Bab. 14 Jalan Satu-Satunya

1015 Kata
Dilea PoV. Kurenungkan kembali ucapan Omah barusan. Ku ulang-ulang terus dalam ingatan. Hingga akhirnya otakku pun menemukan sebuah ide cemerlang. Meskipun aku sedikit ragu melakukannya. Tapi mau bagaimana lagi, aku harus berkorban untuk perusahaan yang sejak dulu menghidupi dan membesarkan namaku. Tak mungkin juga aku melupakan jasa Opah yang penuh kasih membimbingku dari kecil itu. Beliaulah penawar kesedihanku di saat hal paling menyakitkan melanda hidupku. Dengan gemetar ku raih ponsel pintar yang tergeletak di meja depan kursi yang ku duduki. Ku geser layar bersinar itu untuk membuka kuncian Smartphoneku. Ku ketik sebuah nama yang sebenarnya tidak ingin aku kenal seumur hidupku, di aplikasi w*****p. Dalam sekejap gambar wajahnya yang sok ganteng itupun muncul di sela-sela lingkaran yang tersedia di aplikasi hijau itu. Bahkan semakin kupandang wajahnya yang menyebalkan terlihat mengejekku. Segera ku pencet gambar rumah yang terlihat menyala di sudut bawah gawaiku. Lalu kuletakkan ponsel itu kembali. Malas juga rasanya berhubungan dengan pangeran halu itu. Lihat saja dandanannya yang sok wah dan gayanya yang sok keganjenan di depan para cewek. Mentang-mentang para cewek siwer itu suka memuji wajah bayinya yang nyebelin, selangit deh gayanya. Huh. Aku menatap ponsel yang tergeletak tak berdaya di atas meja taman itu. Hatiku pun menjadi bimbang. 'Apakah gue harus melanjutkan ide gue, dengan mempertaruhkan harga diri gue, tapi bisa menyelamatkan perusahaan Opah. Atau gue harus melihat semua ini hancur berantakan', batinku sambil mengamati rumah megah yang sudah menaungi hidupku selama bertahun-tahun. "Jika gue cuma mentingin ego dan gengsi gue. Nggak hanya Omah yang akan menderita. Tapi juga Sisri, Nyokab Bokapnya dan juga para ART yang lain," gumamku sambil merangkul kedua lututku hingga menyentuh d**a. Kulirik kembali benda pipih tadi. Ku beranikan diri untuk mengambillnya. Dengan gemetar kupencet gambar telefon di sudut kanan atas. Dan seketika foto cowok tengil itu pun langsung memenuhi layar ponselku. Semenit, dua menit belum juga ada respon darinya. Kemudian di menit berikutnya….. "Hallo. Rafian," ucapku dengan tenggorokkan yang terasa tercekik. Maklum, ini baru pertama kalinya ia menyebut nama cowok tengil itu. "Hallo," balasnya singkat. Gluk!! Aku menelan air liurku dengan susah payah. Jantungku pun tiba-tiba berdegub kencang tak karuan. Ternyata ini lebih sulit dari yang ku bayangkan. "Gue butuh bantuan loe. Gimana kalau nanti siang kita ketemuan," ucapku cepat. Aku pun menggigit bibir bawahku. Takut cowok rese' itu akan segera menyemburku dengan api dari mulutnya. "Dimana? Nggak masalah. Gue juga lagi nggak sibuk hari ini," jawabnya yang langsung membuat plong hatiku. "Nanti, biar gue yang share loc ke elo," sahutku mulai tenang meskipun hatiku masih berdesir kencang. "Oke," jawabnya singkat. "See you," ucapku basa-basi. "See you too," balasnya yang entah dari mana terdengar manis. Sampai-sampai kedua sisi pipiku saja terasa panas. Tut. Hubungan pun terputus.  Ku letakkan kembali gawai kesayanganku itu di tempatnya tadi. Sedang pandanganku masih menerawang jauh entah kemana. Bahkan, aku sampai tak sadar jika Omah datang lalu duduk di depanku. "Liatin apa sich serius amat?" ucapnya mengagetkanku. "Eh, Omah. Udah lama duduk di situ?" tanyaku balik. Dia pun tersenyum. "Enggak kok. Omah baru saja dateng," jawabnya sambil terus tersenyum. Tiba-tiba Sisri datang sambil membawa nampan berisi sepiring bakwan jagung dan dua gelas es teh manis. "Makasih ya Sri," ucap Omah tulus. "Sama-sama Omah," balas Sri sambil menunduk sopan. Setelah itu ia pun segera berlalu.  'Kayaknya Omah sudah meminta Sisri untuk membuatkan itu semua deh,' batinku sambil menyomot bakwan jagung yang masih terasa hangat itu. 'Dia memang paling tahu kesukaanku,' batinku sambil memasukkan makanan itu ke dalam mulut. Saat ku gigit gorengan yang masih hangat itu terasa meleleh di mulut. Karena memang dicampuri dengan keju mozarella. Hemz… It's so yummi. "Bagaimana masalah perusahaannya? Kamu sudah punya solusinya?" "Iya, Omah. Tenang aja. Aku udah dapet solusinya kok. Omah jangan banyak pikiran ya. Aku nggak mau Omah kenapa-napa?" ucapku sambil memegang punggung tangannya. Lagi-lagi Omah pun tersenyum. "Harusnya Omah yang ngomong gitu. Omah lihat. Kamu terlihat stres banget akhir-akhir ini," ucap Omah sambil mengelus punggung tanganku yang memegang tangannya yang lain. "Omah percaya kamu bisa sayang. Makanya Omah selalu mendukung kamu," balas Omah terdengar begitu menenangkan. "Ya udah ya Omah. Aku mau mandi dulu," pamitku lalu beranjak dari tempat duduk yang hampir setengah jam ini ku duduki. @@@@@@@ Aku tengah asyik berkutat dengan berbagai macam peralatan make-up di depanku, agar wajah sembab ku sedikit tertutupi. Saat dengan tiba-tiba ponsel di atas kasurku berdering nyaring. Mau tak mau aku pun menghentikan aktivitas kesukaanku itu. Lalu berjalan mendekati benda pipih yang tengah meronta-ronta minta dibelai itu. Sreet!! Tanpa basa-basi aku langsung menerima telepon dari laki-laki yang akan menjadi penyelamat atau justru akan menjadi penghancur bisnis keluargaku. "Hallo," sapanya dari seberang sana. "Ya. Ada apa Yan?" tanyaku tanpa basa-basi. Takut ia ingin membatalkan pertemuan kita. "Kita percepat saja pertemuan kita sekarang," jawabnya yang langsung berhasil membuat mataku melotot sempurna. "Sekarang? Tap…." protesku yang langsung dipotong olehnya. "Nanti siang gue ada janji sama klien. Jadi, kalau loe mau. Kita ketemuan sekarang. Tapi kalau loe nggak mau ya terserah," ucap cowok itu. Seenak jidatnya sendiri. Akupun mengepalkan tanganku lalu ku layangkan ke arah gadgetku tapi tidak sampai kena. Sayang donk kalau sampai kena ponselku, aku juga yang rugi. 'Untung gue lagi butuh bantuan loe. Kalau enggak. Udah gue pites nih orang,' batinku kesal. Namun, kenyataannya aku tetap berusaha tersenyum walau sebenarnya dia tetap tak melihat. "Oke," sahutku. "Kita ketemuan sekarang," tambahku cepat. Tut. Huh.  "Dasar pangeran halu. Untung gue lagi butuhin loe," gumamku pada layar ponsel yang sudah mati kembali.  Huft. Aku pun menghembuskan nafas beratku. Lalu kupandang pantulan wajahku yang tergambar di dalam cermin. Wajah itu kini tak lagi nampak sendu. Sebab, berbagai alat make-up sudah mengcover tampilannya. Kini aku terlihat sedikit fresh seperti biasa. Kecuali, ada yang sadar dengan mataku yang membengkak walau sudah kututupi dengan kacamata anti radiasiku. "Aku bisa," tekadku mulai dari dalam hati. "Aku pasti bisa melewati ini semua," tambahku sambil meraih handbagku sebelum berjalan keluar kamar. Aku berjalan tegap keluar rumah, dan seketika aku langsung menemukan mobil mewahku yang terlihat kinclong. Karena baru saja di cuci Pak Dirman, Ayah Sisri. Di depan teras rumah. Memang seperti biasa Pak Dirmanlah yang mengurusi mobilku. Mulai dari mencuci setiap pagi-pagi buta sampai menyiapkannya di depan teras. 'Kayak tuan putri? Iya. Hidupku memang serasa tuan putri di sini. Sebab, apalagi kalau bukan karena akulah satu-satunya cucu dari keturunan Omah dan Opah. Jadi, akulah pewaris tunggal kekayaannya dan juga bisa menjadi penyebab tunggal kehancuran perusahaannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN