Perjalanan menuju kastil Lord Lovell membutuhkan waktu sehari semalam.
Ketika karavan Aeson tiba di perbatasan desa yang mengelilingi kastil itu, terlihat banyak pendatang yang bakal turut meramaikan festival. Acara memang akan dimulai sebentar lagi, tepatnya esok saat matahari tepat berada di puncak kepala. Namun, para penduduk lokal sudah mulai menjajakan dagangannya, memperlebar hamparan karpet di depan pintu, dan mengeluarkan meja-meja besar.
Para pendatang tentu saja belum boleh berjualan. Mereka hanya boleh menjajakan dagangan pada waktu resmi, yakni saat festival dibuka, dan itulah kesempatan emas para penduduk lokal agar tidak tersaingi dagangan dari luar yang biasanya lebih menggiurkan.
“Gula-gula, gula-gula!” Hel mengintip dari celah kecil jendela karavan. Ada sepasang anak kembar yang membantu ibu paruh baya menjual gula-gula di depan rumah. Tak ada papan toko—mereka tampaknya hanya berjualan pada waktu tertentu saja. Aroma manis gula yang dihangatkan pun seketika membanjiri karavan. Ludah membanjiri mulut Hel. Tidak ada yang melarang pria usia tiga puluhan memakan gula-gula, kan?
Orang-orang asing berseliweran sepanjang Hel melihat dari celah kecil itu, menunjukkan potongan-potongan suasana yang tumpah ruah di sepanjang jalan yang dilalui karavan. Bermacam-macam orang asing terlihat; mereka yang dalam balutan jubah kotak-kotak, mantel-mantel berat dengan rumbai warna-warni, bersepatu panjang dengan bunyi klepak-klepak yang lucu, orang-orang dengan tubuh tinggi besar maupun sekurus tiang obor, sependek lutut Hel hingga pria-pria mungil macam peri tua yang kehilangan sayap.
Hel bergeser, lalu membuka jendela yang menghadap punggung sang tabib. Terlihat dari sisa celah bahwa karavan Aeson berjalan bagai siput di belakang karavan-karavan pendatang lain. Desa kecil itu semakin penuh sesak; bahkan Hel sekilas melihat ada sekumpulan tenda di tepi desa tadi.
“Di mana kita akan bermukim?” Tanya Hel.
“Di lahan festival itu sendiri,” jawab Aeson, suaranya nyaris tenggelam di balik sahut-sahutan para penjaja dagangan. “Kau dan aku akan bergantian tidur di dalam karavan atau di luar.”
“Aku tidak keberatan tidur di luar terus,” kata Hel menawarkan diri. Ia tidak sudi melihat pemuda baik ini harus tidur di luar karavan, terusik angin malam yang kasar, sementara Hel sang pencuri menikmati kehangatan di balik pintu dan jendela yang tertutup. “Aku akan menjaga karavan tetap aman.”
Aeson tampaknya tersenyum saat menyetujuinya. Hel pun menutup celah jendela itu lagi, lalu membuka celah yang lain, yang kini menghadap ke arah jajaran meja-meja lebar bertaplak kusam. Berbagai dagangan umum dipajang; kendi-kendi berisi air jernih dan kendi-kendi berisi bir oplosan, sulingan anggur asli dan keju fermentasi dari puluhan tahun lalu, berbagai ikat lumen—bunga yang berpendar terang saat malam hari sebagai ganti lampu, hingga paha-paha kalkun berlumur kecap dan mentega yang lezat. Hel menelan ludah saat melihat seorang ibu membeli sepasang paha kalkun yang menggiurkan.
Karavan itu akhirnya mencapai lapangan alun-alun yang teramat luas. Aeson memarkir karavannya tepat di antara karavan penjual roti gepeng dan krim bawang dan karavan penjual lonceng-lonceng angin dari seribu Konservatori—rumah ibadah pemercaya Tuhan. Hel segera melompat turun, meregangkan tubuhnya yang tertekuk seharian di karavan, dan membantu memasang tenda dan kanopi.
Sementara itu Aeson memasuki karavan, mengecek sekali lagi kondisi segala barang yang dititipkan kepadanya. Waktu berlalu cukup cepat, dan pagi yang semula riuh itu berganti menjadi siang yang semakin penuh sesak dan tak karuan. Muda-mudi lokal desa menghampiri, memasang tiang-tiang yang menopang beribu lampion dan bendera warna-warni. Pemilik karavan roti gepeng memberi makanan gratis cuma-cuma, disusul pemilik karavan lonceng yang membagi dadar gulung, dan Aeson menyuruh Hel agar membeli masing-masing satu paha kalkun untuk mereka dan kedua tetangga yang baik ini.
Saat Hel berangkat membeli paha kalkun, ia merasakan jantungnya berdebar tidak nyaman. Bagaimana jika Drest dan kawanan pemburunya juga muncul di sini? Hel tak punya baju cadangan, selain jubah Aeson yang dipinjamnya. Sembari berdoa dengan kencang di dalam hati, Hel menerobos para pejalan kaki, mengikuti aroma kecap dan mentega paha kalkun yang begitu menggugah. Ia merapatkan jubah.
Semula usaha membeli paha kalkun itu berjalan lancar dan tak ada yang spesial, kecuali ketakutan tak penting Hel yang membuatnya ragu-ragu seperti orang bodoh. Setiap tersenggol ia akan terperanjat, membuat siapa pun penyenggolnya akan mengernyit kaget, seolah-olah baru saja menangkap basah aksi pencuri. Tetapi, setelah Hel mendapatkan paha-paha ayam dalam kantong, ia merasa lega, dan berjalan dengan cukup santai.
Itu, sampai ia merasakan gelayut aneh yang membuat hidungnya tersengat, dan tengkuknya geli. Hel spontan menoleh ke sana kemari, lantas tersadar bahwa kerumunan menyeruak.
“Minggir, minggir!” seorang pengawal penunggang kuda membelah kerumunan menjadi dua keramaian penuh sesak. Ia membuat jalan untuk rombongan berkuda di belakangnya, yang semuanya mengenakan baju zirah dengan jubah kuning telur yang kusam.
“Itu pengawal Lord Lovell.” Hel mendengar seseorang berbisik kepada kawannya.
“Dan apakah itu Lord Lovell?”
“Tentu saja. Siapa lagi?”
Hel menetapkan pandangan pada seorang ksatria bertubuh jangkung. Kudanya besar, berwarna putih, dan dipasangi pelana yang mewah. Kain kuning berumbai perak dengan emblem kebanggaan melingkari pangkal leher sang hewan. Lord Lovell dan para prajuritnya berkuda dalam kesenyapan, tak menghiraukan gagap gempita para pendatang yang perlahan redam.
Mereka tahu apa penyebabnya.
Bahkan bagi Hel, yang sebagian ingatannya terhapus, ia mengenali busur dan tombak-tombak yang tersampir di bahu para prajurit. Maupun noda yang mengering di jubah kebanggaan mereka. Alih-alih berlumur merah darah, warna hitam membalur setiap jengkal lapisan yang memungkinkan, dan terlihat jelas bahwa mereka tidak repot-repot membersihkannya, memamerkan kelihaian para prajurit itu dalam menumpas makhluk buas.
Vehemos. Mereka berhasil membunuh vehemos, entah apa itu.
Inilah yang membuat kerumunan menghening. Sebagian mengatupkan jemari, bersyukur atas keselamatan Lord Lovell dan para prajuritnya yang mampu menumpas satu lagi makhluk mengerikan. Sebagian murni terpana, matanya berbinar-binar membayangkan bahwa mereka adalah para prajurit gagah berani itu.
Tetapi Hel tidak. Ia merasakan hidungnya makin tersengat, matanya berair, dan lidahnya sepat.
Apa-apaan ini? Hel pernah merasakan hal serupa, tetapi ia tidak ingat kapan dan apa penyebabnya. Ia hanya merasakan gelayut udara yang diciumnya begitu mencekik, dan Hel membasahi kerongkongan dengan menelan ludah bulat-bulat.
Oh tidak—Hel tidak kuat. Ia ingin muntah.
“’Misi, permisi!“ Hel dengan panik menerobos kerumunan menuju ceruk sampah di antara dua kedai. Ia berusaha untuk mengeluarkan isi perut, tetapi percuma—ia tidak banyak makan akhir-akhir ini. Perutnya juga belum selesai mencerna roti gepeng dan krim bawang dan dadar gulung. Betapapun Hel mencoba untuk muntah, tak ada yang keluar, dan upayanya ini menarik perhatian orang-orang di sekelilingnya, meski tak ada yang mengulurkan tangan. Padahal gejolak memualkan itu semakin kuat.
Kecuali, seseorang yang menepuk bahunya dengan keras. “Kau tak apa, Bung?”
“Oh ya, aku tiba-tiba merasa agak mual,” jawab Hel sembari berputar, dan seketika mengatupkan mulutnya saat menyadari bahwa pria yang memedulikannya adalah seorang prajurit. Tetapi bukan itu yang membuat Hel terkejut. Prajurit tersebut menguarkan aroma janggal yang membuat Hel langsung memuntahkan gumpalan ludah. Sang prajurit mengambil langkah mundur dengan sigap.
“Reaksi yang aneh bukan, Bung?” kata sang prajurit curiga saat Hel terbatuk-batuk. Sang pria menatapnya dengan mata merah yang berair. “Ini bukan musim semi—bukan waktunya musim alergi. Apa kiranya yang membuatmu mendadak kacau balau, seolah-olah mencium sesuatu yang sangat mencekik?”
Bagaimana bisa prajurit ini tahu? Hel lantas tersadar, bahwa di balik punggung sang prajurit, terdapat panah yang bentuk dan lumurannya persis seperti panah beracun yang dimiliki Drest.
Oh, tidak!
Hel, mampu berpikir jernih di detik-detik terakhir saat sang prajurit bersiap-siap menarik pedangnya, seketika mengangkat tangan. “Aku”—ujarnya cepat—“cuma orang biasa. Aku alergi tepung-tepungan yang diberikan tetangga karavan kami, dan aku—saking laparnya—makan tanpa berpikir panjang!”
Sang prajurit berhenti bergerak. Matanya memicing di balik topeng zirahnya yang mengilap. “Sungguh?”
“Ada apa ini?” seolah situasi Hel belum juga mencapai puncak kemalangan, Lord Lovell berseru dari atas kuda. Ia dan rombongannya menanti dengan gusar prajuritnya yang mendadak melompat itu. “Apa yang kau lakukan?”
Prajurit di dekat Hel berputar. “Saya hanya mengira,” katanya sembari melambaikan tangan kepada Hel, “bahwa pria ini adalah Separuh Iblis.”
Seiring dengan kerumunan yang terkesiap, mata Lord Lovell memicing bengis, seolah siap melempar belatinya tepat di jantung Hel. “Dan apakah benar?” tanyanya, dengan nada rendah yang tidak main-main, membuat siapa pun pendengarnya mengira bahwa mereka akan ikut ditebas.
“Dia bilang dia alergi tepung, dan terpaksa memakannya tadi,” jawab sang prajurit, dan jelas-jelas ia mencemooh.
“Buktikan itu.”
Tolong, batin Hel, jangan buktikan dengan menodong panah beracun!
Namun dugaan Hel meleset, sedikit, saat sang prajurit merogoh kantong kulit yang terikat di sabuknya. Alih-alih mengacungkan panah beracun, ia mengeluarkan segenggam dedaunan kering. Hel bahkan tak mengerti tanaman apa itu, tetapi yang jelas—itulah sumber terbesar alerginya.
Beruntung—dan betapa beruntungnya!—bahwa Hel tidak bisa muntah lagi. Ia hanya menahan napas sekuat mungkin dan memandang daun kering yang disodorkan itu dengan tatapan kaku. Ia berdoa sekencang mungkin di dalam hati, berharap prajurit sialan itu akan segera pergi.
Menyadari bahwa Hel tidak lagi muntah-muntah, sang prajurit menghela napas. Kecewa. “Alergi tepung-tepungan sialan,” umpatnya, dan ia memasukkan dedaunan kering itu kembali ke kantongnya. Tanpa banyak bicara lagi ia berbalik badan, memohon maaf kepada Lord Lovell atas kecurigaan berlebihan.
Namun Lord Lovell tidak tampak marah dengan perilaku prajuritnya. Ia justru mengacungkan telunjuknya. “Ini untuk semua, termasuk bagi kalian para pendatang asing!” suaranya menggelegar. “Siapa pun yang ketahuan membawa darah iblis, membersamai iblis, atau adalah sang iblis sendiri, maka akan kutebas kalian, dan ku pancung kepala kalian di alun-alun festival!”
Kerumunan perlahan mulai riuh setelah itu, semata-mata menyuarakan ketakutan mereka, dan rombongan Lord Lovell bergerak kembali ke kastil sebelum ujung hari tiba dahulu.
Mereka hanya tak tahu, kalau Hel sebenarnya sudah diambang batas. Saat kerumunan bubar, Hel mempercepat langkah, memaksimalkan kekuatan dirinya. Ayolah, ayo, tinggal sedikit lagi, batinnya. Ia memacu kakinya agar berlari sekencang mungkin di antara kerumunan yang masih padat. Keringat membanjiri punggungnya, dan tak bisa menangis tanpa henti, sekonyong-konyong karena efek gelayut yang membuat kedua matanya terasa perih.
Ketika Hel akhirnya mencapai karavan Aeson dengan sukses, ia menaruh potongan paha kalkun itu dengan sisa tenaga, dan seketika ambruk di hamparan karpet.
Sang tabib terkesiap. “Hel!” serunya, dan itu adalah hal terakhir yang didengar sang pria, sebelum pandangannya menggelap dan kesadarannya menipis.