Segalanya terjadi begitu cepat. Heldrado berusaha berlari, tetapi hari masih gelap. Kendati langit mulai bersemu ungu, penerangan di sepanjang jalan mulai jarang, dan jarak obor yang saling berjauhan membuat Heldrado tersandung-sandung. Tidak butuh waktu lama hingga ia jatuh tertelungkup pada tanah berlumpur, bersamaan dengan derap kuda yang menggaung keras di telinganya.
Heldrado direnggut. Lilin dalam sangkar kuningan di tangannya dipukul jatuh. Pria yang menariknya bukan Drest— melainkan pria bertangan satu buntung yang besar itu, yang Heldrado kira hobinya adalah merundung Drest. Namun, cara pria besar itu meremas tengkuk dan menjambak Heldrado hingga tercicit kesakitan, menunjukkan kesetiaan seorang pengawal kepada tuannya.
“Tasku!” Hardik Drest. Ia melompat turun dari kudanya dan menyambar tas yang tersampir di bahu Heldrado.
“Ia juga mengenakan bajumu, Drest,” ujar seorang pemburu dari atas kudanya. Ia yang memegang lentera, lalu memutuskan untuk turun dan membantu penerangan bagi Drest, sementara pemuda ceking itu mengobok-obok tasnya. “Bagaimana? Apa dia juga menghabiskan yang lain?”
Saat pria bertangan buntung itu menyentaknya, Heldrado mencicit. “Sumpah— tidak! Aku cuma pakai bajunya!”
Drest membenarkannya, meski tampaknya ia lebih suka jika Heldrado mencuri sesuatu sungguhan selain bajunya. Itu akan memperkuat alasannya menghajar si pencuri. “Tasku aman,” ujarnya dengan mata menyipit.
“Tetap saja ia mengenakan pakaianmu.” Pria buntung itu mengangkat Heldrado dan membantingnya seketika. Ia terbatuk dan kepalanya pusing, tetapi pukulan demi pukulan mulai menghantamnya, dan Heldrado meringkuk memohon maaf. Ia bahkan menceracau seperti “Aku kehilangan semuanya,” dan “Aku tidak punya apa-apa,” dengan harapan bahwa ia akan dimaafkan, tetapi kemurkaan para pemburu itu semakin menjadi-jadi.
“Sudahlah.” Satu patah ucapan Drest menghentikan para pemburu yang marah kepadanya. Ini membuat Heldrado terheran-heran. Bagaimana bisa pemuda yang kemarin dirundung di sungai sekarang menjadi orang yang paling didengar pria-pria bercodet ini? “Biarkan saja gelandangan itu. Yang penting tasku sudah kembali; kita bisa melanjutkan perburuan lagi.”
“Tidak. Kita belum selesai,” ujar pemburu yang lain. Ia juga ingin melampiaskan kekesalannya kepada Heldrado. “Gara-gara dia perburuan kita jadi terlambat!”
Heldrado merasakan sekujur tubuhnya begitu nyeri dan memar, berkedut-kedut menyakitkan karena berbagai tendangan dan pukulan yang diterimanya. Ia merasa tidak sanggup lagi, dan baru saja akan memohon dilepaskan, ketika si pembawa lentera mengangkat pencahayaannya.
“Apa itu?” tanyanya, dan saat semuanya menyipitkan mata ke arah yang sama, mereka baru menyadari suara derap halus dan geraman makhluk buas.
Para pemburu itu terkesiap. “Vehemos!” seru mereka, dan seolah-olah melupakan Heldrado, pria itu dijatuhkan begitu saja. Mereka bergegas menaiki kuda dan berderap pergi secepat kilat, meninggalkan Heldrado yang nelangsa di tanah berlumpur.
Hei! Jangan tinggalkan Heldrado sendiri! Dengan kesakitan Heldrado berusaha merangkak, semangatnya untuk pergi terbakar oleh ketakutan akan makhluk buas yang langkahnya semakin jelas terdengar. Heldrado berusaha bangkit pada kedua kakinya, sesekali terpeleset karena kakinya yang tak beralas, dan Heldrado merasa hidupnya sudah diambang batas saat raungan makhluk itu terdengar seolah-olah tepat berada di belakangnya. Heldrado memekik ketakutan.
Dan, seolah segalanya hanya tipuan, makhluk-makhluk itu melebur ke udara, menyisakan suara derak roda kereta yang mendekat. Lentera yang menggantung pada atap karavannya bergoyang-goyang, disusul dengusan kuda yang berpacu kencang. Langkahnya melambat saat Heldrado sudah dalam jangkauan.
“Apa kau tak apa-apa?” suara familiar kusir karavan itu membuat Heldrado ingin menangis.
“Kau? Kau, Si Tabib? Bagaimana bisa kau berada di sini?”
Sang tabib melompat turun dan membukakan pintu karavan. Ia membantu Heldrado berdiri dan membopongnya masuk. Alih-alih menjawab pertanyaan Heldrado, ia menggumamkan penyesalan akan lumpur yang melumuri tubuh Heldrado bagai guyuran hujan; pekat dan menjijikkan, kotor dan menyedihkan. Heldrado terkapar lemas dan tak mampu bergerak sedikit pun, seolah-olah sang tabib mengunci pergerakan kakinya dengan sesuatu yang kasat mata. Heldrado hanya mampu menggerakkan matanya, mengawasi sang tabib yang menutup pintu karavan kembali, dan tak lama kemudian karavan itu bergerak.
Heldrado memejamkan mata. Ke mana ia akan dibawa?
Oh, bukan ini nasib yang diinginkannya!
+ + +
Heldrado mengira dirinya jatuh pingsan saking malunya. Tidak. Tabib itu sepertinya juga memberikan pengaruh khusus karena Heldrado terbangun dengan perasaan ringan, seperti melewatkan dua jam dengan tidur paling nyenyak seumur hidup. Tubuhnya terasa bugar dan ia terbangun dengan kedua kakinya sudah dibasuh air. Kenyataannya, pemuda tabib itu juga sedang mengobati memar di kakinya.
Heldrado terbangun dengan kedua tangan sang tabib berayun lembut di atas kakinya, kemudian memar itu hilang seketika.
Heldrado, yang semula sadar dengan perasaan berbunga, kini berubah ngeri dalam sekejap. “Apa yang kau lakukan?”
“Ah, kau sudah bangun,” kata sang tabib retoris. Ia mengusap kedua tangannya pada lap kumal di sampingnya, tidak buru-buru menjelaskan apa yang baru saja dilakukan. “Bagaimana kondisimu, Sir?”
Heldrado menatapnya dengan mata membulat. Wajahnya memucat. “Apa yang baru saja kau lakukan?”
Sepertinya Heldrado akan terus menanyakan hal yang sama hingga pertanyaannya terjawab. Pemuda itu tersenyum tipis. “AKu menyembuhkan lukamu. Itu saja.”
Seharusnya itu sudah jelas, sebab pemuda itu adalah sang tabib. Namun Heldrado menolak menerima jawaban itu begitu saja. “Kau tidak bisa membuatku bergerak,” katanya setelah mengingat apa yang terjadi saat langit masih petang. Sekarang, langit telah memutih seutuhnya. Biru langit terhalang oleh gelungan awan putih raksasa yang senantiasa memayungi negeri ini. “Apa kau juga yang membuatku tertidur?”
“Ah, aku meminta maaf atas perilaku yang kurang sopan ….”
“Dan makhluk-makhluk buas itu— para vehemos itu— apakah itu juga perbuatanmu?”
Sang pemuda tabib mengatupkan bibir. Baru kali ini Heldrado menatapnya dengan jelas. Sang tabib memiliki warna mata paling cerah yang pernah dilihatnya— pucat dan nyaris menyatu dengan bola matanya yang jernih. Kulitnya seputih pualam, dan garis pembuluh darahnya jelas pada pergelangan tangan dan sejenisnya. Semakin Heldrado mengamati lekat-lekat, semakin terlihat bahwa sang tabib punya penampilan fisik yang sedikit … janggal.
“Kau Guru Energi.” Heldrado berbisik tanpa sadar.
Alis sang tabib terangkat samar. “Benar.” Ketenangan jawabannya mengusik pria yang lebih tua.
Karena sang tabib tak berkata apa-apa lagi, Heldrado menambah lebih banyak pertanyaan. “Mengapa Guru Energi sepertimu berkeliling saja dan hanya menjual barang-barang para tua? Mengapa kau tidak mencegahku saat kucuri botol-botol gelas berisi tanamanmu? Dan mengapa kau mengejarku?”
Sang pemuda tidak buru-buru membuka mulut. Matanya mengedar, barangkali memikirkan mana yang sebaiknya dijawab, dan mana yang lebih baik dibiarkan saja agar Heldrado mencari jawabannya sendiri di kemudian hari. Setelah sekumpulan detik yang terasa begitu lama bagi si pria, tabib itu menjawab dengan pelan. “Aku melihat bahaya mengintaimu, Sir.”
“Apa?”
Sang tabib bergeser turun dari karavan. “Mari,” katanya. “Sebaiknya engkau turun dahulu dan membantuku membereskan ini semua. Perjalanan masih panjang menuju kastil Lord Lovell.”
Heldrado menahan napas. Ia menyusul sang tabib meluncur dari karavannya hingga nyaris terjungkal. “Apa aku boleh ikut denganmu?”
“Jika engkau punya opsi lebih baik, maka aku tidak akan menghalangimu.”
Heldrado sebenarnya sudah cukup malu, sampai-sampai bersyukur bahwa dirinya sempat tertidur, karena tabib ini masih mau membantunya setelah pencurian yang dilakukannya semalam. Ia bagaikan lelaki kotor berlumur dosa yang mencuri kesempatan untuk meneguk air suci. Inilah yang membuatnya ingin bergegas pergi, tetapi ketika sang tabib mengatakan ada bahaya yang mengikutinya, Heldrado mau tak mau harus meragukan ulang keinginannya. Demi Tuhan, sang tabib adalah Guru Energi, kasta tertinggi para Guru!
Ditambah lagi, ia masih muda! Sehebat apa pemuda ini?
“Aku telah mencuri barang-barangmu,” Heldrado masih berupaya meyakinkan diri. “Apa kau yakin untuk mengajakku?”
Sang pemuda tersenyum. “Apa engkau masih berniat ingin mencuri?”
Tenggorokan Heldrado tercekat. “Tidak. Oh, ampunilah dosa-dosaku.”
“Katakan itu kepada Tuhan, bukan aku,” kata sang tabib puas. Ia menggulung alas yang dihamparkan di tanah berumput, tepat di hutan kaki bukit yang bakal segera mereka lewati demi mencapai kastil Lord Lovell. “Apa kau akan berdiri di sana saja, Sir? Tumpuklah kerat-kerat itu dan simpan bersama gulungan ini.”
“Tentu, tentu.” untuk pertama kalinya, Heldrado tidak keberatan diperintah oleh seseorang yang lebih muda darinya. Tentu saja, gunakan akal sehatmu; pemuda ini adalah seorang tabib, baru saja menolongnya, dan mau memaafkan kebodohan Heldrado, bahkan memberinya kesempatan untuk menebeng pada karavannya yang jelas-jelas lebih nyaman daripada berjalan dengan kaki telanjang.
Selagi Heldrado memasukkan barang-barang itu, sang tabib mengeluarkan sepasang sandal. “Pakailah, Sir. mungkin tidak cukup besar untukmu, tetapi setidaknya telapak kakimu tidak akan tergores-gores lagi.”
“Engkau anak yang baik.” Heldrado ingin menangis. “Dari mana kau berasal, dan putra siapa engkau?”
“Aku berasal dari Utara yang nun jauh,” jawab sang tabib. “Dan aku adalah Aeson— putra Aes.”
“Aeson, putra Aes yang bijak.” Heldrado memujinya. “Aku tidak tahu siapa namaku sebenarnya, tetapi aku mengingat nama Heldrado dari Freds, maka kuputuskan itu adalah namaku.”
Aeson mengangguk. “Heldrado,” ulangnya. “Dan nasib apa yang menimpamu sehingga bisa mengalami berbagai hal seperti ini?”
Selama sesaat Heldrado melupakan ancaman bahaya yang, menurut Aeson, tengah mengintainya. Ia tak pernah begitu bersemangat dalam menceritakan kisah hidupnya, detail tanpa ada yang ditutupi, kepada orang yang baru ditemuinya. Heldrado tidak tahu apakah sang Guru Energi menempatkannya pada sebuah pengaruh tertentu, atau murni karena Heldrado frustasi mencari orang yang bisa dipercayainya, tetapi ia menceritakan segala hal, termasuk kebenaran tentang dirinya sebagai satu-satunya pengawal yang selamat dari peristiwa pembakaran itu.
Selesai menceritakannya, Heldrado menambah dengan memelas. “Sebagai Guru, engkau adalah orang penuh belas kasih, terlebih-lebih setelah apa yang kau lakukan kepadaku! Maka, jika suatu saat nanti kita melalui jalan yang berbeda, jangan pernah ceritakan mengenai diriku kepada orang-orang.”
Aeson tampaknya bukan orang yang seperti itu. Sang Guru mengatupkan bibir sembari mengangguk. Ia lebih terpaku pada kenyataan lain. “Engkau lupa ingatan,” katanya. “Namun bagaimana? Ketika hanya sebagian kecil hal yang engkau lupakan, dan bukanlah kenangan secara acak.” Saat Heldrado menatapnya dengan bingung, Aeson menjawab dengan sabar. “Mungkin inilah intaian bahaya yang kuraba darimu, Sir Heldrado; engkau tidak lupa ingatan karena syok atau sejenisnya. Sesuatu menghapus ingatan tertentu darimu, dan beberapa ingatan lain, agar membuatmu yakin bahwa ini disebabkan oleh penyakit atau ketakutanmu.”
Heldrado tercenung.
Karena pria itu tidak kunjung bersuara selain mencoba mencerna ucapan Aeson dengan linglung, sang tabib berkata dengan santun. “Apa pun yang engkau alami, Sir Heldrado, engkau akan segera mengabarkannya. Upaya yang kau usahakan untuk mendapatkan jawabannya, adalah cara-cara Tuhan mengarahkanmu menuju kebenaran,” ujarnya, kemudian menjeda sejenak. “Karena itu mari kita menuju festival kastil Lord Lovell bersama-sama. Aku dengan pekerjaanku, dan engkau dengan keperluanmu.”
“Dan,” tambah Aeson, sembari melompat ke bangku kusir. “Mungkin sebaiknya engkau ingin menyembunyikan namamu sementara waktu. Mulai saat ini, aku akan memanggilmu Hel.”
“Hel?” ulang sang pria, yang juga akan disebut sebagai Hel untuk seterusnya pada kisah ini. “Aku tidak keberatan.”
“Bagus. Kalau begitu maukah kau bergegas masuk ke karavan, Hel, dan kunci pintunya dari dalam? Jangan buka jendela kecuali sepetak saja pada sisi yang kau kehendaki. Gejolak angin di perbukitan depan cukup bengis, dan kau tak ingin serbuk-serbuk emas bertebaran sia-sia sepanjang jalan.”