8 | Sedikit Peduli

2090 Kata
Gue butuh alasan tepat kenapa rasa peduli itu hadir Agam Aldric - Agam mengusap wajahnya pelan. Ia berjalan menuju sumber suara yang mengusik tidurnya sejak tadi. Sedikit mengernyit heran saat melihat sekitar, rumahnya sudah terlihat begitu rapi. Buku dan leptop yang ia pakai tadi malam sudah berpindah ke lemari besar di samping televisi, yang seingat Agam belum ia bereskan. Ia hanya menata asal barang-barang itu di atas meja. Menghela napas berat, melihat seseorang yang membuat suara gaduh di dapurnya, tanpa sadar Agam memijat pelipisnya. "Siapa yang ngijinin lo make dapur gue?" Mengabaikan keadaannya yang masih berantakan khas bangun tidur. Dengan langkah lebar, Agam menghampiri cewek yang selama beberapa Minggu ini mengganggunya. Cewek itu  terlihat sibuk memasak di dapurnya tanpa kata permisi terlebih dahulu. "Perut gue, lah." Ia berucap sembari membelakangi Agam. Aletha terlihat begitu santai meski Agam menekan ucapannya tadi. "Lo tahu ini jam berapa?" sambungnya, sedikit menyindir. Agam kembali menghela napas, lalu melihat ke belakang tepat di atas pintu masuk dapur ada sebuah jam dinding besar menggantung di atas sana. Sial! Pukul 12.00 siang! Melangkah semakin dekat menuju Aletha, Ia memandang tidak suka cewek itu sekarang. Agam mengusap wajahnya kasar. Mengetahui Aletha hanya mengenakan kaos abu- abu bertuliskan Adadis miliknya yang panjangnya hanya sampai setengah paha cewek itu, memperlihatkan kaki jenjangnya yang terekspos secara terang-terangan di depan Agam. Jelas ia tidak habis pikir dibuatnya. Bagaimana bisa Aletha sesantai itu?  "The hell! Apa-apaan tampilan lo?!" sentak Agam menekan emosinya. Aletha memutar bola matanya, lantas membuka lemari pendingin di samping Agam untuk mengambil sesuatu. Mengabaikan tatapan penuh intimidasi yang terarah padanya saat ini. "Kenapa kulkas gue udah penuh sama sayuran? Darimana lo dapet ini? Gue nggak tahu lo bisa selancang ini?!" tanya Agam beruntun sembari berjalan mengikuti Aletha menuju pantry kecil miliknya. Entah sejak kapan ia menjadi secerewet ini jika berhadapan dengan Aletha.  "Jangan bilang lo beli semua ini dengan tampilan nggak wajar gitu?!" Bukannya menjawab Aletha hanya berdecak, lantas mengecup bibir Agam sekilas mengabaikan serentetan pertanyaan cowok itu padanya. Menatap Agam dari atas sampai bawah dengan tatapan geli. "Lo cerewet banget sih," ucapnya setelah mengecup bibir Agam dan kembali mengaduk masakannya. Agam mendengus kesal. Harusnya ia tahu, jika Aletha selalu memiliki banyak cara untuk membuatnya kehilangan kesabaran. Bagaiamana bisa cewek itu keluar dengan tampilan seperti itu, apa tidak terbesit sedikit pun dalam pikirannya tentang rasa malu? "Tenang aja, gue pakek celana basket yang ada di lemari lo tadi." ucap Aletha mencoba meredam amarah Agam. Ia tersenyum kecil di tengah kegiatannya memasak, merasa Agam sedikit peduli padanya. "Celana lo kebesaran jadi gue lepas, deh. By the way, sorry, gue ngebuka lemari lo tanpa ijin," "Gue nggak peduli!" Lantas mematikan kompor, menarik Aletha keluar dari dapurnya. Aletha mengernyit tidak suka, Agam membawanya menuju kamar dan berhenti tepat di depan pintu berbahan kayu jati yang ia tahu itu adalah kamar Agam. Kamar tempatnya menginap tadi malam. "Ganti baju lo, gue antar pulang, sekarang." Akan lebih baik jika Aletha keluar dari rumahnya sekarang juga. Agam tidak ingin semakin pusing menghadapi tingkah Aletha selanjutnya. Ia masih memiliki urusan lain.  "Apa kayak gini sikap seorang Tuan rumah yang baik? Lihat perut gue udah teriak-teriak minta diisi. Masa lo gitu aja nyuruh gue pulang? Apa lo nggak kasian sama gue?" rayunya penuh drama. Memberi rasa kasihan pada Aletha adalah kesalahan besar bagi Agam. Ia sudah pernah melakukannya tadi malam dan sekarang hasilnya dapurnya di obrak- abrik tanpa seijinnya. Agam tidak suka itu. Aletha seperti ingin melewati batasannya. Agam mendengus. "Kasian? Sama lo? Nggak!" Aletha memandang Agam kesal. Melihat mata cowok itu yang terbalut kacamata bulat tebal dalam diam. Ia tiba-tiba saja mengalungkan kedua tangannya pada leher Agam, menarik cowok itu mendekat. Tentu Agam bersikap waspada akan hal itu. "Mau apa lo?" Aletha memajukan wajahnya, berbisik lirih di telinga cowok itu, yang membuat Agam geram dan segera mendorong pelan bahu Aletha. Ia tampak tidak suka dengan apa yang Aletha bisikan. Aletha menghendikan bahu acuh, akan ekspresi Agam. Ia lantas tersenyum miring mendengar bunyi bel rumah Agam ditekan beberapa kali dengan tidak sabarnya. Tentu saja hal itu Aletha pergunakan untuk menghindar dari Agam, ia langsung berjalan menuju dapur. Dan saat itu juga Agam mengumpat kesal akan siapa saja yang menjadi tamunya saat ini. Ia berdecak, berjalan membuka pintu. Mengabaikan Aletha yang tertawa penuh kemenangan di belakang sana. "Lama banget lo bukanya! Oh ya ampun! Kenapa lo belom mandi? s****n banget, lo nyet! Gue udah ganteng gini, lo malah masih bau iler gitu?!" Raka mendumel sembari melenggang masuk setelah melepas sepatunya, asal. Agam mengekor di belakangnya dengan malas. Ia bersiap menutup telingannya saat ini. "WHAT THE HELL!!" Tentu Ia tahu untuk siapa rasa keterkejutan itu Raka berikan. Membuang rasa kesalnya sekarang Agam lebih memilih mandi, menyegarkan pikirannya dari dua orang menyusahkan yang berada di dapurnya. Raka akan seratus kali lebih menyebalkan dari Aletha jika cowok itu sedang penasaran. Agam akan mendapat pertanyaan-pertanyaan tidak jelas darinya nanti. Raka tersenyum canggung duduk di meja makan kecil milik Agam, menatap Aletha yang sedang sibuk menelepon sembari membelakanginya. Memandang baju yang Aletha kenakan, Raka benar-benar menahan rasa penasarannya akan sesuatu. Sialnya, Agam sedang melarikan diri ke kamar mandi, Raka ingin sekali mengumpati temannya yang satu itu. "Si Begundal s****n!" bisiknya menahan diri. Tiba-tiba ia merasa tidak enak melihat Aletha berjalan tergesa-gesa membawa tasnya menuju pintu setelah mematikan telepon. "Lah, mau kemana, Tha? Nggak jadi makan bareng, nih?" tanya Raka menghentikan langkah Aletha. Namun respon yang Aletha berikan hanya menoleh sekilas, lantas melanjutkan langkahnya tanpa mengucap sepatah kata pun pada Raka. "s****n! Pasangan kurang ajar kalian! Gue dikacangin!" gerutunya menendang sofa milik Agam. Agam baru saja keluar dari kamar saat Raka bertingkah konyol. Ia memandang datar temannya itu. "Kenapa lo? Mulai gila?" ucapnya sembari berjalan menuju dapur sementara Raka mengekor di belakangnya dengan muka masam. "Di mana?" "Apanya?" tanya Raka bingung, tangannya sibuk menuang nasi ke dalam piring. Agam berdecak. "Aletha," "Udah pulang." Agam mengangkat alisnya melihat Raka menatapnya dengan bersedekap, seolah menunggu sesuatu. "Apa?" "Gue nggak tahu kalau hubungan kalian bisa dikatakan sepanas ini," ucap Raka sembari menggosok dagunya. Agam tentu bingung akan ucapan Raka, namun melihat seringai dari cowok itu. Ia baru menyadari bahwa Raka berpikir ia melakukan having s*x bersama Aletha. Tanpa aba-aba lagi Agam langsung memiting leher Raka. "Makin hari otak lo makin kosong!" geram Agam. "Jangan salahin otak kosong gue. Duh. Aletha pakek celana sama baju lo, otomatis gue mikir lo begituan sama dia," teriak Raka membela diri. Mencoba keluar dari pitingan Agam. Sampai suara bel kembali berbunyi dan menghentikan pertikaian mereka. Raka langsung berlari membuka pintu. Ia bernapas lega karena bisa keluar dari pitingan Agam yang luar biasa kuat. "Dasar mantan preman," ucapnya pelan, sembari mengusap lehernya. Selang beberapa menit Raka kembali masuk sembari menenteng sebuah kotak. "Lo dapet paket," Raka lalu duduk di samping Agam. Ia berdehem sekilas karena merasa sesuatu yang ia bawa akan merusak suasana hati Agam. "Dari bokap lo," sambungnya pelan. "Buang aja," jawab Agam dingin. Melanjutkan memakan masakan Aletha dalam hening. Bersikap acuh akan sesuatu yang Raka bawa. Ia tidak ingin peduli dengan apapun yang menyangkut nama Adipati Pradana. Ia sudah membuang nama itu jauh-jauh. **** Melamun adalah hal paling wajar yang dilakukan oleh seorang manusia. Entah dalam keadaan seperti apapun itu, baik memiliki masalah dengan segala hal yang dapat mengusik pikiran secara menyeluruh atau tidak. Dan di sini, Agam sedang berada dalam keadaan seperti itu. Tidak ada yang tahu apa sebenarnya yang menyita sebagian pikirannya saat ini. Sampai sebuah pintu berderit dan ucapan seorang pengunjung menyadarkannya kembali, menarik perhatiannya untuk segera menyelesaikan tugasnya sebagai seorang kasir. Kini Agam sedang berada di sebuah cafe, ia bekerja paruh waktu setiap hari sabtu dan minggu pukul lima sore hingga tengah malam, beruntung sekali orangtua Raka mau menerimannya yang hanya seorang pelajar SMA dengan status belum lulus. Agam bukan anak yang terlahir dari lingkungan kurang berkecukupan, ia tahu betul harta Papanya lebih dari cukup. Agama tahu, bahwasannya ia tidak harus terus bergantung pada Papanya, ia ingin mandiri. Meski kata mandiri sebagai kedok semata dari rasa benci yang belum hilang. Laksana batu karang meski air terus menempanya hingga berlubang, tetap hal itu butuh sebuah penantian hingga benar-benar terjadi. Dan sampai detik ini, Agam masih perlu alasan yang tepat kenapa ia harus memaafkan Adipati. Papanya. Agam tersenyum tipis. Dengan balutan kacamata bulat, ia menatap pengunjung yang menyodorkan uang seratus ribu. "Kembalinya dua puluh ribu. Terima kasih silakan datang kembali." "Gue pikir tadi salah orang, ternyata bener. Yah, siapa lagi sih yang pakek kacamata kuda selain lo?" Agam mendengus, melirik sang pemilik suara tanpa berniat menjawab, memilih fokus pada pelanggan yang mengantri di depannya. Aletha tersenyum miring, menghendikan bahu, lalu berjalan menuju salah satu meja di sudut cafe. Sadar, jika Agam masih sibuk untuk sekedar meladeninya bicara. Melirik sebentar kepergian Aletha, Agam lantas kembali melayani pelanggan. **** Sudah tiga puluh menit dari waktu janjian, Aletha masih duduk menikmati secangkir coffie dan sepiring waffle untuk menemani setumpuk pekerjaan yang harus ia selesaikan segera. Pintu kembali berderit, seorang lelaki mengenakan setelan jas armani menghampiri Aletha, lalu menarik kursi di depannya untuk segera duduk. "Sudah lama menunggu?" ucap lelaki itu basa-basi. Aletha melirik tak acuh. "Masih harus gue jawab?" Mendengar nada pedas dari cewek di hadapannya Jason lantas tertawa ringan. "Sorry baby, gue ada rapat sama klien, dan tiba-tiba aja jalanan macet total," Aletha menghela napas bosan, kemudian mengambil gulungan kertas besar yang ia letakkan di depan Jason. Segera membahas apa tujuan pertemuan mereka malam ini. "Kali ini gue minta lima persen dari keuntungan yang perusahaan lo dapet," "Wow. Kenapa berubah pikiran? Katanya lo cuma mau ambil tiga persen seperti biasa." "Proyek lo kali ini cukup besar. Gue minta tambahan, dua persen dari keuntungan yang gue dapet lo kasih ke panti asuhan Pelita di kompleks gue," Jason mengangkat tangannya memanggil pelayan. "Cappucino latte satu." ucapnya, pelayan itu mengangguk paham lalu pergi. "It's ok, Tha. Gue nggak masalah lagian itu udah jadi hak lo." "Siapa kali ini yang tertarik sama design gue?" "Aldrian Aldric, you know.. pengusaha yang baru-baru ini masuk perbincangan hangat." Jason menyesap cappucino latte miliknya yang baru saja datang. "Sesuai kesepakatan, lo nggak bakalan muncul untuk presentasi apapun, gue udah handle itu semua." sambungnya kemudian. Aletha tersenyum miring. Lalu menjabat tangan Jason formal. "Oke, senang bisa bekerjasama dengan Mr. Bastard seperti anda," Tanpa diduga Jason malah tertawa lepas mendengar sebutan Aletha untuknya. "Thank you, my littel fox. Saya harap itu adalah pujian," Dari sisi kiri, di balik konter kasir Raka menatap Agam curiga. "Gam, lo yakin nggak kebakar ngelihat mereka berdua?" Agam tidak peduli, ia tidak mau tahu urusan orang lain, lebih memilih melayani pelanggan yang mengantri di depannya. Ini hari pertamanya bekerja bukan saatnya mengurusi hal semacam itu. Apalagi tentang Aletha. "Maksud lo cemburu?" Raka mengangguk antusias. Agam menggeser mesin kasir, lalu kembali berucap. "Apa bisa hal itu timbul, kalau gue sendiri nggak punya perasaan khusus ke dia. Ingat, gue nggak bilang setuju atas pengakuan sepihaknya." jelas Agam mengingatkan. Raka menarik satu cup coffie, untuk membuat pesanan yang diminta pelanggan. "Gue tahu, sekarang gue yang balik ngingetin lo. Hal itu bisa aja hadir tanpa lo sadari," ucap Raka sembari tersenyum miring. Agam mendengus, seolah ucapan Raka hanya angin lalu. Tidak mungkin rasa itu hadir pada dirinya. Ia tahu betul, Aletha hanya cewek playgirl. Dan Agam tidak mau terjebak oleh pesonanya. **** Agam berjalan menuju rumah dengan santai, Raka sudah pulang terlebih dahulu. Jarak rumah Agam dan cafe cukup dekat hanya butuh waktu lima belas menit untuk sampai ke rumahnya dengan jalan kaki. "Kenapa lo belum pulang?" Membenahi tas ransel miliknya, mendengus lelah menghadapi seseorang di depannya. "Gue males pulang sendiri. Lagian lo pacar gue, apa salahnya?" Agam berjalan meninggalkan Aletha yang berdiri menyandar pada tembok pembatas sebuah toko, ia berniat mengabaikan ucapan cewek itu. Seolah mereka berdua tidak saling mengenal. Menghendikan bahu ringan, Aletha menyusul langkah Agam dalam diam. Ia berjalan beberapa langkah di belakang Agam, sesekali membalas pesan dari Laras yang menanyakan ini itu. Sampai ia tidak sadar bahwa Agam sudah berjalan menjauh di tikungan jalan dan menghilang. "s**t! Gue ditinggalin." Melanjutkan langkahnya menyusul Agam, tiba-tiba Aletha ditarik ke belakang dengan mulut di bekap. Menyeretnya menuju g**g sempit di samping sebuah toko tak terpakai. Bukannya Aletha tidak sadar jika dirinya tengah diikuti, namun sebisa mungkin ia bersikap biasa saja yang tanpa disangka malah membuatnya mendapat masalah seperti ini. "Berengsek! Mau ngapain kalian?" desis Aletha sembari meronta di tengah cekalan dua orang yang berada di sisi kanan kirinya. Semakin muak melihat cowok di depannya menyeringai. Membuatnya dengan sadar meludahi wajah cowok itu. Ia lantas mendapat tamparan cukup keras, hingga merasakan perih di sudut bibir. "Sstt.. kita bakalan ngerasain seneng bareng-bareng. So, let's play baby," ucapnya lalu mengecup pipi Aletha, lancang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN