12 | Sisi Lain

2337 Kata
Raka sudah menjalin pertemanan dengan Agam cukup lama, meski dua tahun ini ia pindah ke Jakarta hal itu tidak menjadikan batasan mereka untuk berteman dengan sangat baik. Agam sebenarnya sering berkunjung ke Jakarta, menginap di rumah peninggalan Almarhuma Ibunya-Anjani-yang sekarang menjadi tempat tinggalnya. Rumahnya. Hal yang menjadi alasan Agam untuk pulang ke kota kelahirannya itu. Raka juga tidak habis pikir, dari sekian banyaknya anak pengusaha sukses, Agam adalah orang yang paling tidak mau memakai nama belakang Papanya. Pradana. Menurutnya itu hanya akan mengundang tikus-tikus penjilat yang berkedok kebaikan. Meski sebenarnya ada alasan lain yang mengikuti, menjadi bayangan terbesar atas penyebab segala sikap yang tidak patut untuk dilakukan. Raka masih mengingat dengan jelas, bahwa Agam selalu berpenampilan sederhana saat ia masih bersekolah di Bandung dulu, mengikuti cara hidup Tantenya yang tidak suka hidup mewah. Namun, hal itu tidak membuatnya bersikap layaknya remaja biasa yang penurut, sikapnya yang suka memberontak adalah alasan kenapa Agam bisa menjadi pusat perhatian di sekolah lamanya. Selain itu, dari sekian banyaknya murid di sana, siapa yang tidak mengenal Agam Aldric? Siswa yang tergolong memiliki paras rupawan dengan daya tarik tersendiri dan jangan lupakan sebutan brandal sekolah yang sering keluar masuk ruang BP. Entah, apa alasan terbesarnya saat ini hingga Agam memilih menjadi cowok cupu yang benar-benar jauh dari sifat aslinya. Ia tahu benar jika temannya yang satu itu memiliki kepribadian di luar kepala yang sulit untuk dimengerti. Bersikap sopan pada orang yang lebih tua, tersenyum ramah pada siapa saja bisa ia lakukan seolah-olah dirinya remaja baik yang jauh dari kata masalah. Ia pandai menyembunyikan ekspresi diri. Namun, Raka juga tahu akan ada saatnya hawa dingin, datar dan aura tidak bersahabat datang menyelimuti. Seperti saat ini, saat di mana temannya itu berperan dengan sifatnya yang asli. "s**l! Abang gue bakalan ngamuk kalau tahu gue ada di tempat ini." Raka melihat ke sekeliling, awas. Ia tahu tempat ini sering dikunjungi oleh Abangnya. Gavin. "Gila si Aldi, kenapa ngajak main ke sini?! Hilang kepala gue bentar lagi!" teriakan Raka teredam dentuman musik yang mengalun kencang. Agam hanya diam, berjalan diantara kerumunan manusia. Ia benar-benar berbeda malam ini. Tidak ada lagi kacamata bulat tebal yang membingkai kedua matanya. Anak cupu itu telah berganti dengan seseorang yang terlihat rupawan dengan aura dingin yang begitu dominan. Ia memakai jaket kulit berwarna hitam dengan kaos putih di dalamnya. Termasuk celana jeans balel berwarna senada dengan jaket yang ia kenakan, membuatnya terkesan sayang untuk dilepaskan begitu saja. Apalagi melihat respon beberapa cewek dengan baju kekurangan bahan di sana yang mengerling nakal, penuh minat. "Bang Gavin memang di sini. Dia lagi duduk di depan meja bar kalau lo mau tahu." menunjuk seseorang di depan sana dengan dagunya. Raka melotot, mulutnya terbuka mengeluarkan u*****n yang terdengar seperti bisikan, dan di detik berikutnya ia segera menyembunyikan diri di balik punggung Agam. "Oh s**t! Satu Minggu lagi kita ujian kenaikan kelas, gue bakalan dapet hukuman kurungan kalau sampai ketahuan. Please, please, please lo harus bantu gue, Gam!" Agam berhenti tiba-tiba. "Lo bisa tunggu mobil kalau mau." Tanpa repot-repot untuk menjawab Raka langsung melesat pergi, melewati bodyguard yang menjadi palang pintu menyeramkan. Agam sendiri langsung melanjutkan langkahnya, melewati lautan manusia yang meliuk di bawah dentuman musik. "Agam. Ada angin apa lo dateng ke sini?" Gavin tersenyum melihat Agam berjalan ke arahnya, lalu duduk di samping cowok itu. "Tequila?" Ia menawarkan segelas minuman beralkohol di tangan. Agam menggeleng, kemudian beralih melihat ke sekeliling. Ia punya janji pada diri sendiri untuk tidak menyentuh minuman beralkohol itu. Sehebat apa pun godaannya. "Gue ada urusan." Gavin menghendikan bahu ringan. Tersenyum miring setelah menyesap minuman di tangannya dua kali. "Sejauh yang gue tahu, tempat ini ada banyak manusia yang punya yah.. lo tahu? Salah satu alasan dari mereka sama persis seperti yang lo ucapkan." menyenggol lengan seseorang yang duduk diam memainkan bibir gelas di sampingnya. "Namanya Hasa, dia punya sejuta urusan di sini. Termasuk one night stand. Tapi itu dulu, sekarang dia punya pacar cantik yang bisa lihat hantu." Hasa terlihat tak acuh atas ucapan Gavin. Ia hanya mengangkat sebelah tangannya, menyapa. Agam mengangguk singkat sebagai jawaban. "Gue lagi nyari temen." Menenggak minumannya hingga habis, Gavin melambai memanggil salah satu bartender. "Marry, gue mau satu gelas lagi." Ia mengerling nakal pada barmaid itu sembari mengucap terima kasih dengan suara mendayu yang dibuat-buat, kemudian kembali menatap Agam. "Mungkin teman lo di lantai dua. Ada segerombolan anak seumuran lo yang satu jam lalu masuk. Jangan tanya kenapa gue tahu mereka masih SMA. Kalian terlalu muda untuk masuk sini." Agam mendengus kecil, lalu berniat menuju lantai dua yang Gavin maksud. Sebelum ucapan cowok itu kembali membuatnya menoleh. "Apa lo beneran pacaran sama Aletha?" Agam terdiam, menunggu apa yang ingin diucapkan Gavin. Kakak kandung Raka itu menggoyangkan gelasnya sembari berucap dengan ekspresi serius. "Hahh.... gue cuma pesen, jangan bermain terlalu dalam. Hanya itu clue-nya." "Gue tahu." Sayangnya ini bukan permainan Lalu Agam melanjutkan langkahnya menuju lantai atas. Mengedarkan pandangannya, bau asap rokok memenuhi ruangan, membaur bersama suara bola billiard yang saling beradu. Melihat setiap sudut, pandangannya jatuh pada satu sofa panjang yang membentuk sembilan puluh derajat. Di sana, ia melihat Aldi duduk bersama dua temannya yang Agam sendiri tidak mengenal siapa mereka. Ia tidak peduli. "Akhirnya lo ke sini juga, gue udah nunggu lo dari tadi." ucap Aldi sedikit berteriak karena musik dan suara billiard menjadi kebisingan tersendiri di ruangan itu. Satu tangannya mengibas asap rokok yang temannya hembuskan. "Gue ke sini bukan untuk senang-senang. Bisa kita langsung ke inti?" Aldi tertawa renyah. "Calm down, kita masih punya banyak waktu untuk pesen minuman. Apa yang lo suka?" Agam tidak menjawab masih menatap Aldi dengan wajah dingin. "Oke, oke.. gue cuma mau bilang lo salah orang. Gue nggak ngerti aja kenapa lo nuduh gue terlibat soal malam itu." Agam tersenyum miring. "Kalau gitu jelasin ini punya siapa." **** "Woi, Tha! Lo lari nggak ada capeknya, yah? Gue megap, istirahat dulu sepuluh menit." Laras membungkuk sembari berpegangan pada pagar besi di sampingnya. Satu tangannya menumpu pada lutut. Mereka baru saja mengelilingi kompleks dengan bermodalkan modus jogging. Sebenarnya, itu hanya alasan Laras yang ingin melihat anak basket di lapangan kompleks Aletha, mereka sering bermain di sana setiap hari libur. Memaksa cewek itu sepagi ini untuk bangun dari tidur nyenyaknya. Beruntung, hari ini adalah tanggal merah. "Ras, ini udah di depan rumah gue. Please, jangan jadi b**o pagi-pagi." Aletha memutar bola matanya melihat Laras tersenyum menyadari kebodohannya sendiri. Masih tersenyum lebar, Laras menepuk perutnya yang rata. "Sorry, gue kira masih jauh. Mungkin ini efek belum sarapan." "Non Aletha!" seseorang memanggil Aletha sembari membawa dua bingkisan berwarna putih. Sontak mereka menoleh secara bersamaan. "Loh, Pak Wardiman? Kapan pulang dari kampung?" tanya Aletha, menghampiri tukang kebun sekaligus juru masak dari pemilik rumah bergaya Eropa di depannya. Pak Wardiman tersenyum ramah. "Anu, Non. Saya sudah dua Minggu lalu balik ke Jakarta." Aletha mengangguk paham, melirik sebentar empat laki-laki berjas hitam di depan gerbang. "Karena Mr. Thomas udah pulang, yah?" Belum sempat yang ditanya menjawab. Laras seolah menyahuti ucapan Aletha. "Ohhh, what the hell! Selama ini gue belum pernah lihat mukanya Mr. Thomas yang gue pikir itu adalah boss mafia dengan tampang super menyeramkan. Atau mungkin tipe-tipe hot daddy dengan predikat workaholic. Tapi ternyata itu di luar ekspetasi gue, dia Kakek-Kakek, guys?! Seorang Opa-Opa beruban yang banyak duitnya! Denger yah, gue tekenin tuh kata-kata!" ucap Laras sembari berkacak pinggang memandang pemilik rumah di depannya yang baru saja keluar dan berjalan memasuki mobil. "Kenapa ada yang salah sama ucapan gue?" sambungnya melihat ekspresi Aletha seperti mengucap-Please-jangang-ngomong-sembarangan-yang Laras pikir hal wajar jika ia berucap demikian. Memutar bola matanya, jengah. Aletha kembali berucap. "Kenapa Bapak manggil saya?" "Oh, saya baru saja masak bubur untuk Tuan besar. Ini ada lebihnya, bisa untuk sarapan Non sama temennya." Aletha baru saja akan membuka mulutnya untuk mengucap kata terima kasih, namun lagi-lagi Laras membuatnya menelan ucapannya. Cewek itu tiba-tiba mengambil bingkisan di tangan Pak Wardiman tanpa rasa malu. "Terima kasih banyak Pak Wardiman. Sering-sering yah, Pak. Soalnya Bapak tambah cakep kalau ngirim kayak gini tiap hari." Aletha menyenggol lengan Laras agar mau menutup mulutnya. "Apa, sih?!" Pak Wardiman menggeleng maklum atas tingakah anak muda zaman sekarang. "Sama-sama, Non. Saya mau pamit ke pasar dulu. Tuan besar mau makan di rumah nanti siang. Permisi." lalu mengangguk sopan, masuk ke dalam rumah sebelum mobil Mercedes benz berwarna hitam mengkilat keluar dari rumah itu. Aletha melirik, sedikit penasaran. Akan tetapi hal itu hanya sebentar saat Laras membuyarkan lamunan singkatnya dengan melambaikan satu tangan di depan wajah cewek itu sebanyak tiga kali. "Hello?? Jangan bilang lo jatuh cinta sama Opa-Opa tadi yah, Nek?!" Aletha hanya menanggapinya tak acuh. Membuka pagar besi di depannya. "Kayaknya lo harus cepet ke tukang listrik kompleks. Kabel di kepala lo pada lepas semua, jadi gila gini." ucapnya berjalan memasuki pekarangan rumah. Melangkah menelusuri jalan setapak yang terbuat dari paving. "s****n! Di kepala gue mana ada kabel, Tha. Lo tuh yah kadang-kadang suka ngebego sendiri." jawab Laras sembari menggelengkan kepala, mendramatisir. "Terserah," Memandang garasi mobil di samping rumah Aletha, Laras mengernyit dalam. "Ehh, Nek. Ngomong-ngomong Bang Tristan nggak pulang ke sini? Gue butuh asupan vitamin penyegar mata. Syukur-syukur gue bisa dapet pelukan penuh cinta." Aletha menggeleng bosan. "Tristan lagi di kampus ada event tahunan gitu, mungkin kita bisa ke sana nanti sore." "Ide bagus. Gue bakal pakek kaos yang tulisannya 'hugh me, please!' biar Abang lo sadar kalau gue butuh pelukan." Dari balik pantry kecil miliknya, Aletha mendengus lalu mengambil sesuatu dalam lemari pendingin. Menenggak air mineral sebelum membuat jus tomat. Berbicara soal jus tomat, Aletha tidak melihat motor Agam terparkir di garasi rumahnya tadi. Terdiam sebentar, Aletha menggeleng lalu mencuci tomat miliknya. Ia tidak mau memikirkan hal yang tidak penting. "Nek, gue mau jus jeruk dong." Aletha mengangguk dalam diam diiringi suara Laras yang bercerita tentang berbagai macam hal. Dan Aletha masih setia duduk menjadi pendengar yang baik. **** Suara derit pintu bergeser mengusik kegiatannya membaca sebuah novel. Aletha mendongak memandang sang pelaku yang berbalik untuk keluar setelah melihatnya duduk tenang di dalam UKS. Ia tersenyum, mirip sebuah seringai menyebalkan. "Oopsie, pacar jelek gue ketahuan bolos juga." Agam mengabaikan. Ia mengurungkan niatnya untuk keluar, menggeser kembali pintu UKS yang terbuka setengah. Lantas memilih duduk di atas tempat tidur yang kosong. Ia kemudian merebahkan tubuhnya begitu saja dengan posisi menyamping. "Gue rasa bunyi bel istirahat udah cukup keras untuk lo mengerti kalau sekarang udah waktunya istirahat." gumamnya membelakangi Aletha. Aletha mengernyit sedikit aneh dengan suara Agam. Ia terlihat tidak terusik dengan ucapan cowok itu yang terdengar menyindir. "Lo bisa sakit juga ternyata?" berpindah menaiki tempat tidur UKS di sampingnya, lalu duduk di sisi Agam. Agam menoleh, lalu berdecak kembali ke posisi semula. "Gue juga manusia, kalau lo lupa." Untuk ukuran orang yang sedang sakit, Agam masih punya tenaga bersikap pedas seperti biasanya. Aletha maklum akan hal itu, ia memutar bola matanya lalu menusuk lengan Agam dengan jari telunjuk. "Sakit apa lo? Diare?" "Gue flu, ketularan si Raka." Agam menoleh. "Jangan berisik. Gue cuma butuh istirahat." Aletha berdecak kesal. "Duh. Siapa juga yang mau berisik." Tadinya ia akan duduk tenang melanjutkan membaca novel. Akan tetapi niat itu ia urungkan. Aletha malah terlihat ikut merebahkan tubuhnya di samping Agam, menatap langit-langit UKS, lalu beralih ke pintu bercat abu-abu di sana. Lantas memiringkan tubuhnya, menatap punggung Agam. Jari telunjuknya bermain di punggung cowok itu, menulis namanya sendiri. "Agam." Agam menggumam sebagai jawaban. Namun, bergeming. "Agam." Kali ini ia tidak menjawab. Seolah tidak kehabisan akal. Aletha menumpukan dagunya di bahu Agam, lalu menusuk pipi cowok itu. Ia bisa merasakan suhu tubuh Agam yang sedikit hangat. "Lo nggak laper?" Berdecak atas tingkah Aletha yang menyebalkan, Agam membuka matanya. Mendorong kening Aletha menjauh. "Lo mau ketularan juga? Jangan deket-deket. Fans lo bakal marah besar tahu lo sakit gara-gara gue." namun respon yang Aletha berikan membuat Agam menggeram tertahan. "Aletha! Jangan gigit bahu gue!" Aletha tersenyum tipis. "Duh. Makanya jangan bawel." Kembali, suara pintu digeser pelan. Mereka menoleh secara bersamaan melihat seseorang yang berdiri di depan pintu dengan wajah terkejut dan canggung. Agam segera bangkit untuk duduk. Sedang Aletha mendengus kecil, mengikuti cowok itu. "Maaf, apa aku ganggu?" "Seriously? Apa mesti gue jawab?" Aletha langsung mendapat lirikan tajam dari Agam. "Oke, gue cuma bercanda." "Apa ada sesuatu? Atau Bu Dania nyari gue?" tanya Agam. Sandra menggeleng. Ia terlihat gugup memegang kotak bekal di tangannya. Keringat dingin menyelimuti bersamaan dengan rasa malu yang keluar tanpa diundang. Aletha mengernyit bingung. Ingin berucap, namun satu suara menyebut namanya dengan cukup keras, membuat Aletha memutar bola matanya bosan. Laras datang dengan hebohnya, masuk begitu saja tanpa tahu situasi. "Aletha! Gue nyari lo dari ta... di." Laras terdiam sebentar, lalu melanjutkan ucapannya. "Wow. UKS punya cerita." Laras mengerjabkan matanya, melihat seseorang yang duduk di samping Aletha. Ia takut bahwa apa yang ia lihat hanya halusinasi atau tipuan mimpi. Di sana, ia melihat Agam baru saja mengenakan kacamata bulatnya. Laras dengan segera menghapus segala penilaiannya pada diri Agam. Mungkin cerita Aletha akan sama dengan beauty and the beast yang pada akhirnya sang Pangeran berubah menjadi sosok rupawan. Omg si cupu ternyata cowok ganteng! "Ras. Please, close your mouth." tegur Aletha, sedikit jengah. "Ngapain lo nyari gue?" sambungnya kemudian. "Huh? Ohh, yah ampun! Gue hampir lupa. Bu Beti baru aja ngejewer kuping gue gara-gara ulah lo tadi pagi. Serius yah, Nek. Pot bunga yang lo tendang itu punya Bu Beti! Gila. Kena batunya 'kan lo sekarang?" terangnya panjang. Aletha baru ingat, karena sibuk bermain ponsel. Ia sampai menyenggol pot bunga mawar putih yang di jemur di pinggiran koridor kelas lantai satu tadi pagi. Mungkin lebih tepatnya menendang. Karena hal itu yang sebenarnya Laras lihat. "Buruan ke sana, sepertinya lo bakal dapet hukuman." Aletha mengikuti sembari berdecak. Mengabaikan Agam dan Sandra yang menjadi pendengar sejak tadi. Ia terlihat begitu tidak peduli akan apa yang Sandra akan lakukan. Bukan ia tidak tahu. Sandra ingin lebih dekat dengan Agam dengan membawakan bekal. Lagi pula cowok itu akan senang mendapat perhatian dari cewek baik-baik seperti Sandra. Laras menepuk bahu Aletha setelah melewati pintu UKS. "Kalau lo bosen sama si cupu, gue siap jadi penampung." ucapnya mengerling jail. Aletha lantas meninggalkan Laras yang tersenyum bodoh di belakangnya. "Nekk! Tungguin gue!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN