Karena semenjak lo hadir, gue punya alasan untuk lari dari rasa sepi
-
"What the f*ck buat yang tadi itu. Come on dude, si Radika punya tampang yang nggak bisa diremehin. Gila si Aletha sampai bisa putus sama dia."
Agam berjalan mendahului Raka yang sibuk mengunyah cemilan pemberian Radika. Lorong rumah sakit saat ini cukup sepi. Jam besuk sudah berakhir lima belas menit lalu dan Agam termasuk orang yang beruntung untuk tidak terpengaruh serentetan prosedur rumah sakit yang rumit. Siapa yang bisa melawan pemilik rumah sakit terbesar nomor dua di Jakarta? Rumah sakit dengan fasilitas terlengkap nomor dua setelah rumah sakit milik keluarga Kusuma Sutejo. Warisan peninggalan almarhuma Mamanya-Anjani Adriana Pradana-yang secara tertulis dan diakui hukum telah diberikan pada Agam saat nanti umurnya genap dua puluh tahun. Butuh tiga tahun lagi sampai ia benar-benar mendapat hak itu.
"Bah... malah milih lo yang modelannya kayak begini. Si Einstein yang suka bertapa di sebuah tempat angker bernama per-pus-ta-ka-an. Oke. Seriusan, gue merinding."
Agam memutar bola matanya. Menghela napasnya secara berlebihan, sebelum berbalik menatap Raka. "Dan sekarang gue berharap ada samsak hidup yang dengan sukarela mau gue jadiin bahan latihan. Bagaimana gemulainya tinju si Einstein ini setelah sekian lama nggak mukul orang."
Raka benar-benar merinding. Ia menelan ludahnya kasar. Berdehem sekilas merangkul bahu Agam. "Gue just kidding, Nyet. Lo tetep yang paling ganteng dari semua ex-boyfriendnya Aletha. Dengar nih, menurut captionnya si jutek Anisa; Mendukung teman dalam hal melawan musuh itu bagaikan membela kemerdekaan."
"Anisa?" Agam menatap bingung. Melepas rangkulan Raka, membersihkan remah-remah cemilan yang ikut menempel di jaketnya.
"Nah.... jadi bodoh gini anak daddy. Itu Ibu guru kita, Nyet." ucap Raka tersenyum lebar.
Agam menggeleng tidak habis pikir pada Raka. Bukan karena tidak mengerti, ia tahu bahwa beberapa teman sekelasnya memberi nama ejekan untuk Bu Anisa. Guru itu punya sifat tegas saat memberi hukuman pada siswa yang nakal. Termasuk Raka yang selalu mendapat hukuman disetiap mata pelajarannya karena sering tertidur di kelas. Dalam hal itu Raka bisa satu paket dengan Yoga.
"Lo pasti bertanya-tanya dari mana gue tahu Bu Anisa punya caption seklise itu. Padahal nih yah... Instagramnya jelas-jelas locked dan nggak ada satu pun siswa sekolah kita yang berteman sama dia di sosmed."
Raka melihat ke belakang lalu berbisik lirih di samping Agam. Seolah mencegah siapa pun mendengar sesuatu yang akan ia bisikan.
"Gue hack akun Instagramnya si Ibu guru itu, man. Dan... boom! Lo tahu info paling mengejutkan apa yang gue dapetin pas buka chatnya?!"
Agam terlihat tidak begitu tertarik. Ia sibuk menatap layar ponselnya. Membaca serentetan pesan masuk yang entah dari siapa. Mengabaikan Raka yang setia berekspersi seperti ART gosip di kompleksnya.
"Hei, dude. Lo dengerin gue, dong. Ini big news... lo nanti pasti bakalan kaget banget, Nyet!" ucap Raka, merasa diabaikan.
"Tangan lo kotor, g****k!" Agam menepis tangan Raka yang kembali merangkul bahunya.
Raka berdecak kesal, sedetik kemudian ia memasang ekspresi serius lagi. Seperti informasi yang ia akan sampaikan sangat penting. "Big newsnya dengerin nih... si jutek Anisa ternyata... punya love story sama wali kelas kita, Nyet! Pak Joni! Si kumis tipis yang sok ganteng itu! t*i banget pokoknya!"
Agam menjauhkan wajahnya. "Lo yang t*i. Mulut lo itu kadang-kadang minta difilter." Ia menggeleng atas tingkah kurang kerjaan Raka lalu berjalan dua langkah di depan cowok itu. "Iseng lo nggak tahu tempat, b**o! Itu guru lo."
Raka tertawa kencang di belakang, melupakan bahwa dirinya berada di rumah sakit saat ini. "Guru lo juga, Nyet. Makanya sih jadi guru jangan pelit sama nilai. Masih untung gue cuma lihat chatnya kalau gue up foto gue di situ bakalan kaget Bu Anisa. Gue 'kan ganteng mirip Adipati Dolken, ya nggak?"
Agam memutar bola matanya menoleh ke belakang dengan ekspresi malas. "Terserah lo, Raka. Tapi jangan macam-macam sama properti gue."
"Yes, bos." teriak Raka. "Gue tahu kalau dia punya lo. Udah lo beri label khusus soalnya 'Back off! She's mine'." sambungnya.
Agam kembali memutar bola matanya sebagai jawaban.
"Gue jelas masih sayang nyawa." ucap Raka lagi, tersenyum lebar.
Kemudian Raka sedikit berlari mengikuti cowok itu yang sudah menjauh. Ia berdehem melihat Agam berhenti tepat di depan kamar VIP-kini menjadi kamar pribadi Jingga-dengan tangan menggantung ragu membuka pintu. Salah satu suster rumah sakit melewati mereka, memberi Raka tatapan memperingati untuk tidak membuat keributan di lorong rumah sakit. Anehnya Raka malah membalas hal itu dengan mata mengerling nakal.
Suster itu melotot kesal melanjutkan tugasnya berkeliling.
Mengalihkan perhatiannya, Raka mengangkat boneka yang Agam pegang. "Ngomong-ngomong, lo serius cuma ngasih beruang kecil ini? Nggak ada kue gitu buat pelengkap?" lalu berdehem sekilas atas lirikan tajam yang Agam berikan. Raka hanya iseng menggoda Agam. Mengingat seminggu ini cowok itu menyeretnya keluar masuk mall. "Oke, boneka aja udah lebih dari cukup."
Mereka lantas masuk dengan suara derit pelan pintu dibuka. Di sana, Agam melihat Jingga sudah tertidur pulas dengan selimut tebal yang menutupinya hanya sebatas d**a. Ia melirik sekilas kue ulang tahun dengan lilin menyala yang hampir mati. Mengedarkan pandangannya, Agam melangkah pelan menaruh hadiahnya di atas nakas dan berniat keluar setelahnya. Sampai suara Raka yang tersandung meja di sudut ruangan menjadi alasan utama ia mengumpat tanpa suara.
Raka hanya tersenyum canggung mengucap kata maaf sembari mengangkat dua jarinya menyadari Jingga mulai menggeliat pelan lalu membuka mata.
"Abang?" panggil Jingga serak, memposisikan tubuhnya untuk duduk. Masih setengah sadar dari rasa kantuknya.
"Hm." Agam menggumam, namun enggan untuk melihat. Ia pura-pura sibuk menata buah yang dibelinya tadi sore. "Maaf, Abang bangunin kamu. Tidur lagi aja Abang cuma bentar."
Cowok itu melirik Raka yang seolah berucap-dialognya-salah-monyet-kemudian memberikan decakan sebal pada Agam sembari mengacak rambutnya sendiri. Lupa, kalau tangannya bekas cemilan rasa keju.
Jingga menunduk diam, memilin tangannya gugup. Ragu-ragu ia mengeluarkan suara. "Abang boleh nggak tinggal dulu? Jingga udah nunggu Abang." Ia mendongak, seolah berharap sesuatu. "Ini... hari ulang tahun Jingga."
Agam menghela napas. Berdiri di samping ranjang Jingga dengan satu tangan berada di saku celana. Ia sudah memikirkan hal ini akan terjadi, mengucap satu kalimat yang menurut orang lain sangatlah mudah untuk diucapkan. Dengan ragu Agam membuka mulutnya untuk berucap. Namun, terpaksa ia menelan kembali kalimatnya melihat seseorang yang sama sekali tidak ia duga kedatangannya berdiri di ambang pintu dengan setelan jas mahalnya. Membuat ruangan itu tiba-tiba diselimuti hawa tidak menyenangkan. Agam berdecak, membuang muka tidak suka.
"Papa!"
Jingga terkejut dengan mata berbinar senang, sebelumnya Papanya menelpon memberi kabar bahwa ia tidak bisa datang dan hal itu membuatnya merasa sedikit kecewa.
Adipati tersenyum lembut menghampiri putrinya bersama sekertaris yang ia tugaskan membawa boneka beruang besar seukuran satu meter, sangat jauh ukurannya dari boneka yang Agam bawa. Dua langkah saat ia melewati pintu, Agam tiba-tiba berbalik membawa kakinya untuk pergi. Terlihat begitu enggan berada satu ruangan dengannya, meski pun itu hanya sebentar. Hatinya semakin berdenyut sakit mengetahui Agam menatapnya dengan wajah dingin. Adipati sangat mengerti arti tatapan itu, sebagai pertanda adanya rasa benci yang belum hilang.
Jingga menahan tangan Agam penuh permohonan. "Abang mau ke mana?"
Agam menoleh, kembali menghela napas yang kali ini terdengar lebih berat. Ia punya beban dalam hatinya untuk tidak bersikap buruk. Namun, ego mengalahkan semuanya.
"Berhenti bersikap manja. Udah ada dia di sini... jangan minta Abang juga untuk tinggal." ucapnya datar. Menyingkirkan tangan Jingga.
Jingga mengernyit sedih atas penolakan yang Agam berikan. Apalagi mendengar kalimat yang Agam ucapkan. Tahu dengan pasti apa yang sebenarnya Abangnya maksud. Mereka terlahir dari rahim yang berbeda. Menjadi alasan terbesar Abangnya tidak menginginkannya. Membencinya sebagai seorang adik. Setidaknya hal itu yang Jingga rasakan selama ini. Walaupun beberapa bulan ini sifat Agam mulai berubah dan seharusnya Jingga tidak meminta lebih dari sekedar senyum tipis dari wajah Abangnya.
"Agam!"
Agam mendengus geli mendengar Adipati menggeram dengan nada penuh penekanan. Terdengar ingin membentak dirinya. Ia kemudian menarik napas dalam, menghembuskannya kasar. Mencoba sebisa mungkin bersikap abai akan apa yang terjadi. Ia lantas melanjutkan langkahnya yang terhenti, lebih memilih segera pergi dari tempat menyesakkan yang bisa menyulut emosinya.
Sebelum ia menutup pintu bercat putih itu, Agam berbalik sembari memasang senyum tipis yang terlihat getir.
"Abang hampir lupa.... selamat ulang tahun." lalu keluar diikuti Raka yang menunduk ramah pada Adipati.
****
"Morning, boyfriend."
Agam mendorong pagar besi yang tingginya satu jengkal di atas kepalanya, kemudian melihat siapa yang berdiri di depan rumahnya saat ini dengan tangan melambai santai. Tersenyum menyebalkan seperti biasa.
"Milo, si anak SD di sebrang rumah gue ternyata lebih pintar dari anak SMA yang mengucap salam aja nggak benar. Ini udah sore, Tha." Agam lalu berjalan melewatinya. "Ngapain ke sini?"
Aletha menghendikan bahu tak acuh. Membenahi topi miliknya yang tidak pernah lupa ia pakai saat keluar rumah, keculi saat berada di sekolah.
"Jalan, yuk? Keliling Jakarta, cari tempat yang asik buat have fun." ucapnya.
Salah satu anak basket kompleks bersiul menyapa Aletha. Dan cewek itu hanya menanggapinya dengan jari tengah tanpa menoleh.
Agam tersenyum geli. Rambut hitam kecokelatan milik cowok itu sedikit berantakan dengan poni menutupi dahi. "Apa lo sekarang ngajakin gue kencan?"
"Yeah. Whatever, lo bisa mendefinisikan ajakan gue sesuka hati. Lagi bosan gue soalnya di rumah. Ah... apa kita clubbing aja?"
Agam berhenti lalu menyentil dahi Aletha pelan. "Harus lo pergi ke sana? Nggak terlintas dalam otak lo tentang tempat yang lebih baik?" Aletha mengernyit mengusap dahinya. "Atau paling nggak lo bisa belajar, bukan malah ngajakin ke club."
"Oh. Wow! Apa sakit lo separah itu kemaren? Ngomong lo jadi aneh gitu." ucap Aletha sembari mengerjab pura-pura kaget. "Dan lagi, gue udah pinter tanpa harus baca. Gue cuma butuh vitamin aja."
Aletha tersenyum miring menatap bibir Agam. Ia masih ingat rasa bibir yang akhir-akhir ini menjadi candunya. "Can I kiss you?"
Agam membenahi tas ransel miliknya. "Nggak. Pergi sana... gue mau kerja." satu tangannya ia gerakkan seperti tanda mengusir, lantas berbalik meninggalkan Aletha.
Sama sekali tak berniat menunggu jawaban apa pun. Agam hafal sifat Aletha, tidak akan semudah itu untuk pergi menuruti ucapannya begitu saja. Semakin dilarang ia akan semakin melawan. Yang bisa Agam lakukan sementara hanya diam, mencoba mengalah. Malas untuk beradu mulut.
Sampai sesuatu menarik atensinya sebentar di tengah kebisingan sekitar. Ia bisa mendengarnya menyanyikan lagu-lagu aneh dengan nada yang salah dan lirik kacau. Benar-benar tidak enak untuk didengar.
Diam-diam Agam tersenyum untuk hal itu.
Sayangnya Aletha tidak bisa melihatnya.
****
Setelah berjalan selama sepuluh menit, mereka berhenti di depan parkiran cafe. Agam kemudian berbalik menatap Aletha sepenuhnya. Sebenarnya, saat berjalan tadi, sesekali cowok itu menoleh ke belakang memastikan apakah Aletha masih keras kepala mengikutinya.
Ia menilai sekilas tampilan tidak biasa cewek itu yang sempat luput dari perhatiannya sejak beberapa menit lalu. Kaos putih kebesaran bertuliskan 'Suprems' itu hampir menutupi jeans pendek berwarna Navy yang Aletha kenakan hanya sebatas pangkal paha. Sama sekali tidak pantas untuk digunakan di luar rumah.
Membuat Agam tiba-tiba mendengus kesal entah karena apa.
"Tha." menghela napasnya lelah. "Pulang sana! Ngapain ngikutin gue sampai sini?!"
"Ya, kan lo pacar gue, Gam. Duh, masih harus ditanyain lagi?"
Agam berdecak jengah, sebelum berbalik mengabaikan Aletha lalu masuk ke dalam D'Code Cafe tempatnya bekerja. Hal pertama yang ia dapatkan saat membuka pintu adalah tatapan memuja sekaligus menelanjangi menghunus ke arahnya atau mungkin lebih tepat lagi seseorang di belakang punggungnya yang sibuk membenahi letak topi putih bertuliskan 'whatever' sama persis dengan sifat pemiliknya yang acuh tak acuh.
"Selamat so---itu siapa lo, Gam?!" tanya Lala, setengah terkejut. Bartender yang mendapat rolling tugas mengucap greeting pada pengunjung di depan pintu itu melihat Aletha dengan rasa penuh keingintahuan.
"Stalker." jawab Agam enteng, melewati Lala yang sibuk meneliti Aletha dari bawah ke atas. Lala mengernyit dalam, ia terdiam, ekspersi wajahnya saat ini seperti berkata-bagaimana-bisa-cewek-secantik- ini-menjadi-stalker.
"Agam pasti udah gila." gumamnya lirih.
Aletha memutar bola matanya, bosan. "Aletha." ucapnya memperkenalkan diri. Tidak ada ramah tamah mengulurkan tangan. "By the way gue pacar Agam, bukan stalker seperti yang cowok itu bilang." lalu mengikuti Agam meninggalkan Lala yang berteriak heboh di belakang.
Menutup pintu loker kasar, Agam menatap datar Aletha yang bersandar di samping lokernya. "Gue nggak nyangka ternyata lo buta huruf? Ini khusus karyawan."
Aletha melotot kesal. "Issh, pedes yah mulut lo nggak bisa turun level satu gitu?"
Agam sendiri memilih diam, enggan untuk menjawab. Begitu mereka berjalan menuju area kitchen, Gavin datang menghampiri mereka.
"Loh, ngapain lo di sini?" tanya Gavin, melirik sekilas pada Agam yang berjalan melewatinya lalu kembali menatap Aletha. "Jangan bilang lo kangen gue, Tha!"
"Kangen lo my a*s!" jawab Aletha sarkas.
Gavin tersenyum geli, bersedekap. "Language, Tha.... language."
Cewek itu memutar bola matanya, tiba-tiba mendekat maju merapikan kerah kemeja Gavin yang terangkat. Ia menemukan satu ide bagus untuk bisa menjadi karyawan seperti Agam.
"Lo manager 'kan di sini?" Gavin mengangguk.
Didekati seintim itu ia tentu menaruh curiga pada Aletha. Apalagi beberapa anak buahnya mencuri lihat ke arah mereka dengan tatapan penuh selidik. Agam sendiri terkesan tidak peduli, ia sibuk berbicara dengan Raka di samping tempat cuci piring sembari menunggu briefing sore darinya.
"Gav... gue punya penawaran buat lo." Aletha tersenyum miring. "Dan gue jamin lo dapet keuntungan besar untuk penawaran ini." sambungnya lagi.
Dalam hati Gavin hanya bisa berharap semoga Aletha tidak membuat masalah lagi.
****
Adipati menatap gedung-gedung pencakar langit di depannya dalam diam. Seolah menerawang jauh, ada beberapa hal yang mengganggu pikirannya saat ini.
"Permisi, Pak. Rapat bersama Mr. Anderson sudah diundur besok pagi dan mengenai tamu Bapak, dia sudah datang."
"Suruh dia masuk." perintah Adipati yang dijawab anggukan patuh sekertarisnya. Ia memasang kembali kacamata bacanya. Menekuni tumpukan dokumen yang meminta untuk segera diselesaikan.
Ketika pintu berwarna silver itu dibuka, Adipati menghentikan gerakannya membubuhi tanda tangan pada dokumen yang ia pegang, mengalihkan perhatian pada seseorang yang duduk bersandar pada kursi di hadapannya saat ini.
"Jadi, apa ini tentang Agam?"
Adipati menghela napas panjang. Tidak ada masalah lain yang membebani dirinya selain perang dingin bersama anaknya sendiri.
"Kamu benar."
"Sampai kapan kalian akan seperti ini?"
Adipati tersenyum getir. "Untuk itu saya butuh bantuan kamu, Aldrian."