Bab. 9 Biar Lebih Sopan

1004 Kata
Rafian PoV.  Hahaha. Aku bersorak dalam hati saat rencanaku menyingkirkan si ratu abal-abal itu berhasil. Tak mungkin aku biarkan dia menguping pembicaraanku dengan Mr. Roland. Sebab, inilah saatnya untuk aku menunjukkan kemampuanku yang sebenarnya. Dan membuat skakmat untuk kuda betina itu. Jika aku berhasil menggarap proyek ini, maka bukan tidak mungkin akan menarik minat para klien lain untuk berbondong-bondong mengikat kerja sama dengan perusahaanku. Memang proyek kali ini tak direncanakan membuat gedung pencakar langit atau gedung berfasilitas tinggi. Namun, aku yakin hotel semacam ini akan jadi hits di tahun-tahun ke depan. Jadi, bayangkan saja jika semua pulau-pulau kecil di Indonesia akan dikelola untuk hotel semacam ini, bisa puluhan klien mengantri di buku agenda proyekku. Haha. Aku menumpuk semua berkas yang aku perlukan untuk presentasi dan melanjutkan pembicaraan yang lebih serius dengan Mr. Roland. Ini memang pekerjaan asisten pribadiku, Githa. Tapi, aku hanya mengeceknya saja. Aku tidak mau ada satu kekurangan pun, pada presentasi kali ini. Memang tak seperti biasanya, aku dan Mr. Roland hanya membicarakan proyek sambil ngopi di cafe atau memesan red wine di club malam langganan kami. Lalu kita mencapai kesepakatan untuk bekerja sama setiap kali dia membangun hotel berbintang di Indonesia.  Tapi kali ini, aku ingin berbicara dengan sopan selayaknya seorang klien yang tengah mengharap kerja sama dengannya. Bukannya apa-apa. Mau bagaimana pun dia kan seorang pebisnis. Biasa bertemu dengan jutaan pebisnis lainnya yang tak kalah sopan dan berbakat dariku. Jadi, aku ingin menunjukkan pesonaku saat kita mengadakan pertemuan formal seperti ini. Dengan begitu, dia pasti tak akan meragukan kemampuanku lagi. Aku meraih jas hitam yang kusampirkan di kursi kantorku. Kupakai segera pakaian yang semakin menunjang penampilanku itu. Tanpa menggunakan cermin, ku rapikan pakaianku agar terlihat sempurna. Dan setelah semuanya kuanggap sudah seperti uang kuinginkan, akupun segera keluar dari ruang kerjaku ini. Cekrek!! Saat melihat sosokku keluar ruangan, asisten pribadiku yang ku tempatkan tepat di depan ruanganku langsung beranjak dari duduknya. "Kita berangkat sekarang," ucapku pada Githa. Sambil meletakkan berkas tadi di meja kerjanya. "Baik, Pak," jawabnya sambil menunduk sopan. Aku berjalan duluan lalu dia segera menyusul. Kulambatkan langkahku hingga ia bisa menjajariku. Ketika kita hampir memasuki lobi, kuraih ponsel pintarku di saku. Mengusapnya beberapa kali lalu…. "Hallo, siapkan mobil saya sekarang," ucapku pada salah security di pos depan. "Baik, Pak Rafian," balasnya dari seberang sana. Dan benar saja tatkala kaki ini mendekati pintu keluar, kulihat mobil sportku sudah bertengger dengan manis di depan teras. "Silahkan masuk, Pak," ujar sang security setelah membukakan pintu mobil samping kabin pengemudi untukku. "Terima kasih," balasku sambil duduk di jok pengemudi. Blakkk!!! Aku sedikit membanting pintu mobilku saat hal yang sama juga dilakukan Githa yang duduk di jok sampingku. Segera ku tancap gas menuju tempat yang sudah kujanjikan dengan Mr. Roland. Lima belas menit kemudian aku sampai di sebuah restoran bintang lima. 'Omah Ketan' nama restoran itu yang bisa dibaca dari tulisan besar yang ditempelkan di atas pintu masuk. Seperti namanya, restoran ini menyuguhkan berbagai makanan khas Indonesia berbahan dasar beras ketan. Mulai dari ketan kelapa putih, wajik ketan berbagai warna dan rasa, kue bugis, bola-bola ketan serundeng pedas, klepon, cenil ketan dan masih banyak lagi yang tak bisa disebutkan satu persatu. Kulempar pandanganku ke segala arah di area private room untuk mencari sosok Mr. Roland. Ternyata sang Bule asli Jerman itu belum datang juga. Syukurlah. Aku pun bernapas lega. Sebab, aku bisa mendahului orang paling disiplin itu. Lalu setelah Githa mengkonfirmasi dengan pihak restoran, perihal tempat yang sudah kita booking dari tadi pagi. Mereka pun dengan sigap mengantarkan kami ke salah satu ruangan yang sedikit tertutup, tapi memiliki pemandangan luar biasa.  Aku pun sedikit takjub saat memasuki ruangan berdinding kaca buram yang berukuran 3x3 meter² itu. Di arah samping kiri ruangan itu, terpampang pemandangan taman buatan manusia yang begitu menggoda mata. Lihat saja tatanan berbagai tanaman hias yang kala itu bunganya tengah mekar semua. Diselingi dengan aliran air yang mengguyur tembok yang sudah didesain seperti air terjun sungguhan. Di kaki air terjun itu pun, mengalir sungai yang dihuni berbagai macam spesies ikan air tawar. Sungguh, benar-benar pemandangan yang menggiurkan mata. "Mau pesan apa?" tanya si waitress yang mengantarkan kami tadi. Lamunanku pun langsung pecah seketika. Belum sempat memesan makanan, tiba-tiba Mr. Roland pun datang. "Hallo Rafia. Selamat siang," sapanya dengan bahasa Indonesia yang fasih. Maklum dia sering datang ke sini. "Hai, Mr. Roland. Wah, anda datang tepat waktu. Untung saja saya belum pesen makanan," balasku sambil menjabat tangannya. Kami pun  duduk berhadapan. "Oh, kamu sedang pesan makanan ya. Catet ya Mbak, saya mau. Ketan serundeng sama lemper lalu minumnya coffe latte," ucap Mr. Roland si penggemar jajanan pasar itu. "Aku, mau bubur ketan hitam sama orange juice. Kamu mau pesan apa Githa?" tawarku pada Githa. "Saya sama seperti Pak Rafian saja," ungkapnya dengan lembut. Sang waitress pun mencatat pesanan kami dan sebelum pergi dia dia berkata. "Tunggu sebentar ya, pesanannya akan segera datang." Sepeninggal sang waitress aku dan Mr. Roland pun mengobrol basa-basi sejenak. @@@@@@@ Dilea PoV. Aku mengganti pakaian kantorku dengan rok dan atasan sederhana yang dibawakan Sisri tadi. Setelah aku merasa pakaianku sudah rapi, akupun keluar dari mobil pribadiku. Sisri yang menjaga keadaan di luar selama aku ganti pun terlihat takjub saat melihat sosokku memakai pakaiannya. "Waw. Apapun yang loe pakai, tetap aja loe keliatan cantik," puji Sisri padaku. "Jaga tuh mata. Ntar loe malah suka sama gue," candaku padanya. "Idih. Gue masih doyan apel tau," balasnya. "Kok apel?" tanyaku dengan tampang bloon. Meski masih terlihat cantik. "Ya kata orang, penyuka sesama jenis itu jeruk makan jeruk. Kalau gue ya masih doyan apel," jelasnya yang hanya buat gue melongo. "Oh, iya ya. Gue kok baru ngeh," jawabku asal. Kuperhatikan jalanan sekitar yang tak begitu rame. "Kalau kita parkir di sini kira-kira aman nggak ya?" tambahku pada Sisri. "Kayaknya enggak, deh. Le lihat itu?" ucap Sisri sambil menunjuk ke arah seberang. "Apaan?" "Itu, di atas rumah makan Padang itu. Kayaknya ada Masjid deh di belakang rumah makan itu. Nah, kita parkir di sana aja. Pasti lebih aman," usul Sisri. Aku malah memandang Sisri dengan raut wajah tak begitu percaya. "Loe yakin di sana aman?" "Ck. Seenggaknya di sana ada cctv dan berada di dalam gang. Nggak di pinggir jalan kayak gini. Lagian di sana pasti bakal ada yang sering datang. Kan hampir masuk sholat dzuhur," jelas Sisri. Sedangkan aku hanya manggut-manggut saja.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN