Bab. 7 Masalah Besar

1000 Kata
Dilea PoV. "Si Rafian memang benar-benar sialan. Niat banget dia menjauhkan gue sama orang bule yang mau ngadain proyek besar itu. Awas aja dia. Kalau sampai gue ketemu orang itu lagi. Gue rayu dia biar mau kerjasama dengan perusahaan gue. Haha," gumamku lalu tertawa jahat. Aku yang tengah menyetir menuju kantor pun langsung membelokkan mobil mewahku memasuki salah satu gedung pencakar langit di kota metropolitan ini. Yap!! Tebakan kalian benar. Inilah kantor kebanggaanku. Mega perusahaan milik kakek yang sebentar lagi akan berpindah ke tanganku. Bukan karena aku matre dan hanya memikirkan perutku sendiri. Tapi, karena aku memang sudah di setting dari kecil agar bisa menjalankan perusahaan besar ini. Jadi, memilikinya adalah impian terbesarku. Tentu saja tak hanya memilikinya, juga membesarkan namanya agar bisa Go International. Bersaing dengan perusahaan besar di dunia. Tiba-tiba angan-anganku menguap begitu saja. Saat kulihat di depan kantor ada beberapa security tengah sibuk berdebat dengan sejumlah orang. "Ini dia. Bos perusahaan ini datang," ucap seseorang dengan lantang. Seketika orang-orang itu langsung mengerumuni mobilku. Untung para security itu bekerja dengan cekatan mengamankan mobilku hingga ke garasi. "Ada apa ini?" tanyaku bingung. "Mereka adalah pekerja proyek Bu. Mereka kesini untuk meminta tanggung jawab perusahaan mengenai bayaran mereka. Bahkan mereka mengancam akan membawa semua pekerja proyek untuk mengepung perusahaan ini besok Bu. Jika kita tidak memenuhi apa yang mereka minta," jelas salah satu security yang berhasil mengamankanku. Kami berjalan ke arah pintu darurat. Sebab, aku tak mungkin melewati pintu utama. Kecuali ingin menjadi bulan-bulanan mereka. Dan aku punya cara yang lebih elegan untuk menangani mereka. "Kenapa ini bisa terjadi? Bukankah pembayaran para pekerja proyek selalu rapi di laporan pengeluaran dana perusahaan," gumamku sambil terus berjalan. "Ya, sudah. Panggil perwakilan mereka untuk menghadap saya. Jangan sampai membuat mereka marah dan membuat mereka memanggil yang lain. Bisa hancur reputasi perusahaan ini jika media tau permasalahan ini," ucapku yang langsung ditindaklanjuti oleh securityku itu. Aku bergegas menuju ruang kerjaku. Sampai di ruangan paling besar dengan fasilitas paling mewah di gedung ini, ku sentak handbag buatan Paris yang dilapisi kulit buaya asli Afrika itu ke kursi kantorku. Kuraih telepon duduk yang bertengger di meja kerjaku. "Halo, Safira Tolong suruh staff keuangan menghadap pada saya sekarang. Dan jangan lupa bawa laporan keuangan bulan kemarin!" perintahku pada sekretaris perusahaan. "Baik, Bu. Segera menghadap," balasnya yang berada di depan ruang kerjaku. Tok. Tok. Tok. Tiba-tiba seseorang terdengar mengetuk pintu ruang kerjaku. 'Cepet juga dia datang,' batinku. "Silahkan, masuk!" ucapku lantang. Hingga menggema di seluru penjuru ruangan. Cekrek! Security tadi pun masuk bersama seorang laki-laki setengah baya dengan pakaiannya yang lusuh. 'Oh, dia,' pikirku salah menebak. Kukira tadi yang mengetuk pintu adalah staf keuanganku. Ternyata bukan ya. "Maaf, Bu. Dia perwakilan dari para pekerja proyek," ucap security tadi. "Oh, iya. Silahkan duduk, Pak!" ujarku kembali memerintah. "Kalau begitu saya permisi dulu, Bu," pamit si security "Iya. Silahkan," balasku. "Dengan Bapak siapa?" tanyaku pada orang yang tadi terlihat menggebu-gebu sekali saat protes di luar. Namun, saat berhadapan langsung denganku, dia malah melempem. Kayak kerupuk ke hujan. Mungkin karena dia canggung masuk ke dalam ruangan elit dan bertemu langsung dengan bos besar perusahaan ini. Atau dia malah terpesona dengan wajahku yang cantik. Haha. Bukannya kepedean, tapi memang sejak awal masuk dia terus memandangi wajahku yang imut ini. "Sa… saya Maman, Bu," jawabnya terbata. Namun, tidak melepas pandangannya dari wajahku. Mungkin baginya sayang kalau melewatkan wanita secantik diriku. Karena dia tidak mungkin bisa bertemu lagi untuk waktu lain. "Pak Maman sudah berapa lama tidak mendapatkan gaji?" tanyaku mulai serius. "Sekitar enam bulan, Bu," jawabnya yang langsung membuat mataku mau copot. Saking terkejutnya. "Enam bulan?!! Saya kira cuma bulan ini," balasku histeris. "Iya, Bu. Bahkan ada beberapa anak baru yang belum dibayar dari bulan Desember lalu, Bu. Kami hanya diberi uang makan saja setiap hari. Tapi gaji dan uang lemburan hanya menjadi janji, Bu," ungkapnya yang membuatku tak begitu percaya. Karena laporan keuangan selama ini baik-baik saja. "Oke, sebentar! Kita tunggu staff keuangan  dulu," ucapku dengan hati deg-degan. Dalam hati aku berdoa agar ini semua hanyalah mimpi belaka. Aku benar-benar takut, jika memang benar ada yang berlaku curang di belakangku. Bayangkan saja berapa ratus juta uang yang harus ku keluarkan lagi untuk membayar para pekerja proyek. Dari gaji sampai uang lemburan. Tok. Tok. Tok. Seseorang kembali mengetuk pintu ruang kerjaku "Silahkan masuk!!" perintahku lantang. "Maaf, Bu menunggu. Saya mencari berkasnya dulu," ucap Pak Sitohang. Kepala staf keuangan perusahaanku. "Ya, tidak apa-apa. Silahkan duduk." "Ini berkas yang Bu Lea inginkan," ucapnya meninggalkan logat Bataknya. Pak Sitohang memang keturunan Batak. Namun, beliau lahir dan besar di Pulau Jawa tepatnya di Wonogiri, Jawa Tengah. Makanya dia lebih fasih logat Jawa ketimbang logat Bataknya.  Kuraih map orange yang berisi beberapa kertas HVS itu. Lalu kubuka dengan sedikit tergesa. Ku perhatikan dengan cermat setiap tulisan yang tertera di dalamnya. "Lihat!! Bulan ini kita sudah mengeluarkan uang sebanyak dua ratus lima puluh tiga juta empat ratus enam puluh ribu rupiah untuk membayar gaji dan uang lembur para pekerja proyek. Lalu, kemana uang sebanyak ini digunakan?" tanyaku dengan kepala nyut-nyutan. "Saya mendapat daftar pengeluaran proyek dari bagian administrasi proyek, Bu. Ini, Bu masih saya simpan." Pak Sitohang memberikan beberapa lembar kertas coret-coretan dan beberapa struk pembayaran bahan bangunan. "Iya. Di sini pengeluarannya sama dengan laporan. Berarti ada yang berlaku curang di sini. Pak Sitohang tolong usut sampai tuntas masalah ini. Jika sudah ketemu pelakunya hadapkan pada saya. Dan ingat jangan sampai masalah ini bocor kemana-mana!" ucapku. "Iya, Bu. Siap!" balas Pak Sitohang sambil mengangguk mantap. "Dan untuk Bapak. Saya pastikan bulan ini Bapak dan kawan-kawan akan mendapat gaji sesuai yang kami janjikan. Namun, saya berharap anda tidak mempersulit masalah ini." "Iya, Bu. Yang kami inginkan hanyalah uang kami. Jatah kami," sahutnya. "Iya, Pak. Akan kami berikan secepatnya," tandasku uang langsung membuatnya manggut-manggut.  Mereka berdua pun keluar dari ruanganku. Meninggalkanku dengan semua  rasa cenat-cenut di otakku. Sungguh, aku tak percaya ini terjadi. Korupsi. Perusahaanku di korupsi. Dan jumlahnya tidak sedikit. Huuuuuu….. Rasanya aku ingin bunuh diri saja. Kulirik buku agenda proyek yang menjadwal dengan rapi setiap proyek yang ada di perusahaan ini. Dari yang sudah selesai digarap, sedang digarap ataupun masih dalam planning penggarapan. Aku menggapai buku itu lalu membuka lembar demi lembar kertas di dalamnya. Ku cermati proyek pembuatan apartemen yang berada dalam proses pembangunan. Dan… Hah?!!!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN