Dilea PoV.
Hah?!!!
Mataku membulat seketika. Menatap perencanaan pembangunan proyek yang sedang dikerjakan, ternyata deadlinenya tinggal menghitung hari. 'Bagaimana proses pembangunan sekarang? Apakah sudah masuk delapan puluh persen?' ucapku dalam hati. Tiba-tiba saja aku kepikiran tentang keuangan perusahaan saat ini.
Kuraih gagang telepon yang diletakkan di atas meja kerjaku itu. Kupencet beberapa tombol sampai terdengar bunyi. Tuuuut. Tuuuu. Tuuuut. Dan tak lama kemudian seseorang pun berkata," Hallo, Bu Lea. Ada yang bisa saya bantu?"
"Tolong suruh Pak Sitohang membawakan berkas mengenai Kas perusahaan ke ruangan saya sekarang," perintahku tanpa basa-basi.
"Siap, Bu. Laksanakan," balas Sekretarisku itu. Tut. Sambungan pun terputus. Ku letakkan kembali gagang telepon itu di tempatnya semula.
Tidak sampai lima menit kemudian. Seseorang mengetuk pintu ruang kerjaku. Tok. Tok. Tok.
"Silahkan masuk!!" ucapku lantang hingga menembus pintu keluar ruangan ini. Cekrek! Pintu pun terbuka dan menunjukkan sosok Pak Sitohang lagi setelah beberapa menit ia berlalu.
"Permisi, Bu Lea. Ini berkas yang Ibu minta," katanya sopan sambil memberikan sebuah dokumen lengkap padaku. Kuraih map plastik berwarna tosca itu.
"Oh, iya. Terima kasih Pak," balasku menerima berkas itu.
"Saya, permisi Bu," pamitnya sambil menunduk sopan.
"Iya, Pak. Silahkan." Aku memang terbiasa mengatakan tolong, silahkan ataupun terima kasih pada semua bawahanku. Karena, kata Omah kita harus menghargai siapapun yang ada di sekitar kita. Termasuk para karyawan apapun tingkatan pekerjaannya. "Sebab, kita tak akan bisa berbuat apa-apa tanpa bantuan mereka," ucap Omah tempo hari. Dan menurutku, kata-katanya benar. Walaupun aku seorang CEO disini tanpa adanya cleaning servis misalnya. Mana mungkin kantorku bisa berjalan di tengah lautan sampah dan debu. Masak aku yang harus ngebersihin semuanya. It's very not good.
Kembali pada lembaran kertas yang kuamati satu per satu. Ternyata dana perusahaan tersisa tidak terlalu besar. Janha sekitar satu setengah milyar. Itu pun kita masih dalam proses penggarapan yang belum sempurna. Artinya ia harus mengeluarkan banyak uang lagi sampai proses finishing proyek yang sedang berjalan.
"Kalau gue kasih bayaran mereka bulan ini. Bisa terjadi kekurangan dana nih, untuk pembangunan selanjutnya. Mana klienku udah bayar tujuh puluh persen di awal kontrak? Belum lagi kalau proses pembangunan ini keluar deadline. Bisa dapat sanksi nih gue? Aduh, gimana ya? Ini semua nggak akan terjadi. Kalau seandainya nggak ada korupsi di perusahaan gue," gumamku dengan frustasi. Prakk!! Kuhentakkan pulpen yang sedari tadi kugenggam dengan kasar ke meja kaca yang menjadi tempatku mengatur perusahaan besar ini.
Kusandarkan punggungku ke kursi kantorku hingga kursiku memutar 180°. Di depanku, terpampang keindahan kota Jakarta beserta hiruk pikuk di dalamnya. Yap!! Benar sekali. Belakang meja kerjaku adalah dinding kaca anti peluru berukuran besar yang langsung menampilkan pemandangan yang luar biasa. Dan beginilah fungsinya. Tiap kali aku stres banyak masalah, otak cenat-cenut, pikiran galau. Kulempar pandanganku keluar dinding transparan itu. Meskipun tak menghilangkan masalahku. Tapi, lumayanlah bisa menjernihkan pikiranku. Hingga akhirnya aku menemukan ide. Untuk menyelesaikannya dari titik terbawah dulu.
Cling!!! Seketika muncul ide di otakku. Kalau kita sedang berada di dunia kartun pasti ada gambar lampu menyala di dekat kepalaku. Entahlah apa maksudnya, yang jelas aku beranjak dari tempat dudukku lalu menyambar tas tanganku sebelum meninggalkan ruangan itu.
Aku keluar dari kantor yang sudah membesarkan namaku itu. Ku keluarkan kunci mobilku saat aku sudah berada tak jauh darinya. Pip. Pip. Bunyi mobil Pajero kesayanganku sambil menyalakan lampunya beberapa kali. Aku membuka pintu lalu memasukinya. Dan sepersekian detik berikutnya aku sudah berada di jalan raya.
Sambil terus menyetir dan memperhatikan jalanan. Aku menggapai gawai berlogo apel tergigit itu dari dalam tas brandedku. Setelah kuketik beberapa kata lalu….
Tuuuuut. Tuuuuutt. Tuuut…
Panggilanku pada Sisri pun belum diangkatnya. 'Mungkin dia lagi sibuk di dapur,' pikirku. Lalu meletakkan ponselku di dasbor pintu di sebelahku. Namun, baru saja benda pipih itu lolos dari sentuhanku, Sisri menelponku.
Drrrttt…. Drrrttt…. Drrtt…. Getar ponselku begitu kuat, dan membuatku mau tak meminggirkan mobilku itu.
"Hallo. Sri loe di rumah nggak?" tanyaku to the point. Sisri adalah anak salah satu asisten rumah tangga Omah yang umurnya sama denganku. Kadang, aku anggap dia temanku sendiri di rumah, teman curhat dan nonton drama korea. Maklum, kami tumbuh bersama sejak dulu. Ibu dan Bapaknya mengabdi sama Omah sejak mereka muda dulu. Lalu mereka cinlok, menikah dan jadi Sisri deh. Begitulah jalan cerita aku dekat dengan anak lugu itu. Padahal, aku sering mengajaknya main keluar rumah dengan dandananku. Tapi, tetap saja ia tak begitu terpengaruh. Mungkin, ibunya juga yang selalu mengingatkan perbedaan status kami.
"Iya, Le. Kenapa?" jawabnya sambil balik nanya. Nah, untuk urusan panggil memanggil. Aku dan dia sudah biasa panggil pakai nama saja. Tanpa dia kasih embel-embel Non, Neng apalagi tuan putri. Emangnya aku Cinderella.
"Gue butuh bantuan loe nih. Loe keluar ya! Sambil bawa setelan baju loe buat ganti gue. Ntar gue bilang Omah. Biar nggak ada yang nyariin loe," kataku setengah memerintah.
"Ya udah. Gue stand by di depan rumah ya," balasnya tanpa banyak tanya. Ini yang paling gue suka dari nih bocah. Dia nggak suka banyak komen dan kalau disuruh ngapai-ngapain langsung gercep. Alias gerak cepat.
"Sip deh. Gue otw ke situ," ujarku lalu mengakhiri sambungan telepon kami.
Kupercepat laju mobilku agar cepat sampai ke rumah. Kasian juga tuh bocah kalau nungguin aku terlalu lama. Lima belas menit kemudian aku melihat sosok Sisri berdiri di depan rumah Omah dengan menenteng kantong kresek hitam di tangannya.
Chiiittt…. Mobilku berhenti tepat di depannya. Kuturunkan kaca jendela mobilku lalu mengajaknya masuk ke dalam.
"Lagi ngapain loe tadi?" tanyaku basa-basi.
"Biasa. Merawat tanaman di halaman depan."
"Berarti nggak ada yang liat loe keluar donk?"
"Nggak ada. Kan semua lagi sibuk di dalem."
"Ya udah. Gue nelfon Omah dulu." Ku pinggirkan mobilku. Lalu kembali menggapai gawaiku.
"Halo, Omah," ucapku saat teleponku sudah terhubung dengan Omah.
"Halo Le. Ada apa nelpon Omah jam segini?"
"Ada masalah kecil di kantor Omah. Aku ajak Sisri sebentar ya," ucapku tanpa basa-basi.
"Iya, nggak papa. Ada masalah apa? Nanti kamu ceritain semua sama Omah. Biar kita cari solusinya bareng-bareng," ucapnya dengan tenang. Beliau memang the best untuk semua keadaan di hidupku. Dari dulu sampai sekarang, dialah orang yang selalu ada dan mengerti aku.
"Iya, Omah. Nanti aku pasti ceritain kalau udah sampai rumah. Doain aja ya Omah semoga aku bisa menemukan titik terang dari masalah ini." Setitik air bening pun tiba-tiba mengalir begitu saja dari kedua kelopak mataku. Jujur, aku takut hal buruk terjadi pada perusahaan yang kupimpin tiga setengah tahun ini.
"Kamu yang tenang ya. Semua masalah pasti ada jalan keluarnya. Jangan takut bertindak, Omah selalu mendukung kamu," ucap Omah yang membuatku kembali bersemangat. Aku mengelap air mataku perlahan.
"Iya, Omah. Makasih ya Omah untuk dukungannya."
"Iya, kamu hati-hati ya."
"Iya. Love you Omah."
"Love you too, honey." Tut.