11 | Jantung Yang Sakit

2297 Kata
Aletha tidak pernah selucu ini dalam berekspresi. Antara marah, kesal ataupun mengumpat ia masih bingung menjelaskannya seperti apa. Yang jelas rasa kesal bercampur rasa geli paling mendominasi saat ini. Bagaimana remaja berseragam SMP berdiri di hadapannya dengan berkacak pinggang sembari melotot tajam. "Bang Agam kok pacaran sama cewek jelek ini?! Kan Jingga mau jodohin Abang sama Suster cantik di rumah sakit!" Aletha mendengus geli, menyandar pada sandaran sofa sembari bersedekap melihat interaksi Kakak beradik di depannya. "Jingga nggak boleh gitu, itu temen Abang. Harus sopan sama yang lebih tua." ucap Agam, menasehati. Terdengar aneh di pendengaran Aletha. Ia tidak habis pikir kenapa mulut sepedas cabe itu bisa mengeluarkan kata-kata nasehat semacam itu. "Maaf," "Bukan sama Abang." ucap Agam tegas, membuat Jingga membuang muka tidak suka. Aletha tersenyum miring, ini kali keduanya ia bertemu dengan Jingga yang ternyata adalah Adik Agam. Pertemuan pertama mereka saat dirinya berada di depan sebuah cafe, saat itu ia baru saja memarkirkan mobilnya di sana. Yang tanpa di duga dua remaja SMP mendatangi mobilnya lalu berkaca dan memakai beberapa perlengkapan make up di kaca spion mobilnya. Aletha hanya ingin mencari kesenangan, menurunkan kaca mobilnya untuk mengaggetkan dua remaja itu 'Dek, hati-hati gambar alisnya jangan tinggi-tinggi ntar disangka gunung lagi' mungkin hal itu yang membuat Jingga bersikap sedemikian rupa padanya. "Maafin gue.... Tante cabe." ucapnya dengan nada menyebalkan lalu masuk ke dalam kamar mandi untuk mengganti seragam sekolah dengan baju pasien. Aletha meliriknya sekilas. Tante cabe my a*s! Agam menghela napas pelan, melihat Aletha yang terlihat tak acuh sembari memakan nasi padang yang ia beli di pinggir jalan tadi. Sebenarnya Agam tahu pasti bahwa cewek itu sedang mengumpat dengan seribu u*****n tak berkelas yang ia koleksi dalam pikirannya. Tidak ambil pusing, Agam duduk di samping Aletha lalu ikut memakan makanannya. "Lo nggak mau tanya kenapa Adek lo nggak suka sama gue?" tanya Aletha, memecah keheningan. Agam menggeleng, lebih memilih membuka makanannya. Selang beberapa menit pintu kamar mandi terbuka, Jingga keluar dan duduk di pinggiran tempat tidur dengan wajah sedikit pucat. Dua bulan yang lalu Adik Agam itu menjalankan operasi usus buntu. Meski keadaannya sudah membaik, ia tetap tidak mau pergi dari rumah sakit. Pulang ke rumah adalah hal yang paling Jingga inginkan, akan tetapi hal itu membuatnya kesepian. Papanya selalu sibuk dengan urusan kantor dan Agam sudah bertahun-tahun berperang dingin dengan Papanya hingga membuatnya pergi dari rumah. Jingga tidak tahu pasti, yang jelas setelah kedatangannya ke rumah besar itu, ia menyadari satu hal. Ia sendiri. Dua bulan yang lalu saat mendengar Abangnya akan tinggal di Jakarta, Jingga sangat senang sampai mau menjemput Agam di stasiun meski keadaannya waktu itu tidak baik. Dengan wajah pucat Jingga menunggu di sana dua jam lebih, ia mengabaikan rasa sakit yang menyerang perutnya. Mungkin karena terlalu bersemangat hingga saat Agam berada di depannya kegelapan juga ikut merenggut kesadarannya. "Bang, Jingga mau komik. Beliin, yah?" pintanya dengan nada manja. Agam mengangguk singkat. Kemudian berdiri untuk pergi. "Udah selesai, Tha?" tanyanya, melihat Aletha keluar dari dalam kamar mandi, lalu membuka pintu tanpa mengucap apa pun untuk basa-basi. Aletha melihatnya dari belakang dengan alis terangkat, heran. **** Di dalam mobil camaro tua berwarna silver, Aletha berulang kali mendengus. Membuat Agam jengah dan menatap kesal cewek itu. "Lo punya banyak hutang?" Aletha memutar bola matanya. Menggeser duduknya lalu bersedekap menghadap Agam sepenuhnya. "Gue merasa lucu," "Sayangnya lo bukan bayi." jawab Agam, memasuki kawasan parkir umum, memarkirkan mobilnya di sudut kiri dekat pedagang kaki lima. Mengabaikan seseorang di sampingnya yang berdecak kesal. "Aletha!!" Agam menggeram kaget. Tiba-tiba saja Aletha berpindah duduk di pangkuannya. Mengalungkan kedua tangannya pada leher Agam, Aletha tersenyum miring mengusap pipi Agam dengan jarinya. "Gue penasaran aja kenapa sikap lo seolah membenarkan kalau kita emang pacaran di depan Adek lo... apa lo suka sama gue? Sekarang lo mau ikut andil dalam hubungan ini setelah sekian lama? Lo tertarik sama gue?" Terdiam mengamati wajah Aletha sedekat ini, Agam memutar bola matanya. Ia sudah tahu jika Aletha hanya mempermainkannya. Mengejar egonya untuk mendapatkan Agam yang menarik perhatiannya. Meski Agam sudah mengucap kata 'Jangan pernah bermain dengan perasaan' Aletha lebih memilih abai. "Kenapa diam aja? Gue suka kok cowok berkacamata, kalau lo mau tahu, sih." "Apa itu pernyataan cinta?" "Nggak, itu kompromi. Gue nggak tahu apa itu cinta. Klise aja dengernya." sembari mencium bibir Agam, lalu melumatnya pelan. "Rasa terong balado. Lain kali beli lagi, yah? Gue suka." Suara ketukan kaca mobil memaksa Aletha berpindah ke kursi penumpang, ia berdecak mengurungkan niatnya untuk mencium Agam lagi. Agam menurukan kaca mobil sampai setengah, memandang penuh tanya juru parkir pasar yang memakai topi abu-abu di hadapannya. "Mas salah parkir. Ini khusus kendaraan roda dua." Tukang parkir tersenyum canggung. Kemudian mengikuti arahan sang juru parkir memindahkan mobil. Agam mengucap terima kasih setelah mobilnya terparkir secara benar dan selembar karcis ia dapatkan. Lantas membuka pintu sembari melirik Aletha sekilas. "Pasar?" Aletha melihat sekitar, lalu menoleh cepat ke arah Agam. "Di sini mana ada buku? Mana ada novel? Lo gila apa gimana?" protesnya. Agam mengabaikan, ia melangkah masuk ke dalam pasar. Aletha sendiri hanya memutar bola matanya lalu mengikuti Agam dari belakang, namun langkahnya terhenti saat Agam menoleh ke belakang dengan alis terangkat diiringi helaan napas pelan. "Gue bukan induk lo. Jalan di samping gue jangan di belakang." Aletha berdecak menanggapi ucapan Agam, kembali berjalan menelusuri pasar tradisional dengan aneka sayuran dan jajanan yang menggugah selera. Ia menarik ujung seragam Agam saat menemukan sesuatu yang menarik atensinya untuk segera berhenti. "Wow. Bisa bungkus setengah kilo tomatnya, Pak?" penjual sayur mengangguk. Sedang Agam mengernyit jijik. Tidak suka dengan buah bulat berwarna merah menggoda itu. "Kenapa lo?" Agam menggeleng. Memasukan satu tangannya ke dalam saku celana sembari melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan. Ini sudah hampir pukul tiga sore, satu jam lagi toko yang menjadi langganannya membeli buku dan novel akan tutup. "Lo nggak suka tomat?" Agam mengangguk sebagai jawaban, ia sedang malas untuk berbicara, dan kembali melanjutkan langkahnya. Empat langkah setelah dua kali melewati belokan pasar, Agam berhenti di depan toko kecil bertuliskan 'Nuansa Galeri Baca' dengan cat berwarna hijau lumut dan masuk ke dalamnya diikuti Aletha di belakang. "Selamat sore, ada yang bisa saya bantu?" sapa ramah dari pegawai toko. Aletha masih diam, sibuk dengan headset yang menggantung di telinga. Ia melihat ke sekeliling merekam setiap sudut toko yang tertata secara unik lalu menghampiri Agam di konter kasir. "Saya mau ambil pesanan yang kemaren." "Oh atas nama Mas Agam?" "Iya." Lalu pegawai itu masuk ke dalam gudang untuk mengambil barang pesanan Agam. Termasuk menambahkan satu set komik pesanan Jingga 'Kodocha childs play' yang tediri dari sepuluh volume baca. Dari sisi kanan Aletha memandangnya penuh curiga setelah pegawai toko menyerahkan satu kantong plastik besar berisi dua buah novel, sepuluh komik dan satu paket buku Matematika yang Aletha tahu dua dari pesanan itu adalah miliknya. Karya Kahlil Gibran dan buku paket Matematika. "Lo tahu gue ngilangin buku-buku ini?" Aletha memandangnya kesal. "Damn, pantes aja lo gue ajak nggak mau. Ternyata lo mesen ini di belakang gue? Manis banget. Pret." sambungnya memasang senyum yang dibuat-buat. "Lo yang bayar." Agam tersenyum miring. Mencondongkan wajah di depan Aletha. "Gue nggak bilang ini gratis." **** Sudah setengah jam Aletha menunggu Agam di dalam mobil. Cowok itu sedang pergi membeli sesuatu yang entah Aletha tidak tahu. Enggan untuk bertanya, ia masih kesal atas ucapan Agam sebelumnya. Lebih memilih duduk tenang di dalam mobil sembari mendengarkan musik milik Taylor Swift hingga panggilan dari seseorang membuatnya dengan terpaksa mengangkat telepon yang Aletha yakin isi percakapannya tidak penting. "Hallo Oma, gue nginep rumah lo yah malam ini?" suara Laras menyapa indera pendengarannya penuh semangat. Aletha berdecak. "Please, gue bukan Nenek lo, Ras." "Ihh.. lupakan, nggak penting. Gue udah on the way sekarang ke rumah lo. Bokap sama nyokap gue lagi honeymoon yang ke tiga belas kalinya ke Jepang. Gue ditinggal gitu aja! Nggak kaget sih nanti kalau mereka pulang bawa kabar gue bakal punya Adek." terang Laras tanpa diminta membuat Aletha memutar bola matanya bosan. "Gue masih di luar. Lo ke rumah Tania aja." "Duh. Si Tania lagi ke Australi habis pemotretan di Bali dia langsung terbang ke sana. Mami sama Papinya 'kan lagi ulang tahun pernikahan. OMG jangan bilang lo lupa? Pokoknya gue nggak nerima penolakan yah, Nek." Aletha mendengar bunyi klakson di seberang sana diikuti u*****n dari pengendara lain. Mungkin Laras baru saja menerobos lampu merah. "Terserah," "Ehh.. jangan ditutup dulu. Gue titip ciloknya Mang Edi yang di depan kompleks lo. Sambalnya lima sendok aja, nggak pakek saos yah, Tha. Kasih kecap aja nggak usah kuah. Kasih bumbu kacang juga yang banyak pokoknya, jangan lupa." ucapnya tanpa jeda. Aletha mengernyit. "Bukannya lo masih di jalan. Langsung beli pas ke rumah gue kenapa, sih?" "Jangan pelit yah, Nek. Gue lagi males turun kalau ke kompleks lo. Takut khilaf satpamnya ganteng soalnya. Ya udah sih gue tunggu lo di rumah. Bye." Bersamaan dengan putusnya sambungan telepon dari Laras, Agam masuk membawa dua kantong plastik. Aletha segera membuang muka ke samping, rasa kesal kembali menyelimuti melihat Agam tersenyum menyebalkan di sampingnya. "Kenapa pasang muka kayak gitu?" Agam meletakkan kantong plastiknya di kursi belakang. Aletha sempat melirik sebentar salah satu isi kantong plastik itu yang ternyata berupa telur. Entah yang satunya Aletha tidak tahu. "Gue suka masak sendiri kalau lo penasaran." Aletha tahu Agam sedang menguji kesabarannya untuk itu ia tidak mau terpancing. "Lo tahu nggak kalau ngeluarin uang segitu bukan hal yang bikin gue bakalan bangkrut," kembali duduk di pangkuan Agam. "Gue cuma kesel, lo ngelakuin hal ini bukan dari hati." telunjuknya bermain di d**a Agam. Agam diam, sebelum berucap sesuatu yang membuat Aletha ikut terdiam. "Segala sesuatu yang diawali tanpa ketulusan akan memiliki timbal balik yang sama. Atau mungkin kalau lo mencoba bermain api lo harus siap dengan segala konsekuensinya. Memilih terbakar sebagian dengan rasa sakit yang membekas seumur hidup, atau ikut melebur bersamanya." jika Aletha memperhatikan dengan seksama, Agam memandangnya dengan sorot mata yang berbeda, lantas kembali memandangnya dengan tatapan datar di detik berikutnya. "Gue bisa melebur bersama jika lo mau." ia maju untuk mencium Agam. Namun, cowok itu memberikan penolakan, menahannya dengan jari telunjuk menempel diantara kedua alis. "Gue harus nyalain mobil, lo ngalangin pandangan gue." "Dasar perusak suasana!" **** Aletha benar-benar merasa hari ini cukup panjang. Dan dalam kurun waktu satu hari ia bertemu dengan Sandra saat cewek itu mengalami ketidak beruntungan. Seperti saat ini, tanpa sengaja mobil yang ia tumpangi bersama Agam hampir saja menabrak Sandra yang berlari kencang ke tengah jalanan ramai. Seolah seseorang baru saja mengejarnya. Mungkin hal itu yang terlintas dalam pikirannya, jika tidak melihat langsung luka lebam di sudut bibir cewek itu yang Aletha tahu Sandra baru saja menghindari Pamannya yang suka memukul dan berkata kasar pada cewek itu. Sandra masih memiliki orangtua yang lengkap. Sayangnya mereka tinggal jauh di Solo, tentu hal itu membuatnya terpaksa tinggal bersama sang Paman. Alasan utamanya karena ia mendapat beasiswa penuh di SMA ternama Jakarta. Mengetahui Sandra pulang dalam keadaan basah kuyub, membuat Pamannya marah besar dan memukulnya. "Lo tinggal di asrama sekolah aja. Gue pikir itu lebih aman." ucap Agam, menyodorkan sebotol air mineral. Sementara Aletha sibuk mengobati luka cewek itu. "Biar gue anter lo pulang ke rumah untuk ambil barang-barang lo." sambungnya begitu saja, sontak Sandra memeluk Agam mengucapkan rasa terima kasih sembari menangis sesegukan. Agam bahkan mengabaikan Aletha yang meliriknya dengan ekspresi yang sulit diartikan. Butuh waktu lima belas menit sampai Agam mengantar Aletha di depan kompleks. Cewek itu meminta Agam menurunkannya di sana, lantas keluar dan menutup pintu tanpa berucap apapun. Agam menghela napas cukup panjang. Kemudian melajukan mobilnya menjauhi gerbang kompleks melanjutkan niatnya mengantar Sandra. "Mang saya beli tiga bungkus, masing-masing sepuluh sendok sambal." Mang Edi mengerjab, tidak biasanya Aletha memesan cilok begitu banyak apalagi dengan sambal sampai sepuluh sendok. Dalam hati ia mengira jika pelanggannya yang satu ini sedang kedatangan tamu. "Tumben pesan banyak, Non. Ada tamu, yah?" Aletha mendengus kecil. "Saya lagi pengen ngunyah orang. Tapi adanya cuma cilok." Mang Edi tersenyum, mencoba memaklumi. Mungkin Aletha memang sedang ingin memakan cilok. Sampai di depan rumah Aletha, hal pertama yang menyambutnya adalah suara Laras yang berteriak penuh drama sembari berjalan tergopoh-gopoh membawa koper kecil. "Oh ya ampun! Lo lewat mana, sih?! Laut? Gue di sini nunggu lo satu jam lebih kayak jemuran kering minta diangkut. Ke mana aja sih lo, Tha?!" Memutar bola matanya, Aletha masuk ke dalam rumah melewati Laras. Berjalan menuju dapur di bagian kiri, ia mengambil tiga piring kecil lalu meketakkannya di atas meja. "Tunggu. Seriusan itu blazer si Agam?! Oke, gue udah mengira kalau beauty and the beast bakalan ada dalam cerita ini." ucap Laras heboh melihat blazer yang Aletha kenakan bukan milik Udin. "Atau Romeo and Juliet. Tapi itu nggak mungkin, Agam 'kan jelek." Menghiraukan Laras, Aletha membuka satu persatu cilok di depannya. Lantas terkejut secara tiba-tiba saat Laras menggebrak meja keras. "Gila! Pedes, Tha! Lo nyabe berapa ini cilok?!" teriaknya, setelah memakannya satu suap. Baru saja Aletha akan membuka suara, deru suara mobil terparkir di pekarangan rumahnya, memaksa Aletha untuk segera keluar. Di sana. Agam berdiri menenteng tomat miliknya yang tertinggal di dalam mobil. "Seceroboh itu sampai lupa sama yang disuka." ucapnya menyindir. Aletha hanya memutar bola matanya. Mengambil tomat yang Agam bawa, sebelum cowok itu mencekal tangannya dan membuatnya menoleh atas ucapan Agam. "Maaf." Aletha mengernyit bingung. Ia tidak tahu Agam meminta maaf untuk hal apa. "Apaan sih lo, kenapa tiba-tiba nggak jelas gitu?" Agam tetap diam, lalu ia menyodorkan kantong plastik yang Aletha lihat di mobil tadi. "Ini jus tomat, gue ngelihat ada stand kecil yang ngejual tadi." Aletha masih menunggu Agam berucap kembali. "Soalnya lo keliatan pengen ngiler gitu lihat tomat. Jadi, gue beliin." Aletha melotot marah. Mengambil kantong plastik yang Agam bawa, lalu menendang tulang kering cowok itu. Ia lantas meninggalkan Agam yang mengumpat kesal di belakangnya karena rasa sakit luar biasa. "s****n, jantung s****n. Berhenti berdetak secara nggak normal!" ucap Aletha pada diri sendiri sembari berjalan masuk.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN