Bab. 5 Semalam Ngapain

1030 Kata
Dilea PoV. "Ini yang loe lakuin sama gue," bisiknya tepat di telinga kananku. Mataku pun seketika melotot. "Hah??!!" pekikku kaget. Ketika salah satu tangan Rafian menyiram air minum dalam gelas yang diletakkan di atas meja tak jauh dari tempat kami berdiri. Aku pun mundur beberapa langkah. Saking terkejutnya. "Apa-apaan nih?" protesku sambil mengusap kaos di badanku yang sudah basah kuyup karena air tadi. "Itu yang loe lakuin semalam. Mabuk tidak jelas. Nyium bibir gue nggak pakai ijin dulu. Lalu muntah sembarangan sampai-sampai mengotori blazer gue dan baju loe sendiri. Nggak ingat?!! Makanya kalau mabuk itu kira-kira," jelas Rafian dengan nada yang semakin meninggi. Aku tak membalas, hanya mampu menelan ludah dengan susah payah. "Terus ngapain loe ajak gue kesini?" tanyaku sambil mengusap tengkukku sendiri. Merasa tak enak karena sudah menuduhnya macam-macam. "Nggak usah mikir aneh-aneh. Mana mungkin gue ajak loe pulang dengan keadaan seperti itu. Ntar keluarga loe pikir gue yang ajak loe dugem sampai nggak sadar diri kayak gitu. Mana mulut loe mengigau nggak jelas lagi. Turun donk prestise gue," balas Rafian dengan nada angkuhnya. "Eee…. Loe lebih mentingin gengsi loe daripada keselamatan cewek cantik kayak gue? Ish. Ish. Ish. Laki-laki macam apa loe, Hah?" sungutku tak mau kalah. Rafian tak langsung menjawab. Dia malah berjalan tegap ke arahku dengan pandangan menusuk. Kepalaku pun tertunduk, sebab mataku tak kuat melawan sorot matanya yang tajam. "Kenapa loe nggak minta cowok yang ngajak loe dugem buat nganterin loe pulang?" ujarnya tepat di telinga kananku. Dari hembusan nafasnya yang menyentuh telingaku membuat badanku sedikit menggidik geli. "Apaan sich loe deket-deket gue. Ntar suka baru tau rasa loe?" kataku mengalihkan pembicaraan. Jujur, aku malas membahas tentang laki-laki. 'Dan kalau dia tahu aku nggak pernah deket sama laki-laki, pasti dia bakal menertawakanku habis-habisan,' pikirku dalam hati. "Cih. Gue suka sama loe? Ck. Ck. Dalam mimpi gue aja selalu benci sama loe?" "Ooh. Ketahuan ya loe pernah mimpiin gue. Mimpi apa? Kalah tender ya. Hahaha," ejekku. "Diem, ya!!! Gue mau pulang. Beresin badan loe dan ganti pakaian loe sama yang ada di lemari." Rafian berbalik badan hendak berlalu. Namun, sebelum ia sempat melangkah kutarik lengannya dengan sedikit kuat. Hingga ia pun mundur satu langkah "Jangan tinggalin gue di sini. Gue nggak mau bayar bill hotel ini," ujarku dengan penuh penekanan. "Eh loe jadi cewek pelit banget sich. Kurang ya keuntungan dari tender-tender besar yang udah loe rebut dari gue," ucapnya sengit. "Loe kan yang bawa gue kesini. Jadi, loe juga yang harus bertanggung jawab donk. Pokoknya loe nggak boleh pergi. Ayo ikut gue!!" Kutarik Rafian hingga masuk ke dalam kamar mandi dalam ruangan itu. "Eh. Eh. Loe mau ngapain?" teriaknya yang tak kupedulikan.  Blakk!!! Kututup pintu WC itu dengan sekali hentakan kemudian langsung ku kunci dari dalam. "Loe tuh emang gila ya. Loe mau mandi di depan mata gue?" ocehnya yang tak akuhiraukan. "Diem loe!! Nggak usah banyak protes!" bentakku. Kugapai hand towel yang tergantung di samping wastafel. "Merem loe!" perintahku dengan nada galak. "Loe mau ngapain lagi sich?" "Udah diem!" Aku memutar tubuh Rafian hingga membelakangiku. Lalu dari belakangnya kututup matanya dengan handuk tangan tadi. "Eh, ini handuk apa? Kok bau sich?" "Berisik loe. Udah, sekarang loe diem-diem di situ. Kalau loe berani bergerak sedikit pun. Apalagi menoleh, gue siram tubuh loe pakai air panas. Ngerti!!" ancamku setelah mengikat handuk itu di belakang kepalanya. "Loe tuh yang bakal gue siram pakai air panas kalau mandi kelamaan. Biar kulit loe itu melepuh terus nggak ada yang mau liat loe lagi deh. Termasuk klien-klien loe sendiri. Hahaha." Tawa jahat Rafian menggema di seluruh penjuru kamar mandi itu. Namun, tak lagi kuhiraukan. Sebab, aku tengah asyik berendam dalam bathtub dengan baluran busa melimpah. Duh. Kayak iklan sabun aja deh. Haha. "Eh, cewek julid. Loe kok diem sich?" tanya lagi yang tetap kuabaikan. Rafian PoV. "Eh, cewek julid. Loe kok diem sich?" ucapku yang tak di sahutnya. "Woiii. Cewek julid kok loe diem. Loe nggak lagi ngerjain gue kan. Jangan-jangan loe malah ninggalin gue disini lagi?" ulangku sambil meraba handuk yang dia pakai untuk menutupi mataku. "Awas ya kalau loe ngintip!!" bentaknya dari sudut ruangan. Aku pun mengurungkan niatku untuk membuka penutup mata itu. Seketika semerbak bunga Lavender langsung memenuhi kamar mandi. Begitu harum dan menyegarkan. Entah mengapa dadaku menjadi berdegup kencang. Sedang pikiran liarku berkelana kemana-mana. Membayangkan sosok cewek julid itu yang tengah mandi tanpa busana. 'Apa gue ngintip aja ya?' ajak setan yang mulai gentayangan di pikiran. 'Ah. Jangan itu namanya dosa tau,' larang hati nuraniku yang sudah dipengaruhi malaikat. 'Cuma dosa kecil. Kayak nggak pernah punya dosa aja. Lagian kan cuma ngintip nggak ngapa-ngapain,' ucap setan terus memanasi. 'Dosa besar berawal dari dosa kecil lho. Loe harus tetap hati-hati,' sahut hati nurani lagi. 'Alah. Itu gampang. Ntar pulang, ambil wudhu, sholat terus minta maaf deh sama Allah. Allah kan Maha Pengampun,' ujar setan lagi. 'Jangan biarkan setan mengelabui mu sobat.' 'Ngintip sebentar mah nggak papa.' 'Pokoknya. Jangan. Jangan.' "Diem!! Gue nggak mau ngintipin si julid. Ntar malah gue yang kena damprat." Aku berteriak tanpa sadar. Karena frustasi mendengar dua celotehan gaib itu. "Apa?!! Loe mau ngintipin gue?!!" ucap Lea setengah berteriak. Aku pun terlonjak kaget karena terkejut. Dengan kasar dia membuka penutup mataku. Dan benar saja, itu cewek julid sudah berada di belakangku lengkap dengan pakaian yang sudah kupesankan lewat online tadi. Sepersekian detik kemudian mataku tak mampu berkedip. Indra penglihatanku itu terpaku pada sosok wanita cantik bak bidadari yang nyasar ke bumi. Padahal wajahnya tidak mendapat sentuhan make-up sama sekali. Namun tetap saja tak mengurangi daya pikatnya. Lihat saja dia dengan dress casual berwarna hijau tosca yang melekat pas sesuai dengan lekuk tubuh Lea dari lutut hingga bahunya yang sedikit berlengan, rambut panjang lurus yang digerai begitu saja serta high heels maroon yang mempercantik kaki jenjangnya. Sungguh, membuat siapapun yang melihatnya enggan mengalihkan pandangan. Pletak!! Ia pun menjitak ku tanpa ampun. Sampai-sampai membuyarkan lamunanku yang terpesona mengaguminya. "Hehe," balasku hanya nyengir kuda. "Apa yang loe bilang tadi?" tanyanya dengan raut wajah siap menerkam. "Enggak. Nggak papa kok. Loe salah denger kali. Gue…. Gue bilang mau…. Keluar dari sini," ucapku terbata lalu menyusup keluar. Tapi, entah bagaimana dia malah menarik ujung kemejaku bagian belakang. "Eits…. Mau kemana loe?" "Keluarlah. Emang mau ngapain lagi di sini?" "Gue yang harus keluar duluan. Karena loe yang akan bayar bill hotelnya. Ayo cepat! Gue masih banyak urusan," perintahnya lalu berjalan duluan. Rasanya aku ingin mencekiknya dari belakang. Baru saja aku merasa terpesona, kini dia malah kembali dalam wujud aslinya. 'Dasar Mak Lampir,' batinku sambil mengikutinya.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN