Bab. 12 Proyek Membangun Cinta Kita

1032 Kata
Rafian PoV. Chiiitt!!! Aku menghentikan laju mobilku di diparkiran 'Narisawa.' Salah satu restoran Jepang berkelas Internasional di daerah Jakarta. Semua masakan di sini adalah olahan menu masakan khas Jepang yang rasanya ajib bener, karena dibuat oleh koki handal yang didatangkan langsung dari Negeri Sakura itu. Piip…. Pip…. Aku mengunci mobil sportku dengan dengan jarak yang cukup jauh. Lalu bergegas aku masuk ke dalam. Aku pun langsung menuju ruang bernomor 10 dari restoran yang menyediakan lesehan ala jepang itu. "Sudah lama nunggunya?" tanyaku sambil duduk di atas tatami atau tikar berbahan jerami khas Jepang yang berada tepat di depan Dilea. Kulihat Dilea menghentikan gerakan memakan shabu-shabu di depannya. Sesaat dia pun terpaku menatapku. Tapi, aku tak begitu peduli. Sebab, perhatianku tertuju pada kedua kelopak matanya yang sembab, meskipun wajah cantiknya tertutup make-up. Ternyata tak mampu menipu kedua mataku untuk menangkap kesedihannya. "Lumayan," jawabnya singkat. Kemudian kembali menyantap makanannya. Tiba-tiba seorang pelayan yang menggunakan baju kimono khas Jepang datang dengan membawa nampan berisi katalog menu yang tersedia di Restoran ini. Aku pun segera menulis menu Okonomiyaki dan segelas lemon tea pada buku pesanan yang dibawa bersama buku menu tadi. Sang pelayan pun membungkukkan badan sebelum pergi dan setelah mendapatkan buku menunya kembali. Makan di sini memang serasa makan di Negeri Sakura asli. Lihat saja desain tempat dan pelayanannya yang benar-benar totalitas. Serasa berada di Jepang beneran. Padahal, kita masih berada di kota Metropolitan Indonesia. Pandanganku pun beralih pada Dilea, setelah beberapa saat kepala ini manggut-manggut sambil mengagumi tempat makan spesial ini. Sampai sang pelayan kembali datang dengan nampan yang berisi pesananku. Aku dan Dilea belum terlibat obrolan sedikit pun. Hanya ada suara detak jantungku yang terus terpacu hanya karena makan berdua dengan musuh bebuyutan bisnisku itu. "Ehemz…." Akupun berdehem untuk mencairkan suasana yang sudah sangat kaku itu. Apalagi suasana di ruangan ini begitu sepi. Sementara di seberang meja, Dilea yang masih sibuk dengan makanannya hanya melirikku sekilas. "Ada apa loe ajak gue ketemuan disini?" tanyaku di sela-sela kunyahan gigiku pada rajangan cumi pengganti daging babi di Okonomiyakiku.  Dilea belum juga menjawab. Dia malah menyendok daging tuna terakhirnya. Lalu menguyahnya sampai lembut. Baru setelah dia menelan makanan itu dengan gaya elegan. 's**t! Kenapa setiap gerakannya saja terlihat begitu manis,' rutukku pada diri sendiri. Akhirnya, ia pun buka suara setelah mengelap bibir yang sebenarnya jauh dari kata belepotan. 'Sungguh, dia benar-benar wanita berkelas,' pujiku tanpa sadar. "Gue butuh bantuan loe," ucapnya dengan muka datar. "Heh. Bantuan? Tumben seorang Dilea membutuhkan bantuan? Apa wajah loe udah nggak bisa lagi ngebantuin loe?" ujarku sinis. Sumpah, padahal hatiku ingin berkata lain. Dia pun terdiam sejenak. Mungkin tengah menenangkan emosinya agar tidak meledak. Ia raih gelas bening yang juga berisi air putih itu. Diteguknya si air putih hingga tersisa setengah. 'Dia masih pecinta air putih rupanya,' batinku sambil terus mengawasi gerak-geriknya. "Gue butuh tender loe yang kemaren," ucapnya singkat. Namun, mampu membuatku tersedak hebat. "Uhuk. Uhuk." Kugapai gelas Lemon tea ku lalu meminumnya untuk menetralisir pergerakan makanan yang sempat salah jalan itu. "Apa?!!! Loe ngomong apa barusan?" tanyaku dengan penasaran. "Gue butuh tender loe yang kemarin," ulang si ratu abal-abal dengan suara yang lebih lirih. Mungkin nyalinya menciut. Aku pun menelan makanan di mulutku dengan susah payah. Kayaknya dia nggak bercanda deh. "Gue udah sempet ngobrol sama Mr. Roland kemarin. Tapi, loe sama dia udah tanda tangan kontrak," tambahnya sambil menundukkan wajahnya dalam-dalam seperti ada nada penyesalan di kalimatnya. Deg! Hatiku pun berhenti berdetak. Bukan karena terpesona melihat sikapnya. Tapi perasaan iba langsung memenuhi rongga hati ini. "Kenapa loe kayak gini? Biasanya loe selalu merebut tender yang gue mau?" tanyaku dengan congkak. Padahal hati ini berdesir hebat, melihat wajah cantiknya berselaput duka. "Sorry, Yan. Selama ini gue banyak salah sama elo mengenai tender-tender itu. Tapi, gue mohon Yan. Bantuin gue, sekali ini saja," kata bibir tebal itu yang semakin terlihat sexi dengan warnanya yang menyala.  Kuletakkan kedua sendok di tanganku. Entah mengapa selera makanku menguap begitu saja. Perasaanku jadi tidak enak juga padanya. Walaupun sejak awal aku tahu, persaingan kita begitu sehat sebenarnya. Kita sama-sama presentasi, sama-sama mempromosikan kualitas perusahaan masing-masing, sama-sama berusaha mengambil hati klien. Masalah siapa yang akan dipilih klien, itu bukanlah kuasaku ataupun kuasa dia. Kita sama-sama tak bisa menentukan sendiri klien mana yang harus terikat kontrak dengan perusahaan. Aku tahu itu. Meski bibir ini terus saja berkata lain. "Apa yang bisa gue dapatkan, jika proyek besar ini gue kasih ke elo?" balasku pada cewek cantik keras kepala ini. Dia pun mengangkat kepalanya yang sedari tadi menunduk. "Apapun yang elo mau," jawabnya mantap. Namun, sedikit bergetar. Sedang matanya menerawang jauh entah kemana. "Benarkah? semuanya?" tanyaku dengan nada tak percaya. "Ya! Apapun. Makanya cepat katakan apa yang loe inginkan dari gue. Apapun akan gue berikan asal proyek perusahaan loe bisa loe kasih ke perusahaan gue. Apapun itu, termasuk…," Kata-katanya terhenti. Mungkin masih ragu untuk mengatakannya. "Termasuk?"ucapku memancing kalimatnya yang terpotong. "Termasuk keperawanan gue," jawabnya lirih. Seakan tak begitu ikhlas mengatakannya. Deg! Hati ini pun kembali berdesir. Tak kusangka. Seorang Dilea Anastasia harus rela mengorbankan apapun demi mendapatkan sebuah proyek besar. Padahal biasanya dia yang selalu memenangkan tender manapun yang dia mau. Hanya dengan wajahnya yang begitu mempesona. 'Sebenarnya, apa yang terjadi dengannya? Kenapa dia sampai rela melakukan ini. Memohon belas kasih seseorang hanya untuk satu tender. Aku yakin, ini catatan baru di kamus hidupnya,' ucapku dalam hati.  Aku pun berpikir keras. 'Haruskah aku memberikan apa yang dia minta? Tapi ini kan kesempatan terbesarku untuk mendapatkan award untuk perusahaanku. Lagian, jika memang perusahaannya sedang bermasalah, bukankah itu malah bagus. Artinya musuh terbesar perusahaanku akan segera lenyap. Dan perusahaanku bisa menjadi perusahaan konstruksi terbesar dan terbaik di Indonesia,' pikir otak jahatku.  'Tapi bagaimana dengan perusahaannya. Bukan. Maksudku, bagaimana dengannya? Dengan hidupnya yang terbiasa bergaya glamour. Dengan fasilitas-fasilitas yang serba mewah. Bisakah dia bisa hidup tanpa itu semua?' Entah mengapa hatiku menjadi iba dengannya. Aku pun menjadi tambah bingung sendiri. "Kalau loe bisa bikin gue jatuh cinta dalam tiga bulan ini. Maka loe bisa dapetin proyek itu," ucapku lalu beranjak. Kalimat itu pun bagaikan sambaran petir baginya. Lihat saja raut wajahnya yang langsung tercengang begitu. Sedang bagiku sendiri pun terkejut dengan kalimatku yang terlontar begitu saja. Akhirnya kutinggalkan Dilea di meja restoran Jepang itu dengan wajah bingungnya. Mungkin itu akan menjadi tender paling sulit di sepanjang karirnya. 'Heh. Membuat gue jatuh cinta? Justru gue yang akan membuat loe jatuh cinta sama gue,' batinku sambil tersenyum licik.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN