakek rok." Aletha menggigit bibir bawahnya sembari melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan kiri, lalu berlari menuju tembok samping sekolah. Tempat itu biasa dijadikan jalan otomatis anak-anak yang sering datang terlambat. Tembok itu begitu tinggi, sesekali Aletha melihat ke kanan dan ke kiri mengambil ancang-ancang untuk naik, kemudian berlari dan memanjat tembok itu dengan mudah. Hampir lupa bahwa itu semua ia pelajari di kampus Tristan. Memanjat tebing. Sampai di ujung tembok Aletha memandang waspada sekitar, lalu terjun dengan bebas. Beruntung ia memakai training di balik rok pendeknya. Merasa aman cewek itu bergegas menuju kelasnya di lantai dua. Ia masih setengah berlari saat tubuhnya menabrak seseorang di ujung tangga dekat tempat s****h, hingga membuatnya menjatuhkan tas dan menghamburkan isi di dalamnya. Aletha lupa menutupnya dengan rapat. "Duh. s****n! Kalo jalan Pakek mata, dong!" geram Aletha sedikit berteriak. Cowok itu hanya diam memandang Aletha sekilas yang sibuk berjongkok merapikan isi tasnya. Karena tidak mendapat respon, Aletha mendongak kesal. Dan saat itu juga ia merasa begitu terkejut. Cowok yang ada di hadapannya saat ini adalah cowok songong yang menolongnya saat kecelakaan waktu itu. Aletha jelas masih mengingat bahwa ia belum mengucapkan kata terima kasih sama sekali padanya waktu di rumah sakit. Gengsinya terlalu besar. "Lihat lo bisa teriak kayak gitu, gue yakin lo udah sehat!" Setelah mengatakan hal itu ia lantas pergi, meninggalkan Aletha yang masih terdiam dengan keterkejutannya. Aletha mengerjab beberapa kali menyadari sesuatu, kenapa bisa cowok itu satu sekolah dengannya? Ia kemudian mengumpat saat melihat dirinya masih terduduk di atas lantai dengan posisi mengenaskan memungut isi dalam tasnya yang berhamburan. "Dasar cowok s****n! Lo nggak ada sopan santunnya, yah?!" teriak Aletha. Kemudian semakin mengumpat kesal melihat cowok itu berjalan menjauh menuruni tangga. Meninggalkannya sendirian, tepat di depan tangga menuju lantai dua, tanpa ada sedikit pun niatan membantu. Sadar betul, saat ini ia dihujani tatapan aneh dari siswa lain yang lewat. Melihat ke samping kiri ada sebuah tempat s****h, Aletha lantas berdiri diambilnya tutup tempat s****h itu, lalu ia lemparkan ke arah cowok tadi. Setelah itu ia berlari menuju kelasnya di lantai dua sebelum ketahuan. Aletha masih mendengar cowok itu mengaduh dari ke jauhan. Pengecut memang, masa bodoh akan hal itu lebih pengecut mana dengan cowok tadi yang meninggalkannya tanpa meminta maaf. **** Barisan siswa siswi berjejer rapi di lapangan, Aletha dan dua temannya baris di barisan paling belakang menghindari panas matahari yang semakin terik. "Psstt.. Tha, Lo tadi bisa nggak telat? Lewat mana lo? Pas gue ke depan, gue lihat gerbang udah ditutup sama si kumis." Tania berbisik lirih sembari melihat ke sekitar, takut kelihatan bu Beti guru BP kesayangan yang selalu memasang wajah menyeramkan ke mana-mana. Lain halnya dengan Laras yang sibuk mengipas menggunakan topi milik teman cowok di sampingnya. "Gue manjat tembok." jawab Aletha santai. "Gila aja lo! Emang lo keturunan monyet? Bisa-bisanya manjat tembok." Aletha hanya berdecak mendengar sindiran Tania. Pasalnya temannya yang satu ini memiliki hobi memanjat tebing. Bukan salah Tania kalau ia sampai berpikir seperti itu. "Gue rasa, si kumis emang sengaja, biar lo telat. Btw apa rok lo nggak sob--" ucapan Tania terpotong oleh suara dehaman dari arah belakang. Sontak Tania menutup mulutnya rapat-rapat. Mampus Mereka tahu itu suara siapa. Bu Beti! "Aletha, tadi kamu memanjat tembok sekolah? Benar itu? Dan apa ini? Rok kamu kependekan! sudah saya bilang untuk mengganti rok kamu!" Aletha menunduk pura-pura mendengarkan padahal ucapan guru BP itu ia abaikan, lewat begitu saja di telinganya. Bu Beti menggeleng tidak habis pikir jika bukan karena Aletha anak dari pemilik sekolah, mungkin ia sudah dikeluarkan. Hal ini hanya bu Beti yang mengetahuinya dari sekian banyaknya guru dan murid yang berada di sekolah. Sebagai seorang guru konseling ia wajib bertemu dengan wali murid dari siswa bermasalah seperti Aletha. Yang ternyata tanpa ia duga adalah pemilik sekaligus kepala sekolah di tempat itu. Dan anehnya lagi hubungan ibu dan anak itu tidak seperti sebuah keluarga pada umumnya. "Ke ruangan saya setelah ini, mengerti kamu!" ucap bu Beti tegas, lalu pergi berganti pada siswa lain yang melanggar aturan kelengkapan atribut sekolah. Aletha mendengus. "Apa ibu itu tidak pernah muda?" bisik Laras dari arah belakang. Tangannya masih sibuk mengipas. Tania mengangguk. "Kenapa bisa Bu Beti tahu lo manjat?" tanyanya. Aletha menghendikan bahu tidak tahu, ia juga penasaran siapa yang berani mengadukannya, rasanya ingin sekali ia buat perhitungan pada orang itu. Biarlah itu menjadi urusan nanti, sekarang ia harus berpikir alasan apa yang tepat untuk menjawab pertanyaan bu Beti nanti. **** "Sekarang.. apalagi alasan kamu melakukan pelanggaran? Memanjat tembok itu bukan hal biasa untuk seorang siswi seperti kamu!" Aletha menghela napas sebentar. "Karena gerbangnya udah ditutup, jadi terPaksa saya lewat jalan cepat." "Jalan cepat menurut kamu! Kamu itu seorang wanita, sudah sepantasnya bersikap baik. Jangan membuat onar!" ucap bu Beti marah. Menghembuskan napas sekilas melihat kening Aletha yang diperban kecil. "Kenapa dengan kening kamu?" Ia meraba keningnya sebentar. "Saya habis jatuh," Bu Beti menghela napas lelah sambil memijat pangkal hidungnya, kemudian kembali menatap Aletha yang terduduk malas di depannya. Entah sudah berapa kali ia menghela napas hari ini. "Ya sudah, sepulang sekolah bersihkan perpustakaan. Saya tidak menerima bantahan! Cepat kamu kembali ke kelas!" potong bu Beti cepat, melihat Aletha membuka mulut ingin protes. Tahu betul, kalau muridnya yang satu ini tidak pernah masuk ke dalam perpus. Untuk itu memberikan hukuman ini adalah salah satu cara yang bisa membuatnya jera. Itu yang ada di pikiran bu Beti sekarang. Aletha berdiri lalu kembali ke kelas tanpa mengucapkan sepatah kata pun pada bu Beti. Ia benar-benar merasa kesal hari ini. **** Rasa aneh baru saja ia rasakan ketika memasuki sebuah perpustakaan yang terlihat sepi. Melihat ke sekitar, Aletha merasa, seperti ini masuk ke dalam perpus tidak seseram apa yang dibicarakan teman-temannya. Hanya berisi tumpukan buku yang menunggu untuk dibaca, melihat penjaga perpus yang masih belum pulang Aletha berniat menanyakan sesuatu. Akan tetapi, tatapan tidak percaya dari penjaga perpus itu membuat Aletha mendengus jengkel. Apa sebegitu tidak mungkinnya ia masuk ke dalam perpus? "San, kenapa melotot gitu? Lo kesurupan?" siswi bernama Sandra itu langsung tersadar dari keterkejutannya, ia tidak pernah melihat cewek bad girl teman sekelasnya ini mau menginjakan kaki ke dalam perpus. Itu yang menjadi tanda tanya besar untuknya sekarang. "Ma-maaf, Tha. Apa ada yang bisa aku bantu?" Sandra berdiri dari duduknya sembari menundukan kepala dalam, bicara sesopan mungkin pada cewek itu, ia tidak mau mencari masalah. "Gue dihukum bersihin nih perpus!" menjeda ucapannya sebentar sembari melihat ke sekeliling lagi. "Darimana gue bersihinnya?" "Itu.. rapihin aja buku yang ada di meja, tadi aku udah nyapu." Sandra memilin tangannya gugup, takut Aletha salah mengartikan ucapannya yang terdengar menyuruh. Aletha menatap ke arah Sandra, ia berpikir ada yang aneh dengan cewek itu. "Apa gue kelihatan kayak monster di mata elo?" "Apa?" Sandra mendongak terkejut. Aletha memutar bola mata. "Apa lantai lebih menarik daripada muka gue?" "Maaf," suara tercekat terdengar seperti cicitan di telinga Aletha. Mendengus kecil, Aletha lantas berjalan meninggalkan cewek tadi sebelum sebuah suara memanggilnya untuk menoleh kembali. "Anu.. di belakang masih ada yang baca, Tha." Ia hanya menoleh sekilas lalu melanjutkan langkahnya yang terhenti. Berjalan menyusuri lorong-lorong perpus. Aletha tersenyum miring, ia menemukan hal yang menarik. Seseorang yang mengganggu pikirannya selama dua hari ini sedang sibuk mencari buku. Muncul pikiran gila ingin membalas perbuatannya tadi pagi. Bagaimana cowok itu yang dengan kurang ajarnya pergi begitu saja membiarkannya duduk di lantai tanpa berniat membantu. "Lo nggak merasa pengen ngomong sesuatu ke gue? minta maaf misalnya," Aletha tiba-tiba berdiri di samping Agam sembari bersedekap, melihat setiap gerak-gerik cowok di depannya dalam diam. Agam menoleh, mengangkat sebelah alisnya heran, lalu melihat Aletha dari ujung kaki sampai kepala. Ia menggeleng tidak habis pikir, lebih memilih mengabaikan cewek itu. Kemudian beralih mencari buku ke rak bagian lain. Namun, cewek itu terus mengikutinya dari belakang. Ia mendengus menyadari hal itu, lantas berhenti begitu melihat buku yang ia cari berada pada rak bagian atas. Agam mendongak dan sedikit berjinjit untuk mengambilnya, tidak sadar bahwa hal itu Aletha pergunakan untuk menyusup di antara lengannya dan rak buku. Cewek itu berdiri di depannya sembari tersenyum pongah. "Move," Jarak mereka begitu dekat, Aletha bisa mencium napas mint milik cowok itu yang menggelitik indra penciumannya. "Gue bakal minggir, tapi lo harus ucapin kata maaf atas kejadian tadi pagi." ucap Aletha masih menatap lurus mata Agam tanpa merasa terintimidasi sama sekali. Agam tersenyum miring, membenahi kacamatanya yang turun, lalu maju mencondongkan tubuhnya ke depan hingga cewek itu terimpit di antara rak dan lengannya lebih rapat. "Apa lo nggak sadar? Nggak salah? Seharusnya ada dua kata yang lo ucapin ke gue," Setelah itu Agam kembali menegakkan tubuhnya, sembari tersenyum meremehkan ke arah Aletha. Ia melirik sebentar Aletha yang mengepalkan kedua tangannya hingga kuku jarinya memutih. Agam tahu cewek itu merasa terhina sekarang. Saat dirinya berbalik untuk pergi, Aletha menahan lengannya tiba-tiba. "Oh, jadi lo pengen gue bilang makasih," ucapnya sembari tersenyum miring. Agam merasa ada yang aneh dengan senyum yang cewek itu berikan. Ia menyadarinya. Dan benar, di detik berikutnya Aletha tiba-tiba mengalungkan kedua tangannya pada leher Agam. Meski sempat merasa terkejut, Agam tetap mencoba bersikap tenang. Aletha tersenyum miring, memperkecil jarak di antara mereka berdua. Sekilas ia bisa melihat rasa terkejut di wajah Agam, namun hal itu hanya sebentar. Aletha tidak menyangka bahwa cowok di depannya ini punya pengendalian diri yang bagus. Tinggal satu senti lagi bibirnya bersentuhan dengan bibir Agam, tapi yang terjadi malah sebaliknya. "Aletha! apa yang kamu lakukan?" teriakan bu Beti menyadarkan Agam akan posisinya dengan Aletha sekarang. Ia langsung mendorong Aletha hingga kepala cewek itu membentur rak buku di belakangnya. "Duh, s**t! Sakit b**o!" Mengabaikan Aletha yang mengumpat kesal. Agam merasa dalam masalah besar kali ini. "Maaf, Bu. Ini tidak seperti yang Ibu pikirkan, saya--" Belum sempat Agam membela diri Bu Beti suda mengangkat satu tangannya menjeda ucapan Agam. Kemudian beralih melihat Aletha dan Agam secara bergantian. "Kalian ikut ke ruangan saya. SEKARANG!" Setelah itu bu Beti melangkah pergi meninggalkan dua muridnya dengan wajah merah padam. Agam menatap Aletha geram, ia benar-benar s**l bertemu cewek menyebalkan yang bahkan tidak ia ketahui namanya. "Jawab gue! Lo sengajakan? Lo tahu ada Bu Beti makanya kayak gitu barusan!" tunjuk Agam di depan wajah Aletha. Aletha menggeser telunjuk Agam. "Apa, sih? gue cuma ngucapin makasih ke lo," "Dengan ngundang gue ke ruang konseling, gitu!" Agam masih menatap Aletha tajam. "Khusus lo, gue bedain cara makasihnya," menjeda ucapannya sebentar, mengikis jarak di antara mereka kembali. Aletha tersenyum miring. "Lo beda dari yang lain.. gue suka." lalu mengecup bibir Agam sekilas. Agam menggeram kesal, Aletha sudah pergi meninggalkan cowok itu dengan seribu u*****n tak berkelas, tanpa harus menengok ke belakang lagi, Aletha tahu u*****n itu ditujukan untuk dirinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN