Bab. 10 Misi Pengintaian

1038 Kata
Dilea PoV. Setelah memarkirkan mobilku di halaman Masjid yang tadi ditunjuk oleh Sisri. Aku dan Sisri pun segera turun. Saat aku turun dari mobilku tak sengaja ku lihat seorang pedagang kopi keliling tengah berjalan ke arahku. Kuamati wajah ayunya yang terlihat mulai keriput. Cling!!!! Tiba-tiba muncul ide brilianku. Tanpa membuang waktu ku dekati wanita paruh baya itu. Sedang Sisri tengah berteriak-teriak memanggil namaku.  "Le. Lea. Loe mau kemana?" ucap Sisri yang tak kupedulikan. "Siang, Bu," sapaku saat wanita paruh baya itu duduk di teras Masjid sambil mengipasi wajahnya dengan topi koboi yang tadi di pakainya. "Siang, Neng," balas Si Ibu sambil tersenyum manis dan mengehentikan aktivitasnya tadi. Ia pun menegakkan badan dan memperbaiki posisi duduknya. "Ibu, jualan apa?" tanyaku dengan lembut. "Oh, ini. Macam-macam, Neng. Ada kopi, rokok, snack ringan. Minuman dalam kemasan juga ada, Neng. Silahkan mau beli yang mana?" tawar Si Ibu sambil memperlihatkan dagangannya satu per satu. "Kalau saya beli semuanya gimana, Bu?" ucapku yang langsung membuat mata si Ibu membulat tak percaya. "Yang bener, Neng?" tanyanya dengan mata yang berbinar-binar. "Iya, Bu. Sebut aja harganya berapa?" jawabku mantap. "Aduh, berapa ya saya jadi bingung," sahutnya sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Lima juta cukup?" tanyaku yang kembali membuat mata si ibu hendak meloncat keluar. "Hah??!! Lim…. Lima juta, Neng?" tanyanya dengan wajah yang tak percaya. Aku tak menjawab pertanyaannya. Hanya anggukan kepalaku sebagai penggantinya. "Ini acara yang di tipi-tipi itu ya Neng?" ucap si Ibu sambil menengok kiri dan kanan. Mungkin dia sedang mencari kamera tersembunyi yang terpasang di tempat-tempat yang tak terduga. "Bukan. Bukan kok Bu. Kita orang biasa bukan artis. Hanya saja saya butuh gerobak Ibu beserta semua isinya." "Gerobak saya? Untuk apa?" tanyanya semakin bingung. Mungkin saking tak percayanya. "Pokoknya saya butuh. Saya sewa aja deh. Ibu sini saja nanti saya balikin semua. Ini uangnya," ucapku sambil memberikan lima puluh lembar uang pecahan seratus ribuan. Aku pun langsung mengambil alih gerobak itu tanpa menunggu perintah dari pemiliknya. Sebab, Si Ibu tengah tercengang dengan puluhan kertas merah yang sangat berharga itu. Aku mendorong gerobak itu mendekati Sisri yang masih mematung di samping mobil. Keningnya berkerut sempurna, seakan menuntut pertanyaan,"Buat apaan tuh gerobak." Aku pun hanya membalasnya dengan senyum manisku. "Gimana penampilan gue? Udah pantes jadi tukang kopi keliling?" tanyaku yang langsung membuat Sisri tertawa lebar. "Hahaha. Loe bercanda? Udah sini gue lebih pantes?" ujar Sisri sambil meraih gerobak itu dari tanganku. "Maksud gue gitu sich? Hehe," kataku sambil terkekeh. "Sudah gue duga." "Oke. Penyamaran maksimal. Sekarang loe tinggal melancarkan rencana B," ucapku pada Sisrinya sudah ku briefing tadi. "Sip, deh. Ini kan maksud loe?" Sisri mengeluarkan ponsel pintar lalu membuka aplikasi perekam suara. Sisri pun meletakkan gadgetnya itu di saku roknya yang berada di depan. "Are you ready?" tanyaku. "I'm ready," balas Sisri mantap. Senyumku pun mengiringi langkah Sisri menjauh. Seperti rencana awal kami tadi. Ia akan menyamar mendekati proyek lalu mencari informasi serta mengalihkan perhatian para pekerja proyek. Sedang aku akan menyelinap masuk ke dalam kantornya lalu mengambil berkas yang aku butuhkan. Dari jarak yang cukup jauh, aku dapat melihat Sisri berusaha masuk ke dalam area konstruksi. Setelah berapa kali terlihat ada perdebatan yang tak cukup berarti, akhirnya ia pun dapat masuk ke dalam area yang ditutup dengan seng aluminium di sekelilingnya. Beberapa menit pun berlalu, saat kulihat jam. Waktunya memang sangat tepat. Pas ketika mereka sedang istirahat makan siang dan sholat dzuhur. Dengan langkah mengendap kudekati pintu gerbang yang juga dibuat dari seng itu. Kuintip keadaan di dalam yang ternyata tengah sibuk mengerubungi Sisri dan gerobaknya. Sayangnya Sisri mangkal di depan kantor mandor. Jadi orang-orang pun berkeliaran di sana. "Ck. Sri. Sri. Harusnya loe maju beberapa meter lagi," gumamku yang ingin kusampaikan pada Sisri. Dan seakan dia mendengar apa yang kugumamkan. Sisri pun mendorong gerobak itu beberapa meter lagi. "Good job, Sri," sorakku lirih pada anak Asisten Rumah Tangga Omah itu.   Ketika melihat keadaan yang kurasa aman. Aku pun masuk ke dalam area pembangunan itu dengan langkah yang sangat hati-hati. Deg. Deg. Deg. Jantungku pun berdegup kencang seiring langkahku kian dekat dengan kantor non permanen itu.  Sepersekian detik berikutnya, aku berhasil menerobos masuk ke dalam ruangan tertutup yang hanya berdinding kayu itu. Aku membuka lembar demi lembar berkas yang tersedia di sana. Ku keluarkan Smartphone ku lalu ku abadikan dalam bentuk foto. Tak hanya memotret beberapa berkas di atas meja. Aku pun membuka laci yang berada di bawah meja kerja itu. Entah karena lupa atau memang sudah biasa ditinggalkan, kunci laci itu menggantung di tempatnya. Krek. Krek. Langsung saja kuputar kunci itu. Lalu kubuka perlahan. Ternyata di dalamnya tidak ada apa-apa kecuali sebuah tas pinggang berwarna hitam. Awalnya aku hanya berpikir itu adalah uang perusahaan yang dipegang mandor untuk keperluan pembangunan. Namun, karena aku tak mau sampai rumah hanya mampu mengira-ira saja. Akhirnya kuberanikan diri untuk membukanya. Sreeettt…. Kubuka resleting yang menguncinya. Tatkala kulihat isi tas itu, mataku membulat seketika.  "Apa ini adalah kumpulan nota asli?" gumamku tidak percaya. Ternyata, selama ini. Pak Mandor memanipulasi pengeluaran pembangunan. Karena mendengar orang-orang bergegas mendekati tempat itu. Aku segera menutup kembali laci itu. Lalu keluar ruangan itu dengan terburu-buru. Untung saja jarak antara kantor dan pintu keluar tak begitu jauh. Jadi, aku bisa pergi sebelum ada orang lain menyadari keberadaanku. @@@@@@ "Hiks…. Hiks…. Hiks….," tangisku di pangkuan Omah. Setelah semua berkas berhasil kukumpulkan dan kurekap semua. Aku pun dapat mengetahui jika permainan tikus proyek itu sudah berjalan bertahun-tahun. Hanya saja, baru kali ini sang mandor makan gaji para pekerja. Aku tak kuasa menahan air mataku yang sudah menumpuk di pelupuk mata. Harapanku pun terasa hancur seketika. Aku malu, aku takut. Perusahaan yang Omah dan Opah dirikan dari nol, akan gulung tikar di tangan cucunya dalam jangka waktu 4 tahun. "Sudahlah, Lea. Itu kan musibah. Tidak ada seorang pun yang menginginkan musibah ada di hidupnya," ucap Omah sambil mengelus-elus rambutku yang panjang. "Ma… maafkan…. Hiks…. Aku Omah. Aku…. Hiks. Tidak bisa…. Menjalankan...amanah Opah dengan benar…. Hiks. Hiks," tangisku pun tak kunjung mereda. "Sudah, Lea. Sudah. Ini bukan salahmu. Seorang pebisnis tidak boleh ngedown gitu aja hanya karena masalah seperti ini. Jika kelak kamu akan menjadi pebisnis besar. Kamu akan dihadapkan dengan masalah yang lebih sulit lagi," ujar Omah memberi wejangan. Tapi, aku belum merespon. Aku masih enggan mengangkat kepalaku yang tersandar di pangkuan Omah. Hanya dialah tempatku kembali dan mencurahkan semua isi hati. Gelap terangnya dunia ini, mampu kulalui sebab ada Omah yang selalu mendampingi. Sempat aku pun berpikir kenapa dulu Ibu lebih memilih meninggalkan Omah untuk hidup bersama laki-laki b******k kayak Ayah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN