10 | Blazer Kebesaran

2279 Kata
Suara gemerisik air hujan saling bersahutan, terdengar begitu ramai dari luar jendela. Hembusan angin ringan membawa serta aroma tanah yang sudah lama tak terjamah, memiliki cerita tersendiri bagi sang alam. Aletha memandang tetesan air yang mengenai kaca jendela kamarnya dalam diam, bukan tidak menyukai segala sesuatu tentang hujan, ia pernah sangat menyukai hal itu. Terdengar damai dan penuh kenangan, sampai sesuatu menghanyutkan perasaan itu dan meninggalkan rasa sakit. Meletakkan cokelat panas miliknya di atas meja kecil yang terbuat dari anyaman bambu. Aletha terdiam sebentar, kemudian mendengus kecil, menutup kelambu besar berwarna putih gading yang menjuntai hingga ke lantai keramik yang menyerupai kayu jati. Pandangannya kini teralihkan pada tiga nakas kecil di pojok ruangan yang ia tata secara berundak, di sana ada enam belas boneka nutcracker yang selalu ia dapatkan setiap kali berulang tahun. Terbungkus rapi, tanpa nama, tanpa ucapan. Nutcracker, boneka pemecah kacang Mendengar ponselnya bergetar, Aletha tersadar dari lamunannya, ia melihat sebuah email masuk dari Laras. Kemudian berdecak membaca data-data yang Laras kirim, benar-benar tidak habis pikir dengan apa yang temannya berikan, ia segera mendial nomor cewek itu untuk menanyakan sesuatu. "Ras, lo gila, yah? Gue minta nomornya... lo malah kasih gue lengkap sama data sekolah lamanya?" "Wah! Bukannya bilang makasih lo tuh yah.. malah ngatain gue gila. Emang ada orang gila secantik gue?" Aletha memutar bola matanya, ia bisa mendengar dengan jelas di sebrang sana Laras mengunyah makanan sembari menjawab telepon darinya dengan santai. Aletha yakin sekarang Laras pasti sedang memakan cemilannya di depan leptop bersama drama lovey dovey dari Thailand yang baru saja cewek itu download. Berpindah ke tempat tidur, Aletha membawa cokelat panas miliknya meletakkannya di atas meja kecil yang berada di samping kiri, lalu bersandar pada kepala ranjang. "Terus kenapa ada fotonya si Raka?" tanyanya, bingung. Laras tersedak. Aletha kembali mendengar suara berisik temannya yang mengumpat mencari air minum di sebrang sana, dan menjawab pertanyaannya setelah terdengar lebih tenang. "Ya ampun! lo suka si Raka? Lah, kenapa lo malah minta datanya si Agam?!" jawabnya setengah berteriak. "Dasar b**o! Lo dapet ini dari siapa, sih?" kesal Aletha, memijat pelipisnya pelan. Memiliki teman seperti Laras terkadang menjadi hal yang menyita kesabarannya. "Lah.. gue dapet dari Raka temennya Agam. Tapi nggak gratis, Tha. Makanya gue kasih foto lo aja. Lumayan ngejual foto lo bisa dapet uang, biar tambah rame gue kasih tuh cap bibir gue. Serius, gue dapet enam ratus ribu dari lelang tadi sore, gila salut gue." terangnya panjang. Aletha tidak tahu, harus ditaruh di mana rasa sabarnya saat ini, bisa-bisanya Laras melakukan jual beli dengan fotonya. Apalagi hal itu dilakukan tanpa sepengetahuan Aletha. Bukan masalah jika nanti ia semakin dikenal banyak orang, namun akan menjadi hal buruk jika hal itu menjadi masalah bagi dirinya sendiri nanti. Ia menghela napas panjang mencoba meredam emosinya. "Lain kali jangan jual beli pakek foto gue... lo kira-kira aja foto gue lo sebar sembarang, kalau gue kenapa-kenapa gara-gara tuh foto, bakalan gue cancel hoodie pesenan lo... ah satu lagi semua koleksi poster idola lo bakalan gue bakar." ucapnya tanpa unsur mengancam. Karena ia tahu sebegitu sukanya Laras dengan hal-hal yang berbau boy band dari Korea Selatan, Aletha ingat benar namanya terdiri dari tiga huruf balok, E-X-O. Ia juga tahu beberapa hari yang lalu salah satu member grup itu meluncurkan brand fasion baru. Hoodie dengan nama 'Prive by BBH'. Dan Laras meminta hal itu untuk bayaran informasi yang ia berikan, meski cewek itu telah menjual fotonya di lapangan futsal tadi sore. "Alethaa!! Dasar nggak punya perasaan! Jangan cancel pesenan gue!" rengek Laras. "Awas aja kalau lo bakar barang-barang gue! Gue bakal putusin lo--" Terkesan tidak peduli, Aletha mematikan sambungan teleponnya, telinganya sudah terasa panas mendengar teriakan Laras. Ia lebih memilih melanjutkan membaca data pribadi milik Agam. Sedikit mengernyit heran, membaca nama yang tertera di sana, sebelum kembali bersikap abai. Pintu bercat putih itu diketuk beberapa kali dari luar, membuatnya sedikit terusik. Aletha bangun dan membukanya pelan. Melihat seseorang yang berdiri di depan kamarnya dengan handuk kecil menggantung di leher, ia mendengus kesal. "Lo main hujan-hujanan?" Menulikan pendengarannya Tristan melenggang masuk dengan santai, mengabaikan Aletha yang mendelik kesal ke arahnya saat ini. Ia lantas menghempaskan tubuhnya begitu saja di atas tempat tidur, berguling tiga kali lalu menenggelamkan wajahnya di bantal halus milik Aletha. Ia suka aroma adiknya, seperti bunga lily. Meski hal itu berbanding terbalik dengan sifat Aletha. "Jangan tidur situ! Duh. s**t! Baju lo basah!" teriak Aletha menarik kaki Tristan turun. Tristan berdecak tidak suka, lalu merubah posisi tubuhnya menjadi terlentang. Menatap langit-langit kamar Aletha seolah menerawang jauh. "Pinjem baju lo," "What?" Melihat bagaimana ekspresi yang Aletha berikan, Tristan segera meralat ucapannya. "Pacar gue kehujanan," lalu duduk bersila di atas tempat tidur. Ia bisa melihat lantai yang dipijakinya tadi menyisakan beberapa genangan kecil air, kemudian beralih menatap Aletha yang masih memandangnya tidak percaya. "Jangan pasang wajah bodoh kayak gitu. Gue bukan lo yang suka gonta-ganti pacar." sambungnya tertawa geli. "s****n, lo!" ucap Aletha sembari membuka lemari, mengambil baju yang Tristan minta lalu melemparnya ke arah cowok itu, tepat mengenai wajahnya. "Kalau gitu bawa ke rumah lo aja sana, atau lo ke sini mau aneh-aneh lagi?" Tristan terdiam, lalu menghela napas panjang. "Dia anak panti asuhan," meski lirih Aletha masih bisa mendengar ucapan Tristan yang tiba-tiba. Aletha memandangnya dalam diam, menanti sesuatu yang akan Tristan ucapkan padanya. Posisinya saat ini menyender pada lemari besar di belakangnya. "Dan Papa nggak setuju," ucap Tristan lagi begitu mendongak menatap Aletha. Terselip nada kecewa di sana. Aletha tahu itu, ia bisa merasakannya. Tristan mengucapkannya dengan tersenyum menyedihkan. Berdehem sekilas seolah menetralkan perasaannya sendiri, Tristan berdiri. "Ngapain lo bengong? Gue nggak selemah itu kali. Jangan kasih gue pandangan penuh penghinaan gitu." Mendengar hal itu Aletha berdecak kesal, ia memutar bola matanya. "Gue nggak percaya sama drama lo," menjeda ucapannya Aletha tersenyum miring. "Kalau dua Minggu lagi itu cewek nggak bakal ninggalin lo karena tahu masa lalu lo, gue bakal jadi orang pertama yang kasih lo tiket ke Hawai buat kawin lari." "Oke, siap-siap aja kehilangan lebih banyak... karena gue juga minta satu paket honeymoon romantis. So, siapin tabungan lo dari sekarang, baby." Lantas berkedip nakal, Tristan meninggalkan Aletha yang mendelik kesal. "s**l, dia ngasih kerjaan gue." Sepeninggal Tristan, Aletha menggerutu melihat bekas kerusuhan yang cowok itu buat di kamarnya. Seprai basah dan genangan air yang membuatnya harus mengorbankan waktu santainya untuk mengepel dan mengganti seprai miliknya yang beberapa jam lalu baru ia ganti. Aletha memejamkan mata, kemudian menarik napasnya, pelan. "Tristan!! I will kill you!!" **** Aroma buku-buku baru dan lama tercampur menjadi satu di ruangan itu, menguar begitu saja saat pintu berbahan jati digeser secara pelan. Aletha menghampiri penjaga perpus yang terlihat sibuk di balik konter. Blazer kebesaran milik Udin, ia gulung sampai siku. Aletha terpaksa menggunakan blazer temannya itu karena seragam yang dipakainya tidak sengaja ketumpahan minuman saat berada di kantin tadi. Dan sialnya, Aletha lupa membawa seragam ganti. Lokernya terlalu penuh dengan cokelat serta serentetan barang-barang berbau secret admirer, membuatnya malas untuk sekedar berkunjung atau meletakkan sesuatu di sana. "Agam mana?" tanya Aletha sembari mengetuk jarinya meminta perhatian. Fadhil mengerjab, lalu menggeleng tersadar dari sikap tidak sopannya yang memperhatikan Aletha secara berlebihan. Aletha sendiri hanya memandang itu semua dengan alis terangkat, geli. "Oh... Kak Agam lagi ganti sampul plastik buku yang udah rusak, Kak." Aletha mengangguk, berjalan menghampiri Agam. Ia mencari di setiap lorong dan mendapati cowok itu berdiri di samping meja panjang dengan setumpuk buku paket yang belum disampul. "Kok lo mengabaikan line sama telepon gue, sih? Benar yah lo ngehindarin gue?" tanya Aletha sembari duduk di atas meja di depan Agam tepat satu jengkal dari setumpuk buku paket. Sebelah alisnya terangkat tanpa sengaja karena merasa diperhatikan. "Kenapa? Ada yang salah sama gue?" "Turun." ucap Agam kembali menekuni pekerjaannya. "Masih ada kursi, kenapa lo duduk meja?" Mengayunkan kedua kakinya, Aletha mengabaikan ucapan Agam sembari menggulung rambutnya tinggi, blazer besar milik Udin membuatnya merasa tidak nyaman. "Anterin gue ke toko buku, dong! Lo tahu gue tipe orang yang nggak mau lepas sama tanggung jawab," ucapnya mengalihkan perhatian. "Sure, seperti menjadi bodoh dan nggak mau turun dari atas meja?" Aletha melotot. Ia menendang lutut Agam keras. Membuat cowok itu menggeram kesal atas ulahnya. "Aletha!!" "Oopsie. Kaki gue kepleset," Agam berdecak, mengangkat buku paket di depannya. Memindahkannya ke rak bagian tengah untuk ia rapikan. Melihat itu, Aletha turun dari atas meja mengikuti Agam sembari menggembungkan permen karet miliknya hingga menimbulkan suara letusan yang membuat Agam mengernyit tidak suka. "Agam?" panggilnya dari balik punggung cowok itu. "Apa lo ngehindarin gue gara-gara malam itu?" Aletha bersandar pada rak buku saat Agam berhenti di depannya, memperhatikannya yang sibuk menata buku paket ke tempat semula. Mengurutkannya sesuai jenis. Agam terdiam sebentar, tanpa sadar menghentikan kegiatannya menata buku, lalu menghela napas panjang melihat ke arah Aletha. Ia baru sadar cewek itu memakai blazer yang bukan ukurannya, membuatnya tenggelam dengan ukuran yang cukup besar. Membaca name tag yang tertera, ia mengangkat sebelah alisnya, lantas mendengus kecil. Yudin Sagara "Ke mana blazer lo?" tanyanya bersedekap. "Huh? Oh ini?" menunjuk blazer yang ia kenakan. "Nggak bawa, kenapa emang?" Membalik badannya tanpa menjawab pertanyaan Aletha, Agam berjongkok menata buku di bagian bawah sembari membelakangi cewek itu. Tentu hal itu membuat Aletha memandangnya bingung. Ia lalu memindah posisinya untuk ikut berjongkok di depan Agam. "Agam! Ayo anterin gue ke toko buku!" ucapnya lagi. Masih terdiam cukup lama, ia lantas mendengus merasa diabaikan. Aletha menarik napas pelan lalu mengeluarkannya perlahan. "Fine, kalau lo nggak mau gue bakal teror lo terus," meninggalkan Agam yang masih berjongkok tidak peduli. **** Suara ketukan sepatu dengan lantai terdengar mendominasi di lorong koridor kelas, lorong menuju toilet di lantai dua. Aletha berjalan begitu santai sembari memainkan benda pipih berwarna putih miliknya, memasukannya ke dalam saku blazer saat sampai di depan toilet. Mendengar suara seseorang berteriak marah di dalam toilet, Aletha mengerjab merasa tidak asing dengan suara tersebut. Mendorong pintu santai, ia disuguhkan pemandangan membosankan di depan mata. Aletha memilih tak acuh, berjalan melewati mereka yang bergerombol memojokan seseorang di samping pintu masuk toilet, melirik sebentar seseorang di sana. Cewek itu terlihat berantakan dengan seragam basah kuyub. "Gue baru tahu.. ternyata anak kelas dua belas masih punya banyak waktu senggang untuk ngebully adik kelas." Aletha menghadap cermin besar sembari mencuci tangannya di wastafel. Jessy mendengus kasar, merasa s**l bertemu Aletha di sini. Ia benar-benar menunjukan rasa tidak sukanya saat ini. "Dan gue merasa beruntung, dong. Bisa ketemu cewek bitchy kayak lo di tempat kayak gini," sinisnya, bersedekap. Aletha memutar bola matanya jengah lalu tersenyum miring menatap Jessy dari kaca besar di depannya. "Maksud lo toilet?" Terdengar tawa meremehkan dari kedua teman Jessy dan senyum sinis dari cewek itu untuk Aletha. Menunduk membersihkan tangannya, Aletha kembali tersenyum miring. "Gue lebih suka disebut bitchy highclass. Dan yah.. udah sewajarnya lo merasa beruntung ketemu gue... ah mungkin lo mau jadi bawahan gue?" Aletha bisa melihat kilat kemarahan dari mata Jessy. Bagaiaman cewek itu langsung pergi sembari menghentakkan kakinya penuh rasa kesal. Aletha hanya menghendikan bahu tak acuh, lalu menatap ke arah Sandra dari atas ke bawah. "Apa lo selemah itu?" memutar tubuhnya, Aletha mengambil tissue di samping Sandra. "Buka sedikit deh mata lo, dunia juga punya lo kali." Sandra tidak tahu apa yang Aletha maksud, saat tersadar Aletha sudah tidak berada di depannya lagi. Cewek itu meninggalkannya begitu saja. Sandra bahkan belum sempat mengucap kata terima kasih untuknya. **** Agam berjalan bersama Fadhil saat Aletha berdiri di samping mobilnya sembari bersedekap menunggunya dengan tersenyum menantang. Cewek itu semakin tersenyum senang melihat ekspresi Agam yang mengumpat tanpa suara dari kejauhan, berjalan menghampirinya dengan sikap tak acuh. Sampai di depan Aletha, Agam mendengus lalu melepas blazer miliknya. Melemparnya di atas kepala Aletha hingga menutupi keseluruhan wajah cewek itu. "Apaan?" "Lepas blazer lo." Aletha mengernyit, Agam berdecak atas respon yang Aletha berikan. Tidak ingin mengulangi ucapannya dua kali. "Buruan gue anterin lo nyari buku." Bukannya tidak mendengar apa yang Agam ucapkan, ia masih menyerap ucapan cowok itu. Tersadar akan apa yang terjadi, Aletha langsung melepas blazer yang ia kenakan, menutupi rasa senangnya saat ini. Kemudian mengedarkan pandangannya ke sekeliling, ia menangkap Udin yang berjalan menuju sepeda motornya. "Udin!" Yang dipanggil sontak menghentikan langkahnya, mencari keberadaan seseorang yang memanggilnya dan mendapati Aletha yang tengah melambaikan blazer miliknya ke udara. Ia membenahi tas slempang miliknya sebelum menghampiri teman sekelasnya itu. "Kenapa, Tha?" tanyanya bingung, memandang Aletha dan Agam secara bergantian. "Nih, gue balikin blazer lo." menyodorkan blazer di tangannya lalu memberikan tanda 'hus' mengusir cowok itu pergi. "Yah udah, lo mau pulang 'kan? Buruan pergi sana!" "Duh. Iya.. iya." ucap Udin berbalik untuk pergi, namun langkahnya terhenti saat tangannya dicekal dan memaksanya untuk kembali menghadap ke belakang. Ia memasang wajah penuh tanda tanya. Agam melepas cekalannya lalu memandang Aletha datar. "Mana sopan santun lo?" Mendengar itu Aletha berdecak, ia berdehem sekilas. Ingin sekali ia mengumpat saat ini juga, jika bukan karena Agam akan mengantarnya, Aletha tentu sudah melangkah pergi tanpa berucap apapun. "Thanks." ucapnya setelah membatin kesal. Atas apa yang ia dengar, Udin tentu terkejut. Selama mengenal cewek itu, seseorang tidak pernah membuatnya bersikap penurut. Bahkan seorang guru sekali pun. Dan Yudin Sagara baru saja melihatnya secara langsung. "What the.." "Shut up! Ngapain, sih lo? Sana pergi!" usir Aletha mendorong punggung Udin menjauh, melihat hal itu Agam hanya menggelengkan kepala, melanjutkan niatnya masuk ke dalam mobil. Membuka pintu mobil kasar, Aletha menghempaskan tubuhnya cukup keras di samping Agam. Ada rasa kesal saat ia melirik cowok itu yang tersenyum menyebalkan. "Udah puas? Jadi, bisa anterin gue sekarang?!" Menghendikan bahu tak acuh, Agam melajukan mobilnya dalam hening. Meski di dalam hati ia ingin tertawa melihat sikap kekanakan cewek itu, namun hal itu ia simpan kembali. Perutnya sudah berteriak memintanya untuk segera diisi. Lagi pula ia perlu menghemat tenaga sampai ke tempat tujuan. Sebelum kembali beradu argumen dengan Aletha nanti. "Kita cari makan dulu."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN