13 | Bunga Bakung

2320 Kata
"Wah. Benar ternyata tentang apa yang gue duga kalau lo mau bolos. Really? Di jam pelajaran terakhir?"  Agam mengurungkan niatnya membuka pintu mobil. Ia berbalik lalu terdiam dengan satu alis terangkat, memandang Aletha dari atas ke bawah. Kemudian melirik sekilas pada selang air yang tergeletak tak berdaya di atas tanah bersama sapu lidi. Tanpa bertanya Agam tahu apa yang sedang Aletha lakukan. Menjalankan hukuman dari Bu Beti untuk menyapu halaman serta menyiram tanaman yang berada di pinggiran tempat parkir karena ulahnya sendiri. Begitu usil menendang bunga mawar putih kesayangan si guru BP. "Oke. Pret yah tentang gosip si kutu buku dengan embel-embel good boy di belakang namanya. How disappointing." ucap Aletha setelah mematikan kran air, berjalan sembari memberi ekspresi kecewa yang dibuat-buat. Ia meninggalkan hukuman yang Bu Beti berikan tanpa rasa takut. Agam berdiri menyandar pada pintu mobil dengan wajah bosan. Jika dilihat secara dekat hidung cowok itu sudah memerah karena flu. "Whatever you say. Gue udah minta ijin sama Bu Beti untuk pulang." "Dengan alasan sakit?" Agam mengedarkan pandangannya ke sekitar lalu mengangguk malas. "Good job! Sekarang gue punya alasan untuk kabur dari ini semua. Bagaimanapun juga seorang pacar dilarang pulang sendiri kalau lagi sakit." ucap Aletha antusias. Lantas menghampiri Agam, memasuki mobil cowok itu begitu saja dan menyamankan posisinya di kursi samping pengemudi. "Hallo, boyfriend? Masih nungguin siapa lagi, sih? Bu Beti?" Aletha berdecak gemas melihat Agam yang masih berdiri di luar. Mengusap wajahnya pelan dengan satu tangan, Agam menghela napasnya cukup panjang, ia berada dalam mood yang tidak bagus saat ini untuk meladeni cewek gila itu. Kepalanya sudah berdenyut sakit sejak tadi pagi. Ia kemudian bergerak memilih masuk ke dalam mobil. "Jangan banyak gaya. Gue bisa lempar lo di jalan." peringat Agam saat melihat Aletha duduk bersila di dalam mobil dengan tangan bersedekap. Aletha melotot kesal. "Mulut lo dan segala kepedasannya memang nomor satu." Ia berdehem sekilas entah karena apa. "Sebelum pulang kita pergi ke apotek dulu." Agam menghentikan kegiatannya memasang seatbelt sembari mengernyit. "Mau ngapain?" tanyanya, belum mengerti akan maksud sebenarnya dari cewek itu. Aletha sendiri hanya memutar bola matanya bosan melihat ekspresi yang Agam berikan. "Dengar yah pacar gue yang jelek. Lo butuh obat. Setelah itu biar gue yang nyetir ini mobil. Asal lo tahu gue nggak berniat mati muda dengan alasan paling absurd sedunia. I means, seperti 'Pengemudi yang hilang kesadaran karena demam' itu nggak keren banget." Cowok itu mendengus geli, lantas menggeleng. "Cuma lo aja yang berpikir bagaimana cara mati dengan keren. Dan gue sama sekali nggak kaget." sembari menghidupkan mobil lalu melewati gerbang sekolah dengan pertanyaan Satpam baru yang terlihat mudah untuk dibohongi. Pak Sapri sendiri mengambil cuti satu Minggu karena istrinya sedang melahirkan. Mungkin hal ini akan menjadi kesempatan besar untuk anak-anak yang suka membolos sebelum masa ujian datang. Menghendikan bahunya ringan, Aletha tersenyum miring memasukan ponselnya ke dalam saku blazer setelah berhasil mengirim pesan untuk Laras agar mau membawakan tasnya ke rumah Agam sepulang sekolah nanti. "Bagus, dong. Itu tandanya lo punya pacar yang langka." ucapnya kemudian. Agam melirik bosan. "Terserah lo." **** Kemacetan sudah menjadi bagian tersendiri bagi kota besar bernama Jakarta. Terik matahari menjadi pelengkap menemani lalu lintas padat diiringi suara bising kendaraan yang berlalu lalang. Aletha baru saja berpikir bahwa kendaraan-kendaraan yang ada di depannya saat ini akan menyingkir dengan sukarela jika klakson mobil ia tekan sekencang-kencangnya seolah dirinya dalam keadaan sangat genting. Mungkin, hal itu akan benar-benar ia lakukan satu detik lagi jika Agam tidak membuatnya kaget secara tiba-tiba. "Jangan coba-coba merealisasikan apa yang ada dalam pikiran gila lo saat kita berada dalam satu mobil." ucap Agam dengan mata terpejam bersedekap. Membuat Aletha yang mendengarnya memutar bola mata. Ia berpikir bahwa Agam sudah benar-benar tertidur di sampingnya. Apalagi melihat bagaimana cowok itu memejamkan matanya sekitar tiga puluh menit yang lalu setelah meminum obat hingga suara dengkuran halus terdengar di pendengaran Aletha. Meski hal itu hampir teredam bunyi klakson mobil dan motor yang memekakan telinga. Aletha mengumpat dalam hati, melirik Agam yang masih terpejam, pura-pura. "Asshole, apa lo baru aja membaca pikiran gue? Ah.. atau jangan-jangan kita punya satu benang merah yang saling menyatu sampai lo bisa masuk ke dalam pikiran gue? Itu terdengar sedikit... creepy." Agam membuka matanya sembari tersenyum miring. "Apa lo berharap kita benar-benar punya ikatan seperti itu? Do you love me?" "Sorry to make you disappointed baby, but i don't know what's love. Dan gue udah pernah bilang itu sebelumnya." mengarahkan mobil Agam berbelok memasuki kawasan kompleks, melewati pos Satpam di sana. "Atau mungkin pertanyaan itu yang seharusnya gue ucapin sama lo lagi." Aletha menaikan sebelah alisnya. Agam mendengus kecil. "Gue masih punya akal sehat untuk jatuh cinta sama cewek gila kayak lo." "Asshole." kesal Aletha, melirik Agam yang tersenyum menyebalkan, membuang mukanya ke samping. "Terima kasih. Tetep aja itu nggak merubah apa pun kalau kita pacaran." sambungnya turun dari mobil diikuti Agam. Ia menyibak rambut panjangnya ke belakang lalu ditatapnya Agam yang sudah berdiri di hadapannya sembari bersedekap. Aroma bunga lily di pekarangan rumah itu bercampur dengan parfum lembut milik Aletha. Agam tidak sengaja menghirupnya sekilas kemudian tersenyum tipis. "Dalam hubungan ini lo yang mengclaim gue secara sepihak. Gue nggak berminat untuk ikut berpartisipasi apa pun." ucap Agam. Kemudian berjalan meninggalkan Aletha sebelum cewek itu menahan tangannya lalu memepetnya di kap mobil dengan kedua tangan bertumpu pada kap mobil, mengurung tubuh Agam yang lebih besar darinya. "Oke. Ralat! Kata yang tepat itu belum." tekan Aletha karena lagi-lagi Agam berucap hal demikian. Ia memajukan wajahnya lima centi di depan wajah cowok itu dengan mata menyipit horor. "Jujur sama gue. Lo gay?!" Jarak diantara keduanya saat ini benar-benar bisa membuat siapa pun yang melihatnya akan salah paham. Apalagi mereka berada di luar rumah. Hal yang menjadi alasan terbesar Agam untuk segera menghindar dari Aletha sebelum cewek itu melakukan hal gila lainnya. Lantas menggeleng geli. Ia benar-benar tidak habis pikir dengan jalan pikiran Aletha. Seolah penolakan adalah kata paling tidak bersahabat dalam hidup cewek itu. Saat dirinya membuka mulut untuk menjawab, Aletha sudah mencuri rasa bibirnya kembali. Tersadar akan hal itu Agam segera mendorong bahu Aletha pelan. "Gue lagi flu, Tha. Apa lo mau ikutan ketularan sakit?!" Menanggapi ucapan Agam, Aletha memutar bola matanya untuk yang kesekian kali. Menunjuk cowok itu dari atas ke bawah dengan jari lentiknya. "Seriously? Lo sakit masih kelihatan sehat tuh." lalu mundur satu langkah saat Agam melewatinya menuju pintu masuk. "Apa lo berharap gue seperti tokoh utama dalam sebuah novel? Butuh perawatan secara khusus sampai-sampai gue harus jadi lemah? Dengar, ini bukan cerita novel, Tha. Gue cuma demam, mungkin lo juga lupa kalau gue udah minum obat." Agam mendorong pintu di depannya pelan. Kemudian masuk setelah melepas sepatu dan menaruhnya di rak. Anehnya, tanpa Agam sadari, ia tidak menolak saat Aletha ikut masuk ke dalam rumahnya. "Duduk di sini dan jangan sentuh apa pun barang-barang yang ada di depan mata lo. Ngerti?" tunjuknya pada sofa panjang di depan televisi. Aletha mengagguk singkat, lalu bergumam kecil. "Cerewet." Selang beberapa menit, Agam keluar dari kamar setelah mengganti seragam sekolah dengan baju santai. Ia mengernyit bingung, sofa yang berada di depan televisi sudah kosong. Seharusnya, Aletha masih berada di sana dengan setoples kripik kentang di atas meja yang ia beli semalam. Melangkahkan kakinya tergesa menuju dapur, Agam memijat pelipisnya pelan. Sebenarnya, rasa pusing di kepalanya masih sedikit terasa dan Agam cukup keras kepala untuk menyadari kondisi tubuhnya saat ini. Mengedarkan pandangannya ke sekeliling, Agam menghela napasnya lelah. Dapurnya terlihat sepi, tidak ada tanda-tanda bahwa Aletha memasuki dapurnya seperti waktu itu. Ia berbalik menuju kamar, berniat mengistirahatkan tubuhnya. Agam tidak ambil pusing bagaimana caranya Aletha bisa tidak berada di rumahnya. Ia sering datang dan pergi sesukanya. Menetap bukan sesuatu yang bisa cewek itu lakukan. Dan hal itu sudah menjadi rahasia umum seantero sekolah. Saat melewati ruang tamu satu hal yang membuatnya mengurungkan niatnya menuju kamar. Ia melihat pintu depan masih terbuka lebar. Agam melangkah semakin dekat menuju pintu itu, akan tetapi langkahnya kembali terhenti mendengar seseorang bersenandung riang di pekarangan rumahnya yang sebagian besar berisi bunga lily putih. Agam tidak bodoh, ia tahu dengan benar suara siapa itu. "Lagi ngapain lo?" Agam ikut berjongkok melihat Aletha yang memetik bunga lily putih dengan rambut tergulung ke atas, memperlihatkan leher jenjangnya yang putih. Hembusan angin ringan menerbangkan helaian rambutnya yang menjutai di sekitar wajah, membuat cewek itu sedikit terusik. Agam mengulurkan tangannya, menyelipkan helaian rambut itu di belakang telinga Aletha. "Jangan senyum-senyum nggak jelas. Ngapain jongkok di sini?" tanya Agam datar melihat Aletha tiba-tiba tersenyum memandangnya. "Terus siapa yang nyuruh metik bunga ini?" liriknya pada tumpukan bunga di bawah kaki. Aletha memutar bola matanya. Ia mengabaikan ucapan Agam, lantas kembali memetik bunga lily di depannya. "Lo suka bunga lily?" Agam menggeleng. Duduk bersila di samping Aletha. "Almarhuma Mama gue." jawabnya dengan nada santai. Aletha memandangnya dari samping. Agam terlihat baik-baik saja, ia tidak menunjukan rasa sedih sedikitpun saat mengucapkan kalimat yang seharusnya bernada sensitif itu. Membuat Aletha yang mendengarnya mengernyit bingung. "Lo kok nggak sedih, sih? Ngomong-ngomong ini kita lagi bicara soal yang sensitif, loh." Agam tertawa kecil. "Lo mau gue nangis? Buat apa? Gue yakin Mama gue udah bahagia di sana. Rasa sayang gue bukan untuk diumbar dengan kesedihan, Tha." lalu menghela napas panjang, mengalihkan pembicaraan. "Lo tahu kisah bunga lily?" "I know, si Leiron dengan nama Yunani atau bisa kita sebut bunga bakung yang sedikit banyak punya andil dalam kisah Hercules." jawab Aletha sembari membenahi posisi menjadi duduk mengikuti Agam. "Lebih tepatnya tentang Zeus yang jatuh cinta sama wanita bumi. Lantas memberikan anak dari hasil hubungan mereka pada Hera-istri Zeus-untuk disusui agar bisa menjadi dewa seutuhnya." Agam tertawa kecil. Sesekali memandang bunga lily di depannya seolah mengingat sesuatu yang getir. Bunga yang menurut legenda Yunani berasal dari cipratan air s**u Hera yang jatuh ke bumi. Agam memetik bunga itu, mengganti tawanya dengan dengusan. "Gue nggak suka sama kisah itu. Dan lucunya lagi, gue malah merawat bunga ini sampai tumbuh sekian banyak. Aneh 'kan?" sambungnya lagi menoleh ke arah Aletha. "Yeah. Lo memang aneh." Aletha memajukan wajahnya, kemudian mengangkat tangannya memegang dahi Agam. Ia berdecak. "Gue nggak tahu yah kalau badan panas bikin otak orang jadi b**o kayak gini. Lo butuh isirahat, Agam!" sambungnya menarik lengan Agam untuk bangkit. Mengabaikan tumpukan bunga lily yang ia petik. Sebelum benar-benar berdiri, Agam mendongak menatap Aletha, ia merasa ada sesuatu yang aneh. "s**t! Tangan lo kotor tadi pegang dahi gue?!" **** Agam mengetukkan jari telunjuknya pada meja di depannya. Berulang kali menghela napas bosan menunggu kedatangan Raka yang hampir tiga puluh menit membeli martabak manis di depan rumah sakit. Ponselnya sudah kehabisan daya untuk sekedar mengirim sebuah pesan pada Raka, menanyakan apa saja yang ia lakukan di luar sana sampai harus memakan waktu selama ini hanya untuk membeli martabak manis. "Hai, dude." Agam menoleh pada seseorang yang menepuk bahunya, lalu duduk di depannya sembari membawa dua botol cola dan satu kantong plastik cemilan. Menggeser salah satu cola dingin miliknya di depan Agam. "Gue udah janji mau traktir lo kalau kita ketemu lagi. See, gue udah nepatin janji bukan? Meski itu cuma cola dan sekantong cemilan yang pastinya nggak bakal bikin kenyang." Radika tersenyum lebar. "Thanks. Sedang apa lo di sini? Apa adek lo masih belum sembuh?" tanya Agam setelah meminum cola miliknya. "No, kali ini gue datang untuk alasan yang berbeda." Radika mengeluarkan sesuatu dari saku celananya yan mirip sebuah bungkus rokok. Menawarkannya pada Agam sembari tersenyum kecil. "Lo mau?" Agam menggeleng. "Jangan salah sangka. Ini cokelat bukan rokok." ucap Radika mendengus geli, membuka bungkusan yang mirip rokok di tangannya. Kemudian menawarkannya kembali pada Agam. Meski cowok itu menggeleng untuk yang kedua kalinya. Menolak dengan ramah. "Tunangan gue sebentar lagi pulang. Gue punya tugas negara untuk nungguin dia di sini." ucap Radika masih tersenyum di depannya. Agam tidak tahu apa yang menjadi alasan cowok itu selalu tersenyum setiap kali bertemu dengannya dan ini terhitung yang ketiga kalinya. "Ngomong-ngomong gue mantan Aletha." ucapnya lagi setelah hening beberapa saat dan hembusan napas terdengar lebih keras. Agam tersenyum, melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. "Gue tahu." jawabnya singkat. Radika mendengus, menarik napasnya dalam lalu menghembuskannya pelan. "Gue sayang sama dia. Tapi itu semua nggak cukup kuat ngebuat dia sayang balik ke gue. Dan yah.. gue masih terlalu pengecut untuk memperjuangkan dia di depan Bokap sama Nyokap." Ia mendongak menatap Agam sembari tersenyum masam. Namun, sepersekian detik ia segera merubah ekspresinya menjadi tersenyum ramah seperti semula. "It's oke, bro. Gue bukan musuh, gue udah punya tunangan." lalu melambai pada seorang wanita cantik dengan seragam kedokteran yang berjalan memasuki kantin. Agam sontak ikut menoleh. Ia mengira-mengira, mungkin Dokter cantik itu berusia tiga atau empat tahun di atas Radika. Radika menepuk bahu Agam ringan. "Gue cabut dulu, bro." Agam mengangguk sebagai jawaban. Di saat itu Raka juga datang membawa martabak manis yang membutuhkan waktu sampai empat puluh lima menit untuk membelinya. "Siapa?" tanyanya duduk di depan Agam. Membuka satu persatu bingkisan yang ia bawa. Di sana Agam disuguhkan tiga jenis makanan yang berbeda. Sate ayam, siomay udang dan terakhir martabak manis bersama dua botol minuman bersoda. "Mumpung gue ditraktir sama lo, sekalian gue kuliner malam." ucapnya lagi. Agam menggeleng tidak habis pikir. Pantas saja butuh waktu hampir satu jam ia menunggu Raka. "Perut lo punya kapasitas yang besar. Sampai gue nggak kaget kalau batu bata bisa lo telan bulat-bulat." sembari memasukan somay ke dalam mulutnya. "s****n lo!" kesal Raka, Agam berhasil menghilangkan semangat makannya walaupun itu hanya berlangsung satu detik. "Oh iya, lo belum jawab pertanyaan gue. Itu cowok yang tadi siapa?" dengan mulut penuh mengunyah sate. "Radika." Agam menggeser minumannya. "Mantan Aletha." "Oh." Raka mengunyah makanannya lagi. "Apa?!" teriaknya. Agam hanya memutar bola matanya malas, melihat Raka yang tersedak makanannya sendiri, susah payah cowok itu menelan daging sate yang ia kunyah. "Cakep dia, t*i!" Agam pura-pura tuli melanjutkan memakan makanannya, mengabaikan Raka yang masih berbicara ini itu tentang Radika dan Aletha, termasuk mengingatkannya untuk tidak lupa meminum obat. Ia tidak begitu peduli akan hal itu. Yang menjadi pikirannya saat ini hanya satu. Bagaimana mengucap selamat ulang tahun pada Jingga. Adiknya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN