Langit masih gelap ketika Heldrado terbangun oleh pintu kandang yang dijeblak terbuka. Baru saja Heldrado mendapatkan kesadarannya, suara tongkat sang penggembala dipukul-pukul ke dinding, membuat Heldrado tergagap dan sempat mengira ada serangan lain yang menerjangnya. Ia melongok dari loteng.
“Kau sudah bangun,” suara sang penggembala begitu samar di telinganya yang riuh oleh gemerisik jerami di bawah pakaiannya. “Bergeraklah dan sambut mentari— pagi telah datang!”
Heldrado rasanya baru saja terlelap. Ia mengerang tidak suka dan bergeser lebih dalam ke ceruk, meringkuk sebagai upaya menghalau sentakan-sentakan sang penggembala, atau aroma kot0ran sapi dan tanah basah yang memenuhi indera penciumannya. Heldrado menggosok-gosok hidungnya, memaksakan diri untuk kembali tidur. Tetapi kehidupan para penggembala hewan ternak di tanah Vestrad bermula sejak matahari masih merayap dan berakhir ketika langit memerah; Heldrado berkutat memejamkan mata berlatar suara sang penggembala yang menghalau sapi-sapinya keluar kandang.
Heldrado sempat berhasil tertidur, tetapi tidak bertahan lama, semata-mata karena kebaikan sang penggembala telah habis bersamaan dengan malam yang mencapai ujung. Hari baru adalah semangat baru untuknya; sang penggembala tak pernah lebih bersemangat daripada hari ini saat memukul pangkal tongkatnya ke tulang kering Heldrado, menceracau akan sifat pengecut para pemuda zaman sekarang, yang tak lebih berani daripada matahari yang merayap malu-malu di balik gumpalan awan raksasa yang setia memayungi tanah Vestrad.
Heldrado menyeret kaki keluar kandang dengan susah payah. Sang penggembala tidak berlama-lama dalam memberikannya tugas. Jika ingin makan, bekerjalah. Itu adalah peraturan tidak tertulis yang sepantasnya dipahami siapa pun, termasuk Heldrado yang masih kehilangan ingatan. Untuk semangkuk sarapan, ia harus mengumpulkan rerumputan untuk dikeringkan dan menimba air untuk mengisi ulang jatah minum para sapi, dan demi upah segelas bir, ia perlu memerah su5u sapi. Ternyata datang sebagai tamu yang dirampok lebih mudah ketimbang menjadi pria baik-baik saja yang sudah tidur cukup nyenyak pada tumpukan jerami.
Sang penggembala tidak terlihat sesiangan Heldrado bekerja, membuat sang pria berpikir bahwa tetua sialan itu sudah ongkang-ongkang kaki di pondoknya karena tidak setiap hari kedatangan pria tangguh semacamnya, tetapi dugaan Heldrado keliru. Saat pria itu mulai malas-malasan di bawah naungan pohon dedalu, sang penggembala datang dengan hentakan tongkatnya yang khas.
“Wol, wol!”
Heldrado melompat kaget. “Apakah saya mencukur wol sekarang?”
“Bukan.” sang penggembala mengernyit melihat keterkejutan Heldrado. “Kau juga dapat wol. Dan kau belum mendapatkan makananmu.”
Heldrado membenarkan. Matahari telah meninggi tetapi tak satu pun tetes bir mencapai lidahnya yang terkulai di balik katupan bibir. Heldrado mengekori sang penggembala dengan ragu-ragu ke pondoknya, berharap bahwa upah tambahan wol itu bukanlah pancingan untuk mengerjakan tugas tambahan lagi.
Heldrado disuguhi semangkuk sup kentang dan wortel yang hambar, dan potongan-potongan kecil roti gandum hitam. Segelas bir seukuran lengan orang dewasa terhidang di sisinya.
Sang penggembala kembali menghilang setelah itu. Heldrado bertanya-tanya apa kiranya si tua lakukan di hari yang masih cerah ini. Sembari mengunyah potongan kentang ia memerhatikan gerak-gerik sang penggembala yang sesekali berseliweran di depan pondok, dan ketika pintu pondok ditutup, Heldrado menajamkan pendengaran dan mengekori pergerakan bayang-bayang sang tetua sepanjang mengitari pondok. Ia seperti menyeret sesuatu yang berat dan akan sesekali berhenti sembari terengah-engah, tetapi tak sekali pun memanggil Heldrado untuk meminta bantuan.
Apa yang ia lakukan?
Terdengar suara derap asing tak lama setelah itu, disusul erang kuda dan suara roda-roda ringan menggilas rerumputan. Heldrado baru saja menandaskan santapan dan bir. Ia beranjak, mengintip dari jendela pondok dan mendapati sebuah karavan memasuki peternakan itu.
“Selamat datang, selamat datang!” seru sang penggembala dengan riang. Ia meninggalkan boks-boks kayu yang diseretnya seketika dan merentangkan tangan lebar-lebar saat menyambut kedatangan karavan itu. Heldrado membuka pintu dan bersandar pada ambang, memerhatikan seorang pemuda berjubah yang duduk di bangku kusir, menggiring kudanya melambat di dekat pondok sang penggembala.
“Salaam.” sang pemuda berambut cepak melompat turun, menyambut ramah tamah sang penggembala dengan rangkulan bersahabat. Heldrado mengira mereka adalah kawan yang baik, atau jika bukan, maka pemuda berjubah itu akan menjadi suruhan nomor dua keesokan harinya. Heldrado adalah suruhan nomor satu.
Obrolan yang segera meliputi membuktikan dugaan pertama Heldrado. Tampaknya sang pemuda berjubah sering datang kemari pada musim-musim tertentu, dan berdasar yang ditangkap oleh kedua telinga payahnya ini, sang pemuda terakhir kali datang saat Hari Tuai. Itu tahun lalu. Hari Tuai tahun ini belum tiba. Daun-daun belum meranggas dan cuaca belum dingin betul.
Sang penggembala lantas bergeser untuk menunjukkan boks-boks kayunya, dan pada saat itulah ia menyadari keberadaan Heldrado, dan menyuruh sang pria agar tidak bersantai-santai macam pemuda yang tak berani menantang fajar. Sikapnya seolah-olah lupa bahwa ada Heldrado di sana, dan sang pria menduga penggembala ini mulai pikun.
Heldrado menyeret boks-boks kayu itu dengan mudah. Sang penggembala jelas telah tua dan kekuatan fisiknya tidak seperti yang dibayangkannya lagi. Heldrado membawa boks-boks kayu itu ke dekat karavan yang kini pintu-pintu dan jendela-jendelanya dijeblak lebar-lebar.
Heldrado akhirnya sadar siapa pemuda berjubah ini. Ia adalah seorang Guru. Seorang tabib. Seorang … entah apalagi istilahnya.
“Aku tak tahu kalau kau punya anak, Sir,” komentar sang Guru mencoba ramah.
Sang penggembala menyahut dengan keras. “Seandainya jika dia benar anakku, maka terkutuklah ia karena telah membiarkan ayahnya terkatung-katung selama ribuan hari!”
Heldrado menatap sang Guru dengan maklum. “Saya adalah tamu.”
“Oh!”
“Dia keramp0kan,” kata sang penggembala lagi. Ia menghalau sapi-sapinya agar tidak merumput terlalu dekat dengan karavan sang Guru yang berharga. “Oleh orang-orang tak dikenal! Dan dia menyaksikan kawanan prajurit itu— kawanan yang malang, kawanan yang mengundang diri mereka ke lubang neraka sendiri!”
Sang Guru menanggapi ceracauan sang penggembala dalam ketenangan yang tak lazim, seakan-akan ia telah terbiasa mendengar berita tentang pembakaran masal, dan ini membuat Heldrado cukup waswas akan pemuda yang semula tak terlihat berbahaya itu. Tubuhnya tampak kecil di balik balutan jubah yang bertumpuk, potongan rambut cepaknya berkilau di bawah pancaran matahari, dan kulitnya bersih bagai gadis-gadis berpipi merah— ia mungkin tak pernah mencicipi kerasnya hantaman para bujangan di tepi pasar.
“Buka kotak-kotak itu!” perintah sang penggembala.
Heldrado mengangkat tutup-tutup boks dan memperlihatkan tumpukan kerat yang menyimpan berbagai komoditas. Sekarang jelas sudah sang penggembala menjual sebagian hasil ternaknya kepada Guru muda ini.
“Ke mana kau akan membawa ini?” tanya Heldrado penasaran kepada sang Guru. ia mengedikkan dagu ke arah karavannya. “Tampaknya tidak akan cukup masuk ke rumah kecilmu, Tuan.”
Kendati Heldrado jelas-jelas lebih tua daripada Guru muda itu, ia terkesima dengan betapa teduhnya tatapan sang Guru. “Akan ada festival musiman di Kastil Lord Lovell,” jawabnya. “Festival yang cukup besar. Kau lihat perbukitan yang memagari desa ini dengan kastil mungil di ujung pandang itu? Kastil Lord Lovell dikelilingi oleh perbukitan, dan banyak desa terpencil yang bersembunyi di baliknya. Festival ini, kawanku, akan menjadi rumah bertemunya orang-orang dari berbagai desa, yang rela mengerahkan kuda-kuda dan keledai-keledai mereka lebih jauh untuk menghadiri festival tiga tahun sekali itu!”
“Dan kau akan membawa benda-benda ini ke festival itu?” pertanyaan Heldrado bersambut anggukan. Ia menyusuri tepi karavan, melongok ke dalam kereta yang menyimpan lebih banyak kerat-kerat dengan berbagai barang campur aduk yang tak karuan. Heldrado melihat gulungan perkamen, kain-kain mengilap dan berwarna-warni, untaian tambang yang bertabur serbuk kemilau, perkakas tua yang berasap tipis, dan tanaman-tanaman dalam sangkar botol kaca yang meliuk-liuk kepanasan. Botol-botol berleher tinggi di atas lemari menyimpan kerukan pasir dari berbagai pantai— pasir merah muda, pasir seputih salju, pasir sekelam batubara, hingga pasir merah yang menyembunyikan berbagai bongkahan permata yang mengintip malu-malu.
“Kau akan menjual segala yang ada di karavanmu?”
“Benar.”
“Kau mengumpulkan ini semua?”
“Ini adalah titipan orang,” jawab sang Guru.
Heldrado menatapnya dengan bingung. “Begitu pula dengan titipan penggembala tua ini.”
“Benar,” ulang sang Guru.
“Kenapa kau melakukannya?”
“Karena mereka tak lagi bisa melakukannya.”
Heldrado menatap takjub kepada sang Guru. Sementara ia memerah s**u dan mengeruk rumput dengan gerutuan, Guru muda ini dengan sukarela berkeliling jauh, mengunjungi orang-orang yang tak lagi mampu menempuh perjalanan jauh menuju kastil Lord Lovell. Orang sebaik ini takkan meminta upah banyak, pikir Heldrado, dan ia membiarkan sang Guru berpindah ke boks-boks kayu titipan untuk mengecek barang-barang yang dititipkan sang penggembala.
“Kau boleh masuk hanya jika kau membantuku memasukkan kerat-kerat ini,” kata sang Guru, saat Heldrado melongok dengan penuh penasaran ke karavan.
“Tentu, tentu,” kata Heldrado. “Dan mengapa engkau tidak menerima jamuan sang penggembala, sebab engkau pasti lelah oleh perjalanan yang jauh itu.”
“Engkau baik sekali,” kata sang Guru tulus, dan rupanya pemuda itu tidak berminat basa-basi dengan menanti lebih lama di sana. Ia meninggalkan Heldrado seketika menuju pondok sang penggembala. Heldrado menyaksikan punggungnya menjauh dengan jantung berdebar.
Ia merasa telah mendapat kesempatan. Jika Tuhan tak mengizinkannya melakukan itu lagi, tentu sang tuhan takkan membiarkan Guru itu berlalu begitu saja. Bukankah Tuhan melindungi manusia-manusia-Nya yang taat?
Heldrado mula-mula mengerjakan tugasnya dengan baik. Ia mengangkat kerat-kerat berisi gulungan wol dan menumpuknya di sudut yang sudah dikosongkan sang Guru. Ia lalu menumpuk kerat-kerat berisi kulit sapi. Kerat-kerat terakhir yang ditumpuknya paling atas berisi ikatan-ikatan rumput kering, tetapi ini bukan rumput kering biasa. Heldrado mencium aroma manis dan wangi jeruk yang tak lazim, dan bubuk emas yang berkelip di pucuk-pucuk rerumputan itu. Hewan apa kiranya yang memakan rumput kering bertabur emas? Dan bagaimana bisa penggembala tua itu memiliki serbuk emas, yang sejumputnya saja seharga satu tong bir?
Heldrado tak paham dengan desa ini. Tiba-tiba saja, ia merasakan dorongan kuat untuk segera meninggalkan desa terkutuk dan para penduduknya yang aneh. Namun jamuan tadi tidak meracuninya, dan ia dibiarkan tidur di tumpukan jerami baru.
Heldrado selesai menumpuk kerat-kerat titipan sang penggembala dengan cepat. Ia mengintip berulang kali ke pondok dan memastikan sekarang sang penggembala menjamu sang Guru muda dengan bir dan tawa yang tak berkesudahan.
Ini kesempatannya.