Cukup lama Rheina dan Revan menunggu, namun Ella tak kunjung datang.
Tak disangka, mereka malah bertemu dengan tamu tak diundang yang baru saja datang.
"Oh, jadi memang kamu udah punya selingkuhan ya. Pantas saja memilih bercerai dibanding dimadu!"
Suara pria yang sangat dikenal oleh Rheina itu cukup keras. Rheina mengangkat kepalanya, mendongak menatap ke arah pria yang berdiri tepat di sampingnya dengan seorang wanita cantik, namun tak se-cantik wajahnya.
Rheina kembali fokus ke makanannya, menjaga emosinya agar tak meledak saat itu juga.
"Baguslah. J*lang sepertimu memang tak pantas bersanding denganku. Berpura-pura polos tapi sebenarnya busuk," ucap pria itu lagi.
Revan sudah mengepalkan tangannya. Rasanya ingin dia hajar pria yang masih berstatus suami Rheina itu. Namun dia masih tahan karena Rheina melarangnya ikut campur.
"Lebih baik kalian pergi daripada aku kehilangan selera makan ku!" Rheina kini angkat suara.
Rheina mulai tersulut emosi. Wanita yang biasanya tenang dalam menghadapi masalah itu mulai memperlihatkan taringnya.
"Harusnya kalian malu! Kalian lah yang berkhianat!" hardik Rheina
"Dan kamu!" Rheina mengacungkan telunjuknya tepat ke arah Novita. "Wanita busuk seperti kamu, pantasnya mendapatkan ini!"
PLAKK
Tamparan keras mendarat sempurna di wajah Novita. Entah keberanian dari mana, Rheina mengayunkan tamparan pertama dalam hidupnya kepada wanita yang merebut suaminya.
PLAKK
Vano membalas menampar Rheina. "Itulah akibatnya berani menyentuh wanitaku!" ujar Vano.
Tamparan pria itu sangat keras. Cukup membuat Rheina terhuyung ke belakang.
Sebuah senyuman terbit di wajah wanita yang tengah bersembunyi di balik tubuh Vano.
Revan hendak membalas tindakan Vano. Tapi Rheina masih menghalangi tindakan pria itu.
Alvano dan Novita berlalu. Mungkin wanita itu malu karena menjadi tontonan banyak orang di dalam restoran itu. Atau mungkin takut pemilik restoran itu mengusir mereka, mungkin saja.
Aksi tampar-menampar itu cukup menyita perhatian pengunjung restoran yang berada di meja lain.
Setelah kepergian pasangan itu, suasana di dalam restoran kembali tenang.
"Apakah ini cukup untuk gugatan KDRT?" tanya Rheina tiba-tiba.
Revan mengamati wajah cantik Rheina dengan seksama. Tamparan itu ia rasa sangat keras. Pipi mulus wanita itu tampak merah dan dapat Revan lihat ada sedikit darah dari mulut Rheina karena tamparan itu.
"Ayo ke kantor polisi terdekat. Kita buat laporan permintaan visum!"
Rheina dan Revan meninggalkan restoran itu usai membayar tagihan mereka tentunya.
Revan tak menyangka, Rheina berani berbuat sejauh itu. Wanita itu berani menanggung resikonya.
Revan pikir Rheina tak mengizinkannya menghajar Reza karena Rheina masih memiliki perasaan kepada Vano. Tapi ternyata wanita itu sedang membuat bukti.
"Nanti akan tiba saatnya aku mengizinkan kamu menghajar b******n itu," ujar Rheina ketika mereka di dalam mobil menuju kantor polisi.
"Boleh aku meminta satu hal?" tanya Revan.
"Apa?"
"Jangan biarkan mereka menyakitimu lagi."
Rheina tersenyum. Senyuman teduh yang sama dengan senyuman Rheina saat itu.
***
Setelah melalui berbagai proses di kepolisian, Rheina dan Revan mendapatkan Surat pengantar permohonan untuk Visum di rumah sakit terdekat.
Beruntung Revan ikut mendampingi dan kini menjadi pengacara Rheina, sehingga membuat segala prosesnya jauh lebih mudah.
Revan masih sedikit ngilu melihat memar di pipi Rheina.
"Kamu gak kenapa-kenapa kan, Re?" Ella mengabsen bagian tubuh Rheina, memastikan Rheina tak apa.
"Ya ampun, ini.. Kenapa bisa kayak gini?"
"Kamu gimana sih, Revan. Gak jagain Rheina dengan benar." Ella mengomeli Revan.
Revan hanya bisa menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Malam itu Ella sangatlah cerewet. Layaknya seorang ibu-ibu yang mendapati anaknya habis bermain di kubangan lumpur.
"Oh iya, kapan sidangnya diadakan?" tanya Rheina.
"Hari senin depan, Re. Kamu udah siap?" tanya balik Revan.
Rheina mengangguk. Wanita itu sudah yakin dan siap. Dalam hitungan hari, Rheina sudah bisa bangkit. Tak butuh waktu yang lama, emosinya sudah tertata. Meski dalam hatinya mungkin masih rapuh.
Di satu sisi, Rheina ingin kembali karena sudah terlanjur cinta dengan Alvano. Di sisi lain, dia sangat terluka dan benci kepada Alvano.
Pernah terbesit keinginan menikah hanya satu kali dan menua bersama dengan suaminya nanti, tapi kenyataan mengharuskan Rheina mengubur dalam harapannya sewaktu muda itu.
***
Rheina dan Revan sudah kembali ke kediaman masing-masing. begitupun dengan Ella.
Percakapan antara dia dan Revan masih terngiang di pikirannya.
"Re, kalau kamu udah resmi ganti status, bolehkah aku menyukaimu?"
"Bolehkah aku membuatmu bahagia dengan status yang berbeda? lebih dari sekedar teman, mungkin?"
Ah, pria itu menggemaskan. Tak terbayangkan oleh Rheina jika Revan se-menggemaskan itu.
"Apa mungkin dia gak pernah pacaran?" gumam Rheina.
Rheina tak yakin. Ingin rasanya ia mencari tahu semua tentang Revan. Dia penasaran apa pria itu se-polos itu?
"Tunggu. Aku tak boleh terbuai. Aku masih belum resmi bercerai. Dan kalaupun sudah bercerai, aku tak pantas untuk pria luar biasa seperti Revan."
Rheina sibuk dengan pikirannya. Berulang kali ia gigit jarinya,.
"Ah, masa bodoh. Tidur aja!" Rheina frustasi. Dia kemudian berusaha memejamkan matanya hingga benar-benar tertidur.
***
Jam sudah menunjukkan pukul enam pagi. Rheina melakukan aktifitas seperti biasanya, memasak.
"Van, ayo turun! Sarapan dulu!" teriak Rheina.
Tak lama Rheina terdiam. Kebiasaan sulit dirubah. Ia terbiasa menyiapkan sarapan Alvano setiap hari. Namun kini, semuanya tak lagi berarti.
Rheina hendak merapikan satu piring yang belum ia isi nasi. Tiba-tiba bel rumah berbunyi.
"Siapa?"tanya Rheina dari dalam.
Pintu terbuka. Seorang wanita muda cantik memakai jilbab sedang berdiri di depan pintu membawa sebuah kotak.
"Assalamu'alaikum,Mbak."
"Waalaikumsalam. Mbak siapa ya?"
"Ini mbak, saya tetangga baru di rumah sebelah. Mau bagi kue, sekalian silaturahim sama tetangga."
"Oh begitu.. Silakan masuk, Mbak. Duduk dulu. Sekalian saya mau ganti wadahnya dulu."
"Eh, nggak usah mbak. Wadahnya buat Mbak aja."
"Tapi ini taperwer loh, Mbak?" Rheina masih berusaha. Wadah itu merupakan wadah kesayangan bagi emak-emak.
Rheina merasa tak enak jika nantinya malah jadi masalah karena benda "mewah" itu.
"Iya, Mbak. Beneran gapapa. Toh di rumah saya banyak. Saya soalnya membernya kok." Wanita berhijab itu senantiasa tersenyum.
Baiklah Rheina mengalah. Hingga akhirnya tetangga baru itu berpamitan untuk pulang karena hendak mengantar bingkisan lainnya kepada tetangga-tetangga lainnya.
Tak lama, setelah tetangga baru itu pulang, Rheina mendapati sebuah mobil terparkir di depan rumahnya. Rheina cukup familiar dengan mobil hitam itu.
Melihat tak ada pergerakan dari mobil itu, Rheina memilih mendekati kendaraan itu.
Rheina terkejut, seorang pria memejamkan mata dengan posisi duduk di balik kemudi mobil. Sepertinya pria itu tertidur.
Diketuknya kaca mobil itu, cukup keras Rheina mengetuk hingga akhirnya Revan terbangun.
Rheina menyilangkan tangannya saat pria itu menurunkan kaca jendela mobil sembari tersenyum malu.
"Kenapa gak pulang?"