Pengakuan Pencuri

1602 Kata
Hel bersyukur Aeson hanya mengobati luka di kakinya saja. Hel tidak tahu bagaimana, dan mungkin saja karena sugesti dari sang tabib bahwa ingatannya dihapus dengan sengaja, tetapi Hel mulai mendapat memori-memori lama yang kurang penting. Seperti bagaimana ia pernah berobat pada beberapa tabib dan mereka secara lancang melepas pakaiannya untuk mengobati. Kenangan semacam itu muncul saat Hel meraba-raba dadanya, dan mendapati apa yang ia sembunyikan masih di sana. Sementara kuda Aeson membawa karavan itu melintasi kaki bukit yang dipagari pepohonan, Hel melonggarkan pakaiannya dan mengeluarkan sebuntal kain yang berisi beberapa barang. Semenjak kejadian semalam— di mana Aeson merogoh tas untuk mengambil kembali berbagai tanaman monsternya— Hel pun berpikir untuk mengambil beberapa barang Drest untuk diamankan, karena siapa tahu tasnya bakal suatu saat kecurian. Dan, sungguh, ketika beberapa jam kemudian Drest sungguhan datang untuk mengambil kembali tasnya, Hel bersumpah tidak mengharapkan itu terjadi.  Yah, setidaknya, ia berhasil mengamankan beberapa barang yang, saking sedikit jumlahnya, Drest tidak menyadari bahwa ada yang hilang. Hel menggelar buntalan kain itu di hamparan karpet kusam. Satu botol ramping berisi cairan hitam yang beraroma darah. Lipatan perkamen dengan satu-satunya bahasa aneh yang tak dimengerti— entah mengapa, Hel merasa bakal membutuhkan ini, intuisi kacau seseorang yang lupa ingatan tak boleh diremehkan. Satu batu berkilap tanpa kendi dan pasir. Satu buah panah beracun yang dibuntal secara terpisah. Segenggam koin yang barangkali jumlahnya tak seberapa. Dan, sesungguhnya, Hel juga ingin menyambar belati yang menurutnya paling berharga, tetapi karena jumlahnya yang terlampau sedikit, maka Hel tak berani memisahnya dari tas. Rupanya tindakan yang ini berhasil. Seandainya Hel ikut menyembunyikan sebuah belati, maka Drest akan menyadarinya, dan dia bakal mengetahui barang simpanan Hel. Hel mengamati barang-barang curian yang masih berada dalam genggamannya. Sekarang apa? Apakah Hel perlu mengaku pada Aeson pula bahwa dia masih memiliki barang-barang Drest? Apakah barang-barang ini akan aman, dan takkan membuat Drest— Tunggu dulu. Mata Hel membulat saat menyadari sesuatu. Bagaimana bisa Drest tahu bahwa dia yang mencuri tasnya? Drest bahkan tak pernah melihat Hel! Pencurian Hel waktu itu dilakukan dengan pengintaian yang sempurna. Hel yakin itu. Ia sudah memastikan tak ada yang melihatnya, apalagi mengikutinya. Kalaupun ada jejak Hel yang tersisa di tanah hutan, bukankah seharusnya jejak kaki Hel tak lagi membekas pada jalanan pedesaan? Lantas, bagaimana Drest bisa tahu bahwa Hel adalah pencurinya, dan di mana ia sedang berada? Hel mendadak merasakan ketakutan merayapi dengan cepat. Jantungnya berpacu dan darahnya mengalir deras di balik lapisan kulitnya yang pucat. Hel mengintip dari celah jendela yang kecil; tak ada suara derap kuda selain milik karavan Aeson, dan hanya terdengar semilir angin dan desis pepohonan yang syahdu. Setelah melewati beberapa menit yang diwarnai dengan ketegangan, Hel berasumsi bahwa ada sesuatu di dalam tas itu yang membuat Drest bisa melacaknya. Mungkin liontin dengan ukiran aneh? Itu terasa seperti benda keramat, dan ini tidak mengherankan bagi Hel, mengingat ia baru saja ditolong seorang Guru Energi. Kalau dipikir-pikir, semenjak ia terbangun di tumpukan mayat dengan ingatan yang terhapus itu, segala hal yang Hel alami beraromakan kejanggalan. Yah, dia juga yang mengundang berbagai kejanggalan itu. Dia nampaknya telah mencuri tas yang salah. + + + Hel memutuskan untuk jujur kepada sang tabib saat mereka berhenti untuk santap malam.  Mula-mula Hel menunggu waktu yang tepat. Sementara ia menguliti kelinci hutan yang berhasil ditangkap Aeson dalam sekali bidik, sang tabib sembahyang di tepi karavan. Aeson berdoa cukup lama, bahkan tampaknya ia melantunkan resitasi berbagai doa yang dipelajarinya di perguruan dahulu, hingga Hel selesai melumuri daging kelinci dengan campuran minyak dan bumbu tumbukan yang disediakan Aeson. Sang tabib mendekat saat Hel menaruh daging itu di atas bubungan api. “Biar aku,” kata Aeson. “Bersihkan dirimu dan segalanya.” Hel mengangguk. Mudah saja mengatakan itu ketika Hel yang mengurus sebagian besar proses memasaknya. Hel lantas berbasuh dengan satu kendi air yang tersimpan di kolong karavan, dan memutuskan untuk mencoba sembahyang pertama kalinya sejak lupa ingatan. Pada titik inilah, Hel yakin jika ia akan baik-baik saja mengakui satu lagi keburukannya yang masih terjaga.  Ia mendekat, mengatupkan bibirnya rapat-rapat saat mengawasi pemuda itu memutar daging kelinci dengan khidmat, lalu berkata, “Ada satu lagi yang belum kusampaikan kepadamu.” Aeson mengangkat pandangan. “Ya?” Hel lantas mengeluarkan buntalan kain yang disembunyikan di bawah salah satu rak karavan. Sembari membuka buntalan ia menceritakan apa yang terjadi, selengkap-lengkapnya, termasuk bagaimana ia mencuri tas Drest di sungai beberapa hari yang lalu. Aeson mendengarkan tanpa sekali pun menyela. Saat Hel menunjukkan barang-barang yang tersisa, Aeson tercenung. Responnya yang nyaris nihil membuat Hel merasa seperti seorang anak yang mengakui telah mencopet seorang bangsawan pada ayahnya yang melarat. Padahal Aeson lebih muda daripadanya, kira-kira sepuluh tahun. Seandainya Hel punya adik perempuan, dia akan mencoba menjodohkan mereka. Hel takkan khawatir adiknya jatuh ke tangan pria kasar kalau ada pemuda sebaik Aeson. Aeson akhirnya berkata, setelah beberapa lama merenung. “Apa kau tahu apa ini?” tanyanya, saat mengisyaratkan pada panah beracun. Hel mengangguk, dan ia menjelaskan termasuk aroma racunnya yang membuat hidung Hel tersengat. Baru pada saat itulah Aeson mengernyit. “Ini bukan racun biasa,” katanya. “Kukira semua racun tak ada yang bisa dianggap normal … bung?” “Bukan.” Aeson membungkus jemarinya dengan kain untuk meraih panas beracun itu. Dari ekspresi wajahnya, Aeson tampaknya juga tak kuat menghirup aroma racun itu. Ia buru-buru menaruhnya kembali dan membungkusnya dengan ujung kain. “Ini racun khusus untuk vehemos. Manusia biasa takkan terpengaruh dengan racun ini selain merasa mual.” Hel tercengang. “Itu berarti ….” “Ya, mungkin saja Drest dan kawan-kawan pemburunya tidak sekadar mencari rusa. Mereka barangkali akan memburu seekor vehemos, dan jika itu memang benar, maka pantaslah mereka mencari-cari tas Drest dengan begitu bersemangat. Racun ini sangat mahal.” Hel dahulu mengira ia adalah pencuri yang lihai, sampai waktu mengungkapkan betapa cerobohnya ia. Apa yang bisa diharapkan dari seorang pria yang ingatannya dihapus sebagian, coba? Aeson kemudian mengambil perkamen dalam bahasa asing itu. Ia membacanya cukup lama, dan Hel yakin Aeson bisa memahaminya. Ia adalah Guru— sang terpelajar. Sudah pasti ia memahaminya. “Apa itu?” tanya Hel dengan harap-harap cemas. “Ini sajak.” “Sajak?” Hel nyaris memekik. Aeson mengangguk, meski ia juga tampaknya masih mencurigai kebenaran sajak itu. “Ini sajak … dalam Bahasa Tua. Guru-guru pendamping kami pernah menyanyikannya untuk pengantar tidur para murid.” Bahu Hel melorot. Sajak tidak berarti apa-apa. “Kalau begitu, bagaimana dengan itu? Apakah itu darah sungguhan?” Aeson melipat perkamen di genggaman, lalu mengambil botol yang ditunjuk Hel. Ia membuka tutup botol dan mengendusnya dengan cepat. “Ini memang darah.” “Mengapa Drest memiliki begitu banyak botol berisi darah? Dan mengapa darahnya hitam?” Aeson seketika paham kaitan antara berbagai barang Drest yang dicuri oleh Hel, tetapi sang pencuri sendiri tak memahami apa yang dibawanya. “Hel,” kata Aeson, melembutkan suaranya yang terdengar begitu terheran-heran dan kagum sekaligus. “Tas Drest boleh saja yang paling ringan, tetapi aku yakin tasnya adalah yang paling berharga di antara kawanannya.” Aeson menaruh kembali semua barang di hamparan kain, lalu membuntalnya dengan rapi. Ia melakukannya sembari menjelaskan. “Seandainya jika dugaanku benar, bahwa mereka sedang berburu vehemos, maka barang-barang Drest adalah kunci dari perburuan itu.” Aeson menisyaratkan pada bungkusan panah beracun yang sedang digulungnya. “Ini,” katanya, “adalah panah yang bisa melumpuhkan para vehemos, terutama yang kasta rendahan seperti hewan, dengan cepat.” Aeson kemudian menunjuk pada botol darah yang menjadi barang terakhir dibungkusnya. “Dan ini,” katanya, “adalah darah makhluk vehemos, atau mereka yang memiliki sedikit saja Energi daripada monster-monster itu.” “Apakah darahnya punya khasiat? Sejenis itu?” “Tergantung monsternya, tetapi kebanyakan begitu, walau khasiatnya tidak besar-besar amat untuk para manusia,” kata Aeson, lantas terdiam sejenak. “Kecuali ... untuk para manusia kaya-raya. Engkau mungkin tidak tahu, tetapi selama beberapa tahun terakhir, perburuan vehemos begitu ramai dikerahkan oleh para bangsawan. Mereka akan membayar mahal untuk darah para monster ini.” “Tapi ... untuk apa? Aku bahkan tidak melihat ada vehemos semenjak bangun.” “Ya, karena para vehemos itu tahu para manusia sekarang memburunya.” Hel terdiam sejenak. Ia mencerna informasi itu baik-baik sementara Aeson menyingkirkan buntalan kain kembali ke karavan. Saat sang tabib bergabung sekali lagi di tepi perapian, sang pria bertanya dengan bingung. “Tetapi mereka lari dari tipuan vehemos yang kau buat tadi pagi.” “Pemburu monster paling berbakat sekali pun tetap harus mempersiapkan diri saat menghadapi monster,” jawab Aeson dengan kalem. “Serangan dadakan vehemos tentu harus direspon dengan melarikan diri. Vehemos bukanlah makhluk buas biasa—mereka punya Energi. Karena itulah melarikan diri dari serangan dadakan adalah satu-satunya cara ... kecuali para pemburu itu juga punya Energi. Mereka jelas-jelas hanyalah sekumpulan manusia biasa.” Hel mengangguk-angguk. Sekarang jelas sudah berbagai teka-teki yang selama ini membuatnya bingung. Kalau Drest adalah putra bangsawan, maka perburuan vehemos ini tidak mengherankan. Perundungan yang dilakukan para pria kepada bocah bangsawan itu juga ... yah, kadang-kadang lumrah terjadi kalau si bocah sedang jauh dari kedua orang tuanya. Baiklah. Tak ada yang terlalu spesial dari Drest, rupanya. Misteri ini terpecahkan begitu saja. Tetapi, entah mengapa, ekspresi Aeson tidak menyiratkan demikian. Ketika Hel tidak lagi memikirkan masalah Drest dan sebagainya, Aeson termenung lama di posisinya. Bahaya yang disebutnya mengintai Hel ... masih belum juga hilang. Bahkan setelah Aeson mengetahui segala hal tentang pria itu, termasuk kebenaran barang-barang gaib yang dicurinya, Aeson masih merasa janggal. Bahaya yang mengintai Hel bukan dari barang-barang Drest. Kira-kira apalagi penyebabnya? Aeson diam-diam melirik pria naif yang sedang memutar daging kelinci dengan khidmat, tak sabar untuk segera menyantap daging sungguhan. Aeson menelan ludah. Siapa identitas Hel sebelum ia lupa ingatan?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN