Ella melambaikan tangannya kepada pria yang baru saja memasuki area restoran itu.
"Van, disini!"
'Van? bukan Vano kan?' gumam Rheina.
Rheina menoleh, bukan Alvano, tapi 'Van' yang lain.
Pria itu lalu menghampiri meja Rheina dan Ella.
"Re, kenalin, ini Revan." Ella memperkenalkan pria yang baru saja ikut duduk bergabung di meja mereka.
"Rheina."
Tak lama, makanan pesanan mereka sudah datang. Petang itu, Ella yang memesan menu makan malam mereka.
Pikiran Rheina masih tak tenang. Dia masih resah karena perilaku suaminya sedikit mencurigakan. Biasanya, saat bertemu dengan klien, Vano selalu mengajaknya bertemu dan memperkenalkan kliennya kepada Rheina.
Di perusahaan tempat Alvano bekerja, pria itu memiliki kedudukan yang cukup tinggi, oleh sebab itu kliennya sering mengajaknya makan bersama dengan mereka dengan membawa pasangan masing-masing.
"Bengong aja, Re," ujar Ella membuyarkan lamunan Ella.
"Ah, maaf, Mbak. Aku sedikit ada pikiran soalnya barusan."
"Cerita aja, aku siap dengerin kok," jawab Ella.
Rheina melirik ke arah Revan, sedikit ragu. Tidak mungkin dia menceritakan permasalahan keluarganya di depan pria asing.
"Nanti saja, Mbak," jawab Rheina singkat sembari lanjut menyuapkan makanan pada dirinya sendiri.
"Oke, nanti malam telpon ya?" ucap Ella yang mendapat anggukan Rheina sebagai balasan.
Mereka melanjutkan makan malam mereka. Banyak hal yang mereka perbincangkan.
Dari perbincangan malam itu, Rheina mengetahui bahwa Revan adalah seorang pengacara. Rheina sempat berpikir pria tampan dengan setelan jas yang pas di badannya itu adalah seorang lawyer.
Sedikit ada rasa kagum pada pria itu. di usia yang tergolong masih muda, dia sudah menjadi pengacara yang sukses.
Banyak kasus yang sukses dimenangkan olehnya. Dia pun banyak disegani oleh pengacara senior karena prestasi dan kredibilitasnya.
***
Sebulan telah berlalu. Rheina masih berhubungan baik dengan Ella, dan juga Revan tentunya.
Pria tampan itu sering menasehatinya perkara bagaimana membahagiakan seorang suami agar pernikahan awet. Mungkin karena dia sering menangani kasus perceraian orang lain, jadi dia paham dan tahu banyak mengenai kehidupan berumah tangga meski dia sendiri belum menikah, belum memiliki pasangan lebih tepatnya.
Sore itu, Rheina sudah bisa pulang,pekerjaan kantornya telah rampung ia kerjakan. Tak ada lagi outstanding ataupun berkas-berkas yang membutuhkan persetujuannya.
Usai mengganti pakaiannya, Rheina yang lima menit lalu sampai di rumahnya itu melakukan aktifitasnya seperti biasa. Dia ke ruang kerjanya yang lebih mirip studio seni. Rheina sering menghabiskan waktu berjam-jam membuat sebuah lukisan untuk menghilangkan beban pikirannya.
Tanpa terasa, waktu telah menunjukkan pukul 7.30 malam. Rheina baru saja menyelesaikan lukisannya yang tentu saja menakjubkan. Itulah mengapa dia selalu sukses meyakinkan kliennya dalam hal desain, karena memang goresan tinta yang dibuat olehnya benar-benar luar biasa.
Rheina keluar dari ruang kerjanya. Dia berjalan menuju dapur untuk melegakan kerongkongannya yang sedari tadi terasa kering.
Samar-samar Rheina melihat seisi rumah kacau. Dia menghidupkan lampu-lampu rumahnya agar tak mengganggu pandangannya.
Rheina mendengar ada suara gaduh di dalam rumahnya. Dia berjalan mendekati sumber suara yang ternyata berasal dari kamarnya.
Terdengar suara aneh dari seorang wanita dan pria di kamar. Suara wanita meracau tak jelas itu semakin terdengar keras.
Rheina membuka pintu dengan perlahan. Debar jantungnya tak terkendali melihat aksi yang diluar ekspektasi.
Rheina sontak membuka pintu kamar itu dengan keras. Dia menutup mulutnya, masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Seorang wanita sedang berada dibawah suaminya yang tengah memompa tubuh bagian bawahnya kepada wanita itu. Wanita yang tak lain adalah sahabatnya sendiri, Novita.
Rheina berteriak histeris dengan netra yang telah basah dengan air mata. Dia berharap dengan teriakannya, kegiatan panas mereka terhenti. Namun teriakan Rheina tak menghentikan kegiatan dua manusia yang sedang bergulat hebat di atas ranjang sana. Justru dua orang pendosa itu dengan sengaja mempertontonkan kegiatan mereka berdua. Mempertontonkan bagaimana mereka saling memuaskan diri mereka satu sama lain kepada Rheina.
Sungguh, hati Rheina hancur berkeping-keping. Rasa cintanya telah menguap, hilang tak bersisa saat itu juga. Dengan sisa kekuatan tubuhnya, dia bangun, beringsut mundur. Rheina keluar dari kamar yang penuh noda itu
Suaminya sengaja membawa wanita lain ke dalam rumah mereka, bahkan ke atas ranjang mereka.
Rheina duduk di sofa ruang tengah. Menetralkan hatinya, menata pikirannya.
Pernikahan ini telah ternoda.
Pernikahan ini telah hancur.
Pernikahan ini tak lagi bisa dilanjutkannya.
Rheina masih berpikir, kesalahan apa yang telah ia perbuat hingga Vano tega mengkhianati cinta nya, berpaling dan menodai ikatan suci pernikahan yang telah bertahun-tahun mereka pertahankan.
***
Vano keluar dari kamar setelah dua jam di kamar itu, bertempur dengan wanita yang bukan istrinya.
Dia hanya mengenakan kaos oblong putih dan celana pendek rumahannya, tampan, tapi tak lagi menggerakkan hati Rheina lagi.
Getaran perasaan yang sebelumnya ia rasakan telah sirna, berganti rasa jijik yang amat sangat di hati dan pikirannya saat melihat pria dihadapannya yang masih berstatus sebagai suami sahnya, Alvano.
"Jangan berisik, dia sedang tidur karena kelelahan," ujar Vano tanpa rasa bersalah.
Hati Rheina tercabik-cabik mendengar perkataan Alvano yang tampak begitu sayang kepada Novita.
"Kenapa harus dia?" Rheina berusaha tegar dengan suara yang sedikit bergetar.
"Karena dia mengandung anakku. Dia yang bisa memberikan aku keturunan, tapi kamu tidak."
"Hanya karena anak? Bukankah kamu sejak dahulu bilang kalau tak masalah jika belum ada anak?" Rheina masih tak percaya. Kata manis yang dulu pria itu ucapkan hanyalah bualan belaka.
"Kamu tinggal pilih, menerima dia sebagai yang kedua atau pergi tanpa membawa apa-apa."
Rheina mengusap air matanya kasar. Dia berjalan menuju kamarnya.
Saat membuka pintu, dia mendapati Novita tengah asyik bermain ponselnya diatas ranjang.
Walau Rheina berjalan ke arahnya, wanita itu tak mengacuhkan keberadaan Rheina.
Samar-samar senyum sinis Rheina lihat dari wajah Novita yang ia anggap sebagai wanita lugu itu. Dia telah salah menilai wanita itu. Ternyata selama ini dia tega mengambil suaminya. Entah sudah berapa lama mereka menjalin hubungan, hingga Vano mengatakan bahwa wanita licik itu mengandung.
Sudah bisa disimpulkan jika hubungan mereka terjalin cukup lama dan sudah berkali-kali, mungkin.
Entah mengapa ada sedikit rasa lega di hati Rheina ditengah hancur perasaannya kepada Vano.
Seperti beban pikiran yang selama ini bersarang menguap bersamaan dengan sakit hatinya.
Rheina mengemasi semua barang-barang miliknya. Beruntung dia memiliki cukup banyak tabungan sehingga tak masalah baginya jika meninggalkan rumah, meninggalkan pria itu dan juga masa lalu mereka.
Rheina bertekad membangun lembaran baru hidupnya, tanpa Alvano, pria yang selama ini ia cintai, yang akan berubah status menjadi mantan suaminya.