Rafian PoV.
Mentari mulai menyingsing di ufuk timur, tatkala aku tengah melakukan Stretching untuk memulai joggingku pagi ini. Seperti biasa, dengan menggunakan Sport Training Men's Hoodie berpadu dengan celana bermerek sama
Adidas the Pack Clash Sweatpant dan juga sepatu berwarna merah maroon yang bermerek Adidas pula. Aku pun menyusuri jalan di sekeliling kompleks perumahanan yang kutinggali.
Sekali putaran, setengah putaran, bersihkan sel kulit mati dan kotoran. Eh, malah ngiklan. Padahal lagu yang sedang ku dengarkan lewat headphone di kedua telingaku sangatlah keren dan high class abis. Judulnya juga begitu fenomenal yaitu 'Bojo Galak.' Haha. Entah kenapa aku sangat menyukai lagu koplo ini. Bahkan kadang aku sering membayangkan punya istri yang super cerewet dengan segudang kecemburuannya. Dan gilanya lagi, kadang yang beracting jadi istriku itu adalah Dilea. Aku pun sering bingung, kenapa sutradara di otakku memilih ratu abal-abal itu yang melakukan peran paling istimewa di hidupku.
Drrrttt….. Drrttt…. Drrrttt…. Getar ponsel pintarku pun langsung membuyar pikiranku yang tak jelas itu. Seketika aku menghentikan larian kecilku sambil mengusap layar datar yang tengah bersinar-sinar. Sreett!! Kunci pun terbuka. Deg!! Jantungku pun seketika berhenti berdetak. Tatkala membaca nama cewek galak itu di layar gawaiku.
"Dilea? Ngapain si ratu abal-abal nelfon gue?" gumamku lalu menggeser gambar dial.
"Hallo. Rafian," ucapnya dari sebrang sana. Aku pun merasa canggung, mendengarnya mengucap namaku. Sebab, biasanya dia tak pernah menyebut namaku sekalipun.
"Hallo," balasku singkat.
"Gue butuh bantuan loe. Gimana kalau nanti siang kita ketemuan?" ujarnya dengan nada yang terdengar sendu. 'Kenapa, cewek ini. Nggak biasanya dia kayak gitu?' batinku bingung. Entah mengapa selera hinaku pun menurun drastis. Tak seperti pertemuan kita biasanya yang hanya di penuhi aksi saling hina dan ejek. Kali ini aku merasa benar-benar ada yang tidak beres dengannya.
"Dimana? Nggak masalah. Gue juga lagi nggak sibuk hari ini," ucapku tak jujur. Karena, sebenarnya aku memiliki janji bertemu dengan klien baru untuk pembangunan sebuah sekolah swasta. Tapi, kayaknya ini lebih penting. Jadi, aku bisa menjadwal ulang pertemuan kami.
"Nanti, biar gue yang share loc ke elo," ujarnya.
"Oke," balasku singkat. Bingung juga harus ngomong apa.
"See you," ucapnya mengakhiri percakapan.
"See you too," sahutku lirih.
Aku pun segera memasukkan ponsel itu ke dalam kantong jaketku. Dan dengan tergopoh-gopoh akupun mempercepat larian pagi ini.
Lima menit kemudian aku sampai di rumah. Setelah masuk aku segera mencari Bi Onah di seluruh penjuru rumah. Huh. Aku merasa kesal sendiri. Kenapa di saat aku butuh wanita setengah baya itu, dia tak nampak-nampak juga.
"Mi, Bik Onah kemana sich? Tumben nggak kelihatan dari tadi?" tanyaku pada Mami yang tengah menemani sarapan Papi di meja makan.
"Yang tumben tuh, bukannya Bik Onah yang nggak kelihatan. Tapi kamu yang tumben nanyain dia," ledek Papi sambil menutup koran yang baru dibacanya. Mami pun hanya tersenyum sekilas.
"Hehe. Ada perlu si Pi?" ucapku sambil nyengir kuda.
"Pantesan aja nyariin Bik Onah," sindir Mami sambil memberikan nasi goreng keju sosis di atas piring Papi.
"Hehe. Jadi liat nggak nih?"
"Emang di dapur nggak ada? Tadikan dia baru buat nasi goreng di dapur?" ujar Mami lagi balik bertanya.
"Kalau dia ada di dapur aku nggak sampai sini Mi. Ya udah deh aku cari lagi aja." Aku pun membalik badanku lalu berjalan menjauhi kedua orang tuaku yang mulai terlihat kepo dengan urusanku dan Bik Onah.
Aku pun kembali mengelilingi seluruh isi rumah. Dan akhirnya kami berpapasan di pintu belakang rumah. Ternyata dia baru saja memberikan sampah dapur pada petugas kebersihan yang kebetulan tengah lewat depan rumah.
"Saya cariin, Bibik dari tadi tau'?" protesku pada orang yang sudah merawatku dari kecil itu.
"Aden nyariin Bibik mau ngapain? Ada yang bisa Bibik bantu?"
"Sini Bik. Aku bilangin." Aku meminta Bik Onah mendekat. Kemudian aku bisiki dia sesuatu.
"Oke, Den. Siap laksanakan," ucap Bik Onah sambil bergegas berjalan menjauhiku.
Sambil menunggu Bik Onah melaksanakan tugas yang kuperintahkan. Aku pun melangkah menuju kamar. Aku harus mandi sampai bersih dan wangi. Aku nggak boleh merusak hari spesial ini. Kenapa aku bilang spesial? I don't know. Tapi aku harus tampil maksimal hari ini.
Setelah aku keluar dari kamar mandi. Harum semerbak langsung menyambutku. Tak hanya dari badanku yang sudah terasa segar ini, tapi juga dari setelan baju, jas kantor lengkap dengan dasi dan kaos kaki yang tergeletak dengan rapi di atas ranjang kesayanganku.
Senyumku pun mengembang. Perfect. Sorakku dalam hati. Kuraih satu demi satu kain yang sudah jadi itu, lalu kukenakan secepatnya. Di depan cermin kuamati penampilanku yang selalu membuat mata gadis yang melihatnya tak mampu berkedip walau satu kalipun itu. Aku jadi tak sabar bertemu si ratu abal-abal. Mungkinkah dia akan terpesona juga? Kita tidak akan tahu jika kita tidak mencobanya, bukan?
Aku meraih gadgetku yang tergeletak begitu saja di atas meja kecil samping tempat tidur. Ku ketik beberapa kata sebelum ku tempelkan benda pipih itu ke telingaku.
"Hallo," ucapku setelah dia menerima telfonku.
"Ya. Ada apa Yan?" tanyanya terdengar bingung.
"Kita percepat saja pertemuan kita sekarang," kataku dengan nada yang ku buat penuh wibawa.
"Sekarang? Tap…." ucapnya seolah ingin protes. Namun, segera kupotong.
"Nanti siang gue ada janji sama klien. Jadi, kalau loe mau. Kita ketemuan sekarang. Tapi kalau loe nggak mau ya terserah."
"Oke," ucapnya cepat-cepat. "Kita ketemuan sekarang," tambahnya. Aku pun langsung tertawa dengan girang. Bahkan tak terasa aku guling-guling di atas kasur. Untung saja aku segera sadar dan menghentikan aksi gila itu. Kalau tidak, aku bisa merusak penampilanku yang sudah sempurna ini. Bisa gagal deh semua rencanaku. Aku pun langsung berdiri seraya membetulkan penampilanku agar kembali sempurna seperti tadi. Ku lirik bayanganku yang terpantul di cermin.
"Loe keren," ucapku sambil membetulkan posisi kerah kemejaku yang sudah rapi. Aku pun tak mau membuang-buang waktu lebih banyak lagi. Kulangkahkan kaki keluar kamar, menuruni tangga lalu berjalan keluar rumah. Namun, belum sampai aku berhasil melewati pintu rumahku itu, Mami memanggilku dari arah ruang makan.
"Rafian!!! Rafian!!!" Aku pun menghentikan langkahku lalu menoleh ke arah sumber suara.
"Ada apa Mi?" tanyaku kesal. Udah tahu aku lagi buru-buru.
"Masih jam segini. Kamu kok nggak sarapan dulu, sich. Ntar kamu sakit gimana?"
Fix. Oke, aku tahu Mami perhatian. Tapi aku juga tahu cara menjaga kesehatan. Mana mungkin aku melewatkan makan pagi. Hanya saja sekarang aku tak ingin makan di rumah.
"Mi, aku mau sarapan kok. Tapi nggak di sini. Di luar. Aku ada janji mau sarapan bareng dia," ucapku dengan kesal. Tapi, si Mami malah tersenyum penuh arti.
"Haaa…. Kamu mau makan sama cewek ya," tebaknya.
"Iya, Mi. Makanya Mami jangan nanya terus. Kalau aku telat dia bakal marah sama aku," balasku penuh penekanan.
"Ya sudah sana cepat pergi. Malah ngobrol aja di sini," usir Mami. Huh. Aku pun menelan kekesalanku sendiri. Siapa yang tadi ajak ngobrol, siapa juga yang malah marah. Sabar. Sabar. Ingat! Ridho Tuhan ada di ridho orang tua. Jadi, kalau Mami doain gue bakal marah-marahan sama Dilea. Bisa-bisa kejadian beneran. Ampun deh!!
Tampilkan kutipan teks