Kebenaran Tumpukan Mayat

1708 Kata
Heldrado Freds tidak percaya dengan kepandaiannya berbohong. Ini membuatnya takut. Apakah dia sebelum hilang ingatan adalah sesosok prajurit yang sangat lihai berdusta? Hamba Tuhan macam apa dia ini! Heldrado yang sekarang tak tahu harus berpegang pada apa selain Tuhan dan tas karung Drest yang dicurinya.  Penggembala itu memangkas rambut Heldrado dengan sangat buruk. Ia tidak punya alat pemotong bagus yang tidak beraroma daging. Potongan rambutnya juga terlalu pendek dan serampangan—Heldrado tidak bisa menyamai gaya rambut para pemburu maupun para mayat kemarin. Ini membuatnya terlihat seperti bud4k yang baru saja melarikan diri dari kastil tuannya, terlebih-lebih dengan tas karung berisi batuan berkilau dan bundelan perkamen.  Tak apalah. Penggembala itu juga tidak mau mengambil koinnya. Terlihat jelas dari hidungnya yang berulang kali berupaya menahan napas dari bau tubuh Heldrado, bahwa ia mengasihani pria ini. Meski begitu, Heldrado sempat memaksa. “Ambillah koin-koin ini.” “Tidak, temanku. Kau akan membutuhkannya untuk perjalanan yang panjang.” Heldrado menyimpan kembali koin-koinnya dengan sedikit malu. Kedua kakinya menjepit tas karung itu bagai induk hewan melindungi bayi-bayinya. Sementara sang penggembala berpindah untuk menyingkirkan potongan rambut Heldrado, lantas menjerangkan air. Pada jeda yang hanya diisi oleh siul pelan sang penggembala, Heldrado memandang sekeliling. Pondok yang kecil, pikir Heldrado. Segala perkakas dan perabotan di sini hanya diperuntukkan bagi seorang pria lajang, tetapi Heldrado mengenal sisir panjang dan kotak perhiasan yang sama sekali tak cocok dengan kehidupan penggembala tua itu. Tampaknya dia pernah memiliki istri, yang takkan Heldrado tanyakan nasibnya. “Dari mana engkau berasal, kawan?” tanya sang penggembala sembari menuangkan semur. Aroma jahe dan peterseli hangat memenuhi pondok yang gelap. Hanya ada lilin-lilin yang bergerombol di meja bundar di tengah ruangan dan dekat kompor. “Dan ke mana engkau sebenarnya menuju?” Heldrado sudah memikirkan ini sejak tadi, dan kini dengan mantap menetapkan jawabannya. “Dahulu aku dari Freds,” katanya. “Kemudian aku tidak ingat apa yang terjadi padaku selama bertahun-tahun ini. Tampaknya peramp0kan waktu itu membuatku teramat terpukul, karena aku tak sadarkan diri cukup lama, hingga dibangunkan oleh kegaduhan.” Sang penggembala datang dengan dua mangkuk semur dan potongan roti hitam. Dahinya berlipat-lipat oleh keibaan. “Kegaduhan apa, kawanku?” Heldrado menelan ludah. “Aku tidak tahu pastinya,” katanya, dengan sedikit tercekat. “Tapi aku melihat banyak sekali tentara, kemudian menghilang. Lalu aku tak ingat apa-apa lagi, dan aku berjalan kemari saat melihat asap begitu besar membumbung dari arah desa.” “Kau tak tahu apa yang terjadi,” kata sang penggembala dengan getir. “Keliru sedikit maka kau akan tewas mengenaskan, Putra Freds! Kulihat kau pun datang dari arah hutan di tepi desa— maka kuduga kau sempat mencari tahu. Katakan apa yang kau lihat?” “Tumpukan … aku melihat tumpukan.” Heldrado tak sanggup menyebut mayat. Ia menggeleng gelisah. “Apa itu? Apa yang terjadi, dan apakah itu para prajurit yang kulihat di awal?” kemudian, tanpa memberikan kesempatan sang penggembala untuk menjawab, ia menambahkan dengan ketakutan merayap. “Apakah itu perbuatan penduduk desa?” Sang penggembala mengumpat. “Betapa terkutuknya mereka!” ujarnya lantang, yang kemudian buru-buru mengedarkan pandangan seolah takut ada penguping di waktu yang tak memungkinkan ini. “Itulah mengapa aku takut mendekat ke desa, kawanku. Para prajurit itu memilih desa yang salah. Desa ini sejak awal tidak takut dengan prajurit, bahkan kiriman Lord Lovell sekalipun. Aduh! Lord Lovell saja tidak punya kuasa atas desa yang disembunyikan perbukitan ini. Sihir Lord Grimshaw telah mencapai sejauh desa terpencil di balik perbukitan!” “Lord Lovell adalah pemilik kastil di luar perbukitan,” kata Heldrado dengan alis bertaut. “Namun siapa Lord Grimshaw? Kastil manakah yang ia huni?” Pertanyaan Heldrado membuat sang penggembala nyaris jantungan, atau menangis, karena wajahnya memerah. “Betapa malangnya!” raung sang penggembala. “Peramp0kan itu pasti sudah membuat otakmu menjadi pandir. Tak ada bayi yang tak mengenal Lord Grimshaw. Sang Penguasa menempati kastil kekaisaran di Vestrad!” Heldrado mengalami gejolak di dalam dirinya. Pertama, ia bersyukur tidak jadi menyebut Vestrad sebagai kota asalnya. Ia hanya mengenal tiga daerah; Freds, yang ia putuskan menjadi nama marganya untuk saat ini, kemudian Vestrad, pusat negeri yang dikenal siapapun bahkan orang dengan penyakit lupa ingatan paling parah, dan Ern, yang ia tidak tahu di mana itu dan bagaimana bisa mengingatnya. Heldrado menyantap semur yang mulai mendingin dengan kalut. Selepas itu sang penggembala bercerita tanpa diminta. Tak ada yang tahu dari mana para prajurit itu datang. Mereka tiba untuk mengacak-acak desa, tetapi para penduduk yang telah mewarisi sekelumit sihir Lord Grimshaw mampu menumpuk mereka dalam sekejap dan membakar para pria malang itu. Ini membuat Heldrado ketakutan.  “Inilah mengapa aku tinggal jauh-jauh dari desa,” kata sang penggembala dengan helaan napas besar. “Tapi aku juga tak bisa hidup tanpa pasar mereka! Hanya sesekali aku datang ke sana, begitu pula dengan lusa!” “Engkau akan pergi ke pasar lusa? Di desa?” “Ya, di akhir pekan. Apa kau tertarik? Tapi biar aku wanti-wanti kau, mereka sinis pada pendatang baru, mengawasi orang-orang yang sering datang dan pergi, dan mengacuhkan yang telah familiar di mata mereka.” “Engkau adalah yang terakhir.” “Aku bersyukur dengan itu!” Heldrado tercenung dengan semurnya. Ia tak bisa memutuskan. Apakah baik baginya untuk datang ke pasar itu? Namun pasar adalah pusatnya berita. Pembakaran mayat sudah pasti akan menjadi topik hangat selama berhari-hari, terutama saat banyak pendatang yang akan segera menyerbu pasar desa karena berita itu. Atau, justru tidak sama sekali, karena desa terpencil ini telah mendapat sihir seorang penguasa yang terdengar begitu jahat. Tidak ada penguasa baik yang disebut Grimshaw. “Kalau kau tak tahu apa yang mesti dilakukan, datanglah ke pasar lusa,” kata sang penggembala setelah beberapa saat. “Dan kalau kau tidak punya tempat untuk tidur malam ini, maka kau bisa tidur di sini. Ada ruang kosong untuk setiap pendatang yang tersesat dan kelelahan di dekat pondokku.” “Tentu saja aku mau,” kata Heldrado, tak mampu membayangkan tidur beralas tanah dan beratapkan dedaunan lagi. Tidak, apalagi setelah dia mencuri tas karung Drest. Sial, dia takkan pernah mampu melupakan nama pemilik tas ini. Setelah menyantap semur, sang penggembala membawa Heldrado melintasi tanah berumput basah. Rerumputan tumbuh lebih tinggi di sini, barangkali sapi-sapinya tak digiring mencapai kemari, dan aroma kot0ran sapi cukup samar dibanding tepi jalan tadi. Kendati penerangan hanya berupa gerombolan lilin pada sangkar kuningan di tangan sang penggembala, suasana tidak begitu gelap malam ini. Langit cukup cerah dengan ribuan bintang berserakan pada hamparan ungu tanpa awan. Asap bekas pembakaran tentu sudah padam seutuhnya.  Sang penggembala mengarahkan Heldrado ke salah satu kandang sapinya. Ada ceruk yang memang menjanjikan di sana, dengan tumpukan jerami baru dan kehangatan yang membuat Heldrado akan tidur cukup nyaman dibanding malam lalu. Ia hanya perlu memanjat loteng tempat jemari baru itu bertumpuk.  Setelah sang penggembala menutup kandang sapi dan suara langkah kakinya menghilang, Heldrado membuka tas Drest dan menumpahkan seluruh isinya di atas jerami. Ia memilah barang-barang yang sudah dilihatnya tadi pagi; sepasang pakaian cadangan, kain berisi potongan perkamen, kendi-kendi selebar telapak tangan yang berat dan berisi bebatuan berkilap, belati pendek yang terbungkus sarung kulit bermotif khas Utara, dan dua kantong koin yang beratnya membuat hati Heldrado berbunga-bunga. Ia menyingkirkan barang-barang itu dahulu. Ia perlu mencari tahu apa isi buntalan kain yang lain. Buntalan kain yang lain diikat dengan sangat rapat, membuat Heldrado bertanya-tanya apa kiranya yang lebih berharga daripada kendi-kendi berisi pasir dan batuan mengilap. Satu untaian akhirnya berhasil dilonggarkan, menampakkan botol-botol kaca panjang seukuran jari. Heldrado tak pernah melihat tabung kaca sebagus ini, yang berisi cairan sepekat darah berwarna kehitaman. Ia membuka tutupnya sekadar untuk mengendus aromanya, dan benar-benar seperti darah! Heldrado merinding. Apa yang Drest lakukan dengan tabung-tabung darah hitam ini? Tak ingin memikirkannya lebih jauh, Heldrado kembali membuntal kainnya dengan erat, lalu membuka buntalan kedua. Buntalan ini lebih kecil, tetapi isinya paling berharga. Ada kalung dengan liontin besar yang dikikir dengan begitu apik, berukir simbol yang Heldrado tak paham maksudnya. Mungkin Heldrado di masa lampau tahu, karena ia merasa tidak sepenuhnya asing, kendati otaknya tak mampu memutar kenangan macam apa pun yang berkaitan. Apakah ini sebuah pengetahuan umum yang Heldrado lupakan? Buntalan ketiga membuat Heldrado yakin bahwa Drest bukanlah pemuda ceking biasa yang terjebak kawanan pemburu. Isi buntalan ini, yang lebih berat daripada kedua buntalan yang lain, adalah patahan panah-panah yang dilumuri racun yang telah memadat serupa lapisan lilin. Heldrado bersyukur tidak sempat menyentuhnya dengan ujung jari, dan ia tahu bahwa itu adalah lapisan racun, karena aroma rerumputan yang kuat dan menusuk hidungnya hingga mata Heldrado berair. Ia membungkus kain itu dengan teramat kilat. Heldrado termenung. Ia merasa seperti mengacak-acak kamar seorang putra bangsawan, atau putra seorang terpelajar yang masyhur. Barangkali putra seorang ilmuwan, bahkan. Namun bukan itu intinya. Heldrado telah mengambil tas yang paling berharga di antara tumpukan barang bawaan para pemburu— ia yakin itu— dan Heldrado akan membutuhkan semua barang. Barangkali dia bisa menjual kalung berliontin itu di pasar, tetapi yang jelas bukan pasar desa terkutuk ini. Ia juga tidak tahu akan melakukan apa dengan botol berisi darah, tapi panah berisi racun efektif untuk lawan yang berbahaya.  Sekarang perhatian Heldrado tertuju seutuhnya pada potongan perkamen. Ia mempelajari tulisan yang memenuhi kertas-kertas coklat itu, menerka-nerka apa hubungannya resep ramuan ‘penegak tulang punggung’, resep ramuan ‘pereda haus’, isi curahan hati seorang wanita bernama ‘Willembery’, atau catatan dinas seorang pria bernama ‘Sir Sebastian Croft, diundang dari Utara’. Melihat usia tinta pada perkamen dua terakhir, tampaknya mereka ada hubungan kekerabatan dengan Drest. Mungkin keluarganya, atau barangkali orang tua Drest, yang membuat dugaan bahwa Drest adalah putra orang kaya semakin kuat. Tapi kedua resep ramuan yang aneh itu hanya menambah sumber sakit kepala Heldrado. Belum lagi perkamen-perkamen lain yang dipenuhi tulisan kecil dan ramping, berisi dendang atau kisah-kisah pengantar tidur. Heldrado juga sempat melihat perkamen-perkamen yang lebih besar dan disesaki oleh bahasa asing, cara menghitung kelipatan dan membagi dengan benar, cara membangun tempat berteduh darurat saat terjebak di hutan, dan ilmu pergerakan bintang-bintang.  Heldrado merasa seperti melihat kehidupan Drest dalam satu tas, tetapi ia tak mampu menyusun kepingan teka-teki itu.  Segala misteri ini membuat Heldrado akhirnya mengantuk seutuhnya. Ia memasukkan semua ke dalam tas, mengikatnya erat-erat, bahkan memeluknya bagai seorang ayah yang tak ingin kehilangan anaknya dalam tidur. Heldrado terlelap tak lama setelah itu. Dengkuran lembut memenuhi ceruk loteng di kandang sapi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN