9 | Punggung Kokoh

2160 Kata
Karena gue tahu, diam-diam punya rasa. Sialnya, itu seperti menelan ludah sendiri. Agam Aldric - Aletha tidak tahu kenapa ia bisa seperti ini. Dunianya seakan berputar, Aletha tidak ingat pasti apa yang terjadi sebelumnya, kepalanya masih sedikit pusing. Saat ia terbangun, hal pertama yang tertangkap indra pengelihatannya seseorang dengan punggung kokoh yang tengah menggendongnya dalam keterdiaman. Seingatnya, sebelum ini ia masih berada di g**g sempit dekat toko tak terpakai yang cukup sepi bersama tiga orang laki-laki tak dikenal. Aletha tidak tahu pasti mereka siapa. Sampai mereka membiusnya secara tiba-tiba hingga membuatnya kehilangan kesadaran. Aletha mengerang kecil menatap ke sekeliling. "Hrr.. kenapa gue bisa sama lo?" Agam sedikit tersentak menyadari seseorang di belakang punggungnya mulai tersadar. Sepanjang perjalanan tadi beberapa hal mengusik pikirannya hingga membuatnya melamun. Membenahi kacamatanya, Agam mendengus. "Gue sedang mencoba berbaik hati memungut anak kucing yang tertidur di g**g," ucapnya sembari berjalan memasuki kompleks. Ia mendongak menatap langit malam sebelum menoleh ke samping. "Apa tempat itu lebih nyaman daripada kamar lo?" sambungnya terdengar menyindir. Aletha terdiam sebentar sebelum berucap. Ia masih berusaha mengumpulkan kesadarannya saat ini. "Sepertinya, tapi gue rasa nggak lebih baik dari ini." "Bagus. Masalahnya di sini gue nggak tahu anak kucing itu bakal seberat ini," ucap Agam begitu tenang sampai sesuatu membuatnya menggeram kesal oleh rasa sakit. "Aletha! Jangan gigit telinga gue!" sentaknya menahan rasa nyeri. Aletha malah tersenyum, ia kembali mengeratkan rangkulannya pada leher Agam. Cewek itu terlihat menyamankan posisinya saat ini. "Gam?" panggil Aletha lirih. Agam melirik malas seseorang di belakang punggungnya, lalu kembali melihat jalan. Ia menggumam sekilas menjawab panggilan Aletha. Sedikit lama Aletha terdiam, ragu. Masih enggan berucap, sampai ia berdehem pelan untuk menetralkan suaranya sendiri. "Thanks," ucapnya tiba-tiba sembari menenggelamkan wajahnya di bahu kokoh milik Agam. Menyembunyikan rasa malu atas ucapannya. Aletha merasa begitu aneh mengucap kata itu saat ini. Sepanjang sejarah hidupnya, cewek itu tidak pernah benar-benar tulus mengucap dua kata paling penting dalam hidup. Maaf dan terima kasih, ini yang pertama untuknya. Agam hanya menghela napas, lantas kembali menggumam dengan pandangan masih lurus ke depan, ia tidak berniat membahas tentang apapun yang terjadi malam ini. Lama mereka terdiam dalam pikiran masing-masing sampai Agam menghentikan langkahnya tepat di depan rumah besar bercat putih dengan pekarangan luas yang terlihat sepi. Dahinya mengernyit, ia tampak berpikir melihat rumah bergaya Eropa di depan rumah Aletha masih menunjukan aktivitasnya. Mengalihkan perhatiannya Agam menarik napas memandang pintu pagar besi di depannya. Ia mencoba abai akan segala gerak-gerik para lelaki berjas hitam yang terlihat mengawasinya. "Gue harap seseorang di dalam sana masih terbangun," ucapnya sembari membuka pagar rumah Aletha. Ia terlihat bingung. Aletha terlalu tenang untuk sifatnya yang berisik. Agam mencoba menoleh ke samping dan mendapati Aletha kembali tertidur di bahunya. Ia lantas menghela napas pelan, melanjutkan langkahnya menyusuri jalan setapak yang ada di pekarang rumah itu. Melihat sekitar merasa sedikit aneh akan sesuatu, ia segera menggeleng mengusir rasa ingin tahunya lebih jauh. Melangkah semakin dekat dengan pintu masuk rumah Aletha, Agam mengguncang bahunya untuk membangunkan Aletha yang tertidur pulas. "Bangun, Tha. Ini udah di depan rumah lo." ucap Agam pelan. Aletha mengernyit, namun tidak menunjukan tanda-tanda bahwa ia akan melepas kenyamanan yang Agam berikan. Cewek itu seperti melupakan fakta bahwa dirinya tidur di bahu orang asing. Iya. Orang asing dengan perasaan asing yang menyita perhatiannya selama beberapa Minggu ini. "Emm.. lantai dua paling ujung," gumam Aletha masih dengan mata terpejam. Entah sudah keberapa kalinya Agam menghela napas, ia lupa dan tidak berniat menghitung. Memandang pintu besar menjulang tinggi di depannya, Agam mencoba mencari bel rumah Aletha, namun satu hal yang kembali membuatnya heran, pintu itu tidak dikunci. "Ceroboh." bisiknya, pelan. Ia mencoba mengetuk, sebagai dasar sopan santun saat bertamu. Sangat menggelikan jika tiba-tiba seseorang meneriakinya dengan kata 'Maling'. Beberapa ketukan Agam lakukan, merasa tidak ada seseorang yang akan menyambut kedatangannya sebagai seorang tamu, tentu hal ini membuatnya bertanya-tanya. Meninggalkan itu semua, jemarinya bergerak memegang ganggang pintu, membukanya dengan pelan. Ia baru teringat, terakhir kali Aletha mengatakan jika dirinya hanya tinggal berdua dengan Tristan. Sebelum Agam masuk semakin dalam, ia menutup pintu itu rapat. Tidak ada kunci atau sesuatu apapun untuk membuatnya menutup pintu itu lebih aman. Ia hanya menutupnya secara biasa. Berjalan melewati anak tangga paling atas, Agam berhenti sebentar memperhatikan sekeliling untuk mencari pintu yang Aletha maksud. Rumah itu cukup besar dengan gaya minimalis, ada tiga kamar di lantai atas yang membuatnya harus menatap satu persatu pintu itu. Agam bernapas lega saat melihat pintu paling ujung, lantas segera berjalan untuk membukanya. Hal pertama yang ia lihat saat membuka pintu itu, kamar bernuansa hitam putih dengan jendela besar yang terbuat dari kaca menghadap tepat pada kolam renang. Agam berpikir segelap apapun kamar Aletha, ruangan itu akan mendapat pencahayaan yang cukup dari sinar bulan. Mungkin Aletha harus membuka lebar kelambu yang menggantung di atas sana. Membaringkan cewek itu di atas tempat tidur, Agam lalu merenggangkan ototnya yang terasa kram menggendong Aletha sepanjang jalan. Melihat setiap sudut ruangan, mungkin saja ada sofa yang bisa ia tempati untuk beristirahat. Namun hasilnya nihil. Hanya ada dua kursi anyaman bambu yang berbentuk melingkar di sudut ruangan berdekatan dengan jendela, selain itu lemari besar serta meja kecil berisi tempelan kertas dan foto tepat dua langkah dari jaraknya berdiri. Hanya ada dua kursi anyaman bambu yang berbentuk melingkar di sudut ruangan berdekatan dengan jendela, selain itu lemari besar serta meja kecil berisi tempelan kertas dan foto tepat dua langkah dari jaraknya berdiri. Agam meletakkan kacamata bulatnya di atas meja, lalu berjalan mengitari tempat tidur. Ia duduk di samping Aletha yang sudah berbaring menyamankan posisinya. "Sampai kapan lo mau pura-pura tidur?" ucap Agam sembari menyandar pada kepala ranjang. Aletha berdecak. "Oke. Gue ketahuan lebih cepat," ucapnya membuka mata lalu ikut duduk, ia melepas sepatu serta baju rajutan yang ia pakai, menyisakan tank top hitam dengan celana jeans balel. Agam mengangkat sebelah alisnya, Aletha malah terlihat memutar bola matanya lalu berjalan menuruni tempat tidur. "Lo nggak laper? Gue ada beberapa telur, mungkin lo mau omelet? Atau telur rebus?" tanya Aletha. Ada nada geli pada kalimat terakhir yang ia ucapkan. "Nggak. Gue mau tidur," jawab Agam lalu membaringkan tubuhnya begitu saja. "Dasar nggak tahu malu." gumam Aletha, lirih. Ia mengambil kotak p3k lalu membawanya ke kamar mandi. Aletha tahu jika sudut bibirnya sedikit sobek, dan pipinya memiliki lebam. "Asshole. Muka gue jadi penyok gini!" bisiknya di depan kaca kamar mandi. Sepuluh menit Aletha baru keluar dari kamar mandi, ia mendapati Agam sudah tertidur nyaman di atas tempat tidurnya. Ia lantas mengambil baju dari dalam lemari, lalu melepas tank top hitam miliknya, asal. Mengabaikan Agam yang berada satu ruangan dengannya saat ini, ia segera mengenakan baju miliknya lalu berjalan keluar kamar untuk mengambil segelas air minum. Setelahnya ia meletakkan air itu di atas meja, berbaring di samping Agam mengikuti cowok itu yang sudah tertidur pulas. **** Agam hampir saja lupa jika hari ini ia harus pergi ke sekolah. Mungkin terlalu lelah sepulang bekerja ia masih harus menggendong Aletha semalam. Tangan kirinya mencoba menggapai sesuatu di atas meja, Agam mencoba mematikan alarm dari telepon genggamnya yang secara otimatis berbunyi pukul 5.00 pagi. Ia benar-benar tidak mengira bahwa sekarang sudah lewat tiga puluh menit dari waktu sebenarnya. "s**t!" umpatnya pelan, ia menguab kecil. Menoleh ke kanan mendapati Aletha yang tertidur di sebelahnya, Agam segera mengambil kacamata lalu membereskan dirinya untuk pergi. Sebelumnya, tangannya bergerak untuk membenahi selimut Aletha. Namun, entah kenapa Agam menarik kembali tangannya, mengurungkan niatnya untuk menyelimuti cewek itu. Ia memilih melanjutkan langkahnya untuk segera pergi. Satu hal yang membuatnya sedikit terkejut saat menuruni tiga anak tangga terbawah. Semalam rumah besar itu tidak memiliki penghuni selain Aletha. Hal itu yang sekarang membuatnya berhenti melangkah. Sepuluh sampai lima belas orang pelayan terlihat berlalu lalang di rumah itu, menampakan kehidupan nyata dengan kesibukan masing-masing. Sebenarnya, Agam tidak begitu peduli, akan tetapi sepertinya mereka terlihat lebih terkejut dari Agam saat dirinya menuruni anak tangga terakhir. Mungkin itu hanya sebentar, satu detik kemudian mereka langsung kembali ke aktivitas masing-masing. Agam juga tidak ambil pusing akan hal itu. Mereka hanya menjalankan tugas pelayan sebagaimana mestinya. Ia menarik tas ranselnya, lalu berjalan menuju pintu keluar. **** "Ada apa sama muka lo?" Raka berjalan sembari membawa dua mangkuk soto yang ia beli untuk dirinya dan Agam. Mereka berada di kantin sekolah saat ini. Kantin itu cukup luas, ada sepuluh jenis makanan dengan stand masing-masing, membentuk sebuah warung kecil. Tidak termasuk stand minuman yang berdiri sendiri di bagian tengah. "Tunggu. Gue mencium bau-bau nggak beres dari tubuh lo," ucap Raka lagi, diikuti seringai menyebalkan miliknya. Agam sendiri hanya melirik malas Raka yang duduk di depannya. Tadi pagi ia terlambat datang ke sekolah tepat sepuluh menit setelah pintu gerbang ditutup. Meski Pak Sapri mau membukakan gerbang untuknya, tetap saja dengan terpaksa Agam harus menerima hukuman dari Bu Beti untuk membersihkan toilet siswa di lantai dua. "Kenapa lo bisa telat, baby boy?" ucap Raka dengan nada super menjijikan. "Lo mau gue hajar?" Raka berdehem setelah tertawa geli melihat ekspresi Agam. "Oke.. oke, ada apa? Nggak biasanya lo telat? Ya.. setidaknya sekarang bukan dulu," "Gue kesiangan." "Lalu?" Raka masih terlihat penasaran.                    Agam hanya mengehendikan bahu, ia lebih memilih memakan soto miliknya. "Lo kasih soto gue irisan tomat?" protes Agam, tidak suka. "Aduh. Sorry, gue sengaja," ucap Raka kemudian menepuk dahinya seolah yang dilakukannya atas dasar ketidaksengajaan. Agam sudah berniat untuk memukul kepala Raka, namun terhenti, saat dua temannya datang menghampiri mereka dengan dua mangkuk mie ayam. "Geser lo, t*i!" perintah Yoga di sebelah kiri Raka dengan nada bossy. Raka berdecak, namun bergeming. "g****k! Sebelah kanan gue masih lebar, ngapain lo nyuruh gue geser?!" kesalnya. Yoga mengerutkan kening sembari mengumpat dalam hati. "Gue itu lagi pengen duduk pinggir, biar bisa lihat cewek cakep lewat. Lihat lo mulu tiap hari gue bosen?" ucapnya lalu mengalah duduk di sebelah kanan Raka. "Lo suruh siapa ngelihatin gue? Emang gue lebih sexy dari si Tyas?" Yoga menyela, jari telunjuknya ia goyangkan ke kiri lalu kenan. "No, no, no~ gue udah resmi putus sama dia. So, sekarang gue nyari seseorang yang tepat buat ngisi hati gue yang berlubang." "Wtf." jawab Raka bebarengan dengan Aldi. "Drama lo, Tai." sambung Raka sembari mengernyit jijik. "Yang drama itu si Tyas. Masa mau putus aja bilang gue terlalu ganteng buat dia, gue terlalu baiklah, inilah itu lah. Dasarnya aja dia mau putus ngapain bawa-bawa kelebihan gue yang udah dari lahir ini." terang Yoga menggebu. Aldi mendengus, Raka malah terlihat ingin muntah saat ini. "Palingan Tyas minta putus juga gara-gara lo ngegodain si Lussy anak basket yang pendiam itu. Asal lo tahu saingan lo berat, dude. Si Lou blasteran Cina yang kulitnya putih mulus kayak s**u sapi baru diperas. Nah, lo... gue menyamakan lo sama tokoh hijau dalam komik Marvel." ucap Raka, menunjuk Yoga dari atas ke bawah dengan ujung garpu sembari menggeleng geli. Yoga mencebik. "The hell, temen kurang ajar emang lo. Nggak ngasih solusi malah ngatain!" Raka tertawa keras mendengarnya sampai seseorang datang dan mengibaskan tangannya untuk menyuruh Raka bergeser. Tentu hal itu membuat cowok itu mengerjab, ia lantas menggeser tubuhnya tanpa disuruh dua kali. "Lo ngindarin gue dua hari ini?" tanyanya tiba-tiba pada seseorang yang duduk menunduk di depannya. Menyantap makanannya dalam diam. Sudah dua hari sejak malam itu Aletha tidak bertemu dengan Agam. "Kok, gue jarang ngelihat lo?" sambungnya kemudian. Agam hanya melirik malas Aletha. "Gue penjaga perpus kalau lo lupa," Aletha tersenyum sembari bersedekap. "Gue minta nomor lo," pintanya. Sementara itu ketiga teman Agam memilih diam, pura-pura menikmati makanan masing-masing, meski sebenarnya pendengaran mereka terfokus pada percakapan Aletha dan Agam. "Gue mau ke toko buku sama lo," ucap Aletha lagi. Meminum es teh manis milik Agam yang berada di depannya. "Novel dari perpus gue hilangin," sambungnya. Ada nada kesal saat cewek itu mengucap kalimat terakhir, ia harus mendapat ceramah panjang lebar dari Bu Dania yang kemudian menyuruhnya untuk segera mengganti. Aletha sendiri sebenarnya tidak benar-benar menghilangkan novel itu, hanya saja ia lupa meletakkannya dimana. Baru-baru ini ia tertarik membaca novel, sebelumnya ia begitu enggan untuk sekedar masuk ke dalam perpus bahkan menyentuh salah satu dari barisan buku yang berjejer rapi di sana. Agam menghela napas panjang, sebelum menatap Aletha sepenuhnya. "Gue sibuk, Tha." Aletha berdecak. "Gue bukan bilang sekarang, makanya gue minta nomor lo," "Tha! Buruan, dong! Gue belum nyalin tugas kimia, lo lama banget, sih!" teriak Laras dari pintu kantin, berdiri bersama Tania dengan tidak tenangnya. Setelah memutar bola matanya mendengar teriakan Laras, Aletha lantas berdiri. "It's oke, kalau lo nggak mau ngasih." ucapnya menghendikan bahu ringan. "Lagian masih ada seribu jalan menuju Roma," sambungnya tersenyum miring, lalu pergi menyusul kedua temannya. Agam melihat datar kepergian Aletha saat seseorang di sampingnya menyenggol tangannya menarik atensinya kembali untuk menatap ketiga temannya yang tersenyum menyebalkan. "Holy s**t! Gue baru aja putus saat kalian bersikap mesra di depan umum!" keluh Yoga, mendramatisir. Raka mendengus masa bodoh, lalu terdiam sebentar sebelum berucap. "Gam, bukannya lo mau ke rumah sakit Minggu ini?" tanyanya setengah berbisik. Agam mengangguk. Raka terdiam maklum, entah kenapa ia tiba-tiba menyeringai. Menatap Agam dengan mata berbinar penuh harap, membuat Agam tanpa sadar mengernyit tidak suka akan hal itu. "Mau tukeran sedotan nggak?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN