Pencuri yang Bodoh

1536 Kata
Pertama-tama, Heldrado tentu saja mampu bertahan hidup dengan tas Drest yang dicurinya, tetapi Heldrado tidak yakin dengan nilai kalung berliontin dan batuan berkilap di dalam kendi. Ia lebih percaya permata yang mengintip di balik botol berisi pasir merah itu sudah jelas berharga. Selain itu, Heldrado lupa ingatan. Sampai ia mengingat kembali jati dirinya, Heldrado akan memastikan bahwa hidupnya aman, tak peduli apakah dia mampu mengikuti seseorang atau harus bertahan sendiri di kemudian hari. Ia juga tak mungkin menumpang terus pada penggembala pikun itu. Heldrado harus bergerak. Ia harus mencari tahu dari mana para prajurit terbakar itu berasal, dan di sanalah Heldrado akan memulai pencarian jati diri yang sebenarnya. Heldrado bergeser lebih dalam di karavan sang Guru. ia mengambil botol pasir merah, mencelupkan tangannya untuk menggali permata yang berkilau itu. Saat Heldrado menyentuhnya, permata itu mendadak semburat hitam. Heldrado kaget. Ia nyaris memecahkan botol kaca itu dan buru-buru membenamkannya kembali ke pasir, mengocok botol hingga permatanya tertimbun seutuhnya, dan menaruh di tempat semula. Dasar bodoh. Kenapa pula Heldrado menyentuhnya! Heldrado panik. Maka ia menyambar botol-botol kaca kecil yang berisi tanaman-tanaman meliuk. Ia menyembunyikan beberapa botol di sebuah buntalan kain dan buru-buru merosot turun. Setelah memastikan bahwa sang Guru masih berkelakar dengan sang penggembala, ia memasukkan botol-botol curian itu ke tas Drest yang masih muat banyak.  Nyaris saja! Heldrado mengambil napas dalam-dalam berulang kali. Merasa cukup tenang, Heldrado menarik boks-boks kayu yang sudah kosong ke tepi pondok, mengabarkan sang penggembala, dan beralih mengawasi para sapi. Tas Drest tak sekali pun lepas dari pundaknya sejak saat itu. Sang Guru keluar dari pondok sang penggembala ketika matahari telah berpindah sejengkal. Heldrado nyaris terlelap di bawah naungan pohon dedalu dan buaian semilir angin. Di balik kelopak mata yang memberat, Heldrado mengawasi sang Guru memeriksa dalam karavannya sejenak, menutup pintu, dan melepas kekang kuda untuk digiring ke istal yang kosong. Karavan itu dibiarkan di tepi pondok, sementara sang penggembala menyiapkan tempat tidur untuknya. Tempat tidur! Di dalam pondok! Mengapa Heldrado tak mendapatkan kehormatan itu? Apakah karena Heldrado tak punya apa-apa selain menawarkan jasa fisik yang bisa dilakukan siapa pun, tak seperti sang Guru muda yang akan berjasa besar membawa sekantong gendut koin perak kelak? Apakah sang penggembala akan memberikannya tempat tidur dan bergelas-gelas bir rempah seandainya Heldrado tunjukkan dua kantong koin perak Drest? Yah, Heldrado takkan melakukannya. Ia iri, tetapi maklum. Sang Guru melalui perjalanan yang teramat panjang. Begitulah isi pikiran orang yang baru saja mencuri sesuatu dari karavan itu. Namun pikiran Heldrado melantur ke mana-mana setelahnya. Ia terlelap sekali lagi di bawah bayang-bayang dedalu yang sejuk.  Heldrado terbangun dengan rintik hujan dan omelan sang penggembala yang menghalau sapi-sapinya ke kandang. Langit telah memerah dan Heldrado mengerang dengan posisi punggungnya yang kaku. Meski begitu ia masih akan mendapat jatah makan malam. Ia duduk satu meja bersama sang penggembala dan sang Guru, yang terus saja bercerita tentang ilmu-ilmu penyembuhan baru yang didapatnya selama perjalanan— sesuatu yang tak didapatnya begitu saja saat mengenyam ribuan perkamen di perguruan dahulu. Pembicaraan ini membuat Heldrado tegang. Sang Guru rupanya juga seorang tabib. Apakah botol-botol kaca berisi tanaman meliuk itu adalah barangnya? Heldrado tidak yakin ia bisa tidur di kandang sapi lagi malam ini. Apalagi ia sudah berjanji kepada sang penggembala bahwa akan pergi selambat-lambatnya esok subuh. Mungkin, mungkin saja, lebih baik Heldrado berangkat lebih awal. Ia toh sudah menetapkan tujuannya, yakni festival di kastil Lord Lovell.  Tentu saja itu adalah rencana Heldrado, sebab Tuhan tampaknya punya kehendak lain. Hujan turun semakin deras, dan tanpa aba-aba, badai pun mulai menerjang. Heldrado terpaksa berteduh di kandang sapi, riuh oleh deru gelisah hewan-hewan akan guntur dan kilat yang bersahutan di luar sana. Senada dengan hujan yang berderak di luar dinding loteng dan mengguyur atap di atas kepalanya, Heldrado merasakan jantungnya bertalu-talu. Apakah ia salah langkah? Tidak terlambat kalau Heldrado berniat mengembalikan barang bawaan sang tabib. Tapi, batin Heldrado, ia hanya seorang tabib! Dia juga tidak berbahaya. Heldrado yakin itu. Tubuh Heldrado lebih besar, dan ia juga lebih tua. Sang pemuda, meski sangat sehat, tidak berotot kencang dan tubuhnya sudah terbebani lilitan jubah yang begitu tebal dan berat. Tatapan matanya sayu dan bibirnya tak pernah mengatup— Heldrado tadi mendengarnya berulang kali memuji Tuhan saat sedang tenang. Orang suci sepertinya seharusnya bisa memaklumi kondisi Heldrado. Kendati Heldrado baru saja menempatkan posisinya setara para gelandangan, ia tak punya ruang untuk memedulikan kastanya saat ini. Ia adalah orang lupa ingatan. Ia akan segera mendapatkan jati dirinya, dan jika Heldrado ternyata memiliki kehidupan yang cukup layak sebelumnya, ia berjanji dalam hati akan mengembalikan semua barang curian ini. Ia kelak akan mencari sang tabib dan memberi lebih banyak tanaman berliuk di dalam botol kaca. Ia juga akan menemui Drest, membantunya kembali ke keluarganya yang kaya raya. Itu adalah imajinasi pengantar tidur Heldrado. Heldrado bahkan tidak sadar ia sudah tertidur karena, pada dini hari yang masih terguyur hujan bagai air bah, ia merasakan gesekan kain di kedua kakinya. “Siapa?” ia bertanya setengah sadar. “Aku tidak bermaksud menuduhmu,” suara sang tabib begitu lembut, “tetapi tanaman-tanaman peliharaanku akan merangkak keluar dan menggerogoti kukumu kalau tidak diberi makan tepat waktu.” Kemudian, karena Heldrado tak menjawab, sang tabib bertanya. “Bolehkah aku membuka tasmu? Aku tak akan mengambil apa-apa yang bukan hakku, sungguh.” Heldrado mengira ia masih bermimpi, jadi ia membolehkan seraya mengomel betapa mengganggunya sang tabib dan kembali tidur. Tabib muda itu meminta maaf, mengambil botol-botol kaca berisi tanaman yang menggeliat lapar, dan turun dari loteng. Sapi-sapi mendengkur nyaman saat jubah sang tabib menyapu tepi tubuh mereka. Heldrado terjaga oleh lenguhan sapi di bawah loteng dan derak pintu. Ia mengira sang penggembala sudah bangun, tetapi langit masih gelap total saat Heldrado melangkah keluar. Badai sudah berhenti, menyisakan tanah becek dan ranting-ranting dan dedaunan yang berceceran. Ia sudah membayangkan tugas hari ini akan semakin berat, lantas Heldrado sadar, bahwa dirinya telah berjanji untuk pergi sebelum fajar menyingsing. Heldrado tertunduk lesu. Ia memandang kedua kakinya yang telanjang. Kain pelapis yang dirupakan sepatu bakal basah dan becek kalau dipakai berjalan di hamparan berlumpur ini. Kenapa ia tidak mencuri sesuatu yang lebih berguna kemarin; sepatu sang tabib, misalnya? Setidaknya sepatu sang tabib takkan menggeliat dan menggerogoti kukunya. Sang tabib bakal memakluminya dan membiarkan Heldrado menyimpan barang curiannya. Heldrado mendadak malu. Tuhan telah membangunkan Heldrado di waktu yang tepat. Ini saatnya ia beranjak, melanjutkan perjalanan menuju kastil Lord Lovell. Meski hari masih petang dan kegelapan menggantung pekat, Heldrado bisa menyambar lilin-lilin beralas kuningan milik sang penggembala. Ia takkan keberatan kalau Heldrado membawa ini kan? Karena Heldrado takkan mengembalikannya. Dengan kaki telanjang, Heldrado menapak tanah berumput yang berlumpur. Sesekali ia menginjak ranting, tetapi asal tak tergores atau menginjak kotoran sapi, Heldrado melanjutkan langkahnya. Lilin dalam sangkar kuningan di tangannya berayun-ayun pelan mengikuti gerak tangan, dan Heldrado menyipitkan mata, berusaha melihat menembus tirai kegelapan. Waktu terasa sangat lama hingga Heldrado menabrak pagar pembatas peternakan sang penggembala dengan tepi jalan. Heldrado melompat dengan susah payah dan nyaris terjungkal, karena pijakan di tepi jalan tergenang dan begitu licin. Ia merasa seekor katak baru saja mendarat di kakinya. Meski desa itu terpencil, penerangan jalan ternyata cukup banyak, walau daerah tersisih seperti peternakan sang penggembala tidak diberi jatah obor sama sekali. Penerangan dari api biru yang berpijar kuat di balik sangkar kuningan adalah keajaiban selepas badai— Heldrado yakin sekurang-kurangnya ada seorang Guru Energi yang tinggal di desa ini, yang menciptakan api ajaib agar tetap menyala terang di tengah gempuran badai. Guru Energi itu berbeda dengan Guru tabib pembawa karavan; mereka adalah para terpelajar yang diizinkan menanggung beban Energi pemberian vehemos— makhluk kuno adikuasa dengan berbagai kekuatan dahsyat yang membuat manusia cuma bisa mengandalkan otak. Kalau benar demikian, maka pembakaran masal para prajurit kemarin menjadi semakin masuk akal, dan kebengisan para penduduk semakin logis. Para prajurit tentu saja bisa memenangkan penduduk sipil mana pun, tetapi bakal kalah oleh seorang terpelajar dengan kekuatan tambahan dari vehemos. Konon kekuatan satu Guru Energi setara dengan satu pasukan kecil prajurit, kira-kira tiga ratusan kepala. Tumpukan kemarin pasti tidak sampai berjumlah tiga ratusan orang. Mungkin seratus, atau seratus lima puluh. Meski begitu jumlahnya tetap terbilang banyak. Heldrado tak mampu membayangkan seratus lima puluh keluarga yang kehilangan seseorang; anak yang kehilangan ayahnya, ibu yang kehilangan putranya, anak yatim yang kehilangan kakaknya, atau bahkan— seorang gadis yang takkan pernah bisa menemui dambaan hatinya lagi. Seandainya di antara prajurit itu benar-benar sebatang kara, maka kematian itu telah menyelamatkannya dari kesengsaraan kesendirian, meski tewas karena dibakar bukanlah opsi yang menyenangkan juga. Mengarungi perjalanan hingga mencapai tepi desa sembari merenung membuat Heldrado muram. Ia tidak tahu apa penyebab para prajurit itu dibakar, tetapi hati Heldrado bersama mereka. Ia akan mencari tahu penyebab mereka dibakar, dan festival di kastil Lord Lovell akan menjadi ajang tukar gosip yang sangat bermanfaat. Heldrado masih tidak berani untuk singgah di desa terkutuk ini. Sial. dia bahkan masih bisa mencium aroma daging bakar yang tajam dan membuat matanya berair. Penduduk desa masih terlelap saat Heldrado melintas. Sebagian sudah bangun, tetapi mereka bertandang di dapur, dan baru akan keluar saat langit semburat ungu dan merah muda yang cantik. Heldrado melewati desa dengan aman, tetapi selepas dia menyusuri jalan menuju perbukitan yang membatasi kastil Lord Lovell dengan pedesaan itu, ia mendengar suara derap kuda, disusul seruan yang familiar. “Itu dia!” seru Drest. “Itu tasku!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN