BAB 1 : Divonis Penyakit TB Paru
Ketakutan seketika melanda diriku setelah mendengar ucapan Suseno. Tanganku bergetar. Keringat dingin perlahan muncul di telapak tangan dan sekujur tubuhku.
Ya Tuhan, cobaan apa yang Kau berikan ini? Bagaimana aku harus mengatakan kepada suamiku?
“Bila, kamu tenang saja. Semuanya belum terlambat dan masih bisa diobati. Aku yakin kamu akan baik-baik saja.”
Aku menatap Suseno dengan mata berkaca-kaca. “Bagaimana aku bisa tenang, Seno? Suami dan keluargaku pasti akan menjauhiku.”
Membayangkan reaksi Mas Herman dan anggota keluargaku ketika mengetahui penyakitku saja sudah membuatku takut. Aku yakin mereka pasti akan menjauhiku. Terutama Mas Herman. Aku takut Mas Herman akan menceraikanku. Aku tidak ingin bercerai dengannya. Sebab Aku sangat mencintainya.
“Tidak akan. Aku yakin mereka akan menerimamu. Lagi pula penyakit ini tidak berbahaya jika segera ditangani.”
Aku menggenggam tangan Suseno erat. Air mata yang coba kubendung kini menetes membasahi wajahku. “Seno, bantu aku. Tolong sembuhkan aku.”
Suseno balas menggenggam tanganku. “Ya, tentu, Bila. Aku akan membantumu.”
“Terima kasih, Seno.”
“Sama-sama, Bila. Baiklah, kalau begitu mari kita melakukan pemeriksaan lebih lanjut. Meskipun gejalamu menunjukkan TB paru, tetapi kita tetap harus melakukan pemeriksaan lebih lanjut apakah ini termasuk jenis yang ringan atau berat.”
Aku mengangguk cepat. “Ya.”
Suseno pun membawaku ke ruang pemeriksaan. Cukup lama kami berada di sana sebelum akhirnya kembali ke ruang kerja Suseno.
“Kita memerlukan waktu satu sampai dua jam untuk tahu hasilnya. Jadi, kamu ingin di sini atau pulang dulu? Jika kamu pulang, nanti aku akan mengabarimu lagi jika sudah keluar hasilnya.”
“Sepertinya aku pulang saja, Seno,” ucapku. Aku tidak ingin mengganggu Suseno, jadi aku memutuskan untuk pulang saja. “Seno, tolong rahasiakan ini dari suami dan juga keluargaku.”
Suseno mengangguk kecil. “Ya. Kamu tenang saja, Bila.”
“Terima kasih banyak, Seno.”
“Sama-sama, Bila. Dan ingat, selalu gunakan masker dan istirahat yang cukup.”
Aku tersenyum kecil. “Ya.”
“Kalau begitu aku pulang dulu, Seno. Kabari aku kalau hasilnya sudah keluar.”
“Ya. Hati-hati di jalan, Bila.”
Aku pun segera meninggalkan ruang kerja Suseno. Aku pun menuju ke parkiran. Pak Jamil menungguku di dalam mobil saat aku tiba di parkiran.
“Pak, pulang saja,” pintaku pada Pak Jamil.
“Baik, Nyonya.”
Pak Jamil pun menjalankan mobil menuju rumah.
Di sepanjang perjalanan, aku terus terngiang dengan apa yang diucapkan oleh Suseno. Aku benar-benar tidak tahu bagaimana aku bisa terkena penyakit TB paru. Aku yakin keluarga dan teman-temanku tidak ada yang mempunyai penyakit seperti itu.
Aku juga tidak pernah melakukan perjalanan ke tempat kumuh. Tidak berhubungan dengan orang yang tidak kukenal. Lalu, bagaimana aku bisa tertular?
Aku berharap penyakitku ini bisa segera sembuh setelah menjalani pengobatan. Jadi, selama masa pengobatan, aku akan berusaha sebisa mungkin merahasiakan semua ini dari keluargaku, terutama Mas Herman.
“Nyonya, sudah sampai,” suara Pak Jamil menyadarkanku dari pikiranku yang kacau.
Aku tersenyum kecil. “Terima kasih, Pak,” ucapku sebelum keluar dari mobil.
Aku memasuki rumah dan langsung menuju ke kamar. Tubuhku terasa lemas. Hampir tiga minggu ini aku memang merasa tubuhku lemas dan berat badanku menyusut sedikit demi sedikit.
Aku sudah mengalami batuk selama hampir tiga minggu. Kupikir batuk biasa dan meminta pelayan membelikanku obat di apotek. Tidak pernah terbayangkan bahwa batuk yang kuderita adalah ciri-ciri dari penyakit TB paru.
Jika bukan desakan dari Mas Herman yang memintaku memeriksakan diri, mungkin aku tetap berpikir bahwa aku hanya terkena batuk biasa. Sedikit banyaknya aku bersyukur karena mengikuti perintah Mas Herman untuk memeriksakan diri.
Tepat saat aku tiba di kamar dan menutup pintu, ponselku berdering. Tertera nama Mas Herman di layar ponselku. Seketika aku menjadi gugup dan sulit menelan air liurku. Aku mencoba menenangkan diri sebelum mengangkat panggilan telepon darinya.
“Halo, Mas?”
“Halo, Sayang, bagaimana? Apa kamu sudah memeriksakan diri ke dokter?”
Air liur yang kutelan terasa sakit di tenggorokan. “Ya. Aku baru saja pulang dari rumah sakit,” jawabku mencoba tenang meski dadaku berdebar kencang. Keringat dingin perlahan membasahi telapak tanganku.
“Bagaimana hasilnya?
Aku kembali terdiam untuk sesaat sebelum menjawab, “Hasilnya aku hanya terkena batuk biasa saja, Mas. Jadi Mas tidak perlu khawatir. Mas bekerja dengan tenang di sana supaya bisa cepat pulang.”
Aku benar-benar merasa sangat bersalah karena telah membohongi Mas Herman. Tapi aku tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya. Aku tidak mau berpisah dengan Mas Herman.
“Syukurlah kalau begitu. Istirahatlah yang cukup. Perbanyak minum air putih.”
“Baik, Mas.”
“Aku merindukanmu, Sayang.”
Hatiku sedikit menghangat mendengar ucapan Mas Herman. “Aku juga merindukanmu, Mas. Hati-hati di sana. Jangan lupa jaga kesehatan Mas juga. Jangan sampai sakit.”
“Baiklah. Istriku Tersayang. Baiklah, kalau begitu kututup dulu teleponnya.”
“Iya, Mas.”
Setelah mengucapkan kata-kata cinta, Mas Herman pun mematikan sambungan telepon.
Tubuhku seketika merosot ke lantai. Air mata berderai deras membasahi wajahku.
Kehangatan dan keromantisan Mas Herman membuatku takut. Takut jika aku tidak bisa merasakannya lagi jika dia mengetahui penyakitku.
Cukup lama aku menangis meratapi nasibku. Dering ponsel menyadarkanku dari meratapi diri. Aku menghapus air mataku dengan kasar sebelum mengambil ponselku. Tertera nama Suseno pada layar ponselku. Buru-buru aku menerima panggilan Suseno.
“Halo, Seno, bagaimana?” tanyaku dengan suara serak.
“Bila, kamu menangis?” bukannya menjawab, Suseno justru bertanya balik padaku.
Aku menggigit bibir bawahku sebentar sebelum menjawab. “Ya.”
Terdengar Suseno menghela napas dari seberang telepon. “Datanglah ke rumah sakit. Hasil tesmu sudah keluar.”
“Baiklah. Aku ke sana sekarang.”
Aku segera mematikan sambungan telepon. Lalu berlari ke kamar mandi yang berada di kamarku. Mencuci wajahku dan memperbaiki riasanku. Tidak lupa memberikan obat tetes mata untuk menghilangkan warna merah mataku akibat menangis.
“Pak Jamil, antar saya kembali ke rumah sakit,” pintaku saat melihat Pak Jamil di depan rumah.
Aku dan Pak Jamil pun langsung memasuki mobil. Pak Jamil mengendarai mobil meninggalkan rumah dan menuju ke rumah sakit.
Sesampainya di rumah sakit, Suseno langsung memberitahuku mengenai hasil pemeriksaan. Aku menghela napas lega ketika Suseno mengatakan TB paruku tidak berbahaya, sebab sudah terdeteksi sejak dini. Sehingga virus tidak menyebar ke organ tubuhku yang lain dan bisa disembuhkan jika aku mengikuti anjurannya.
Suseno memberiku obat. Dia memintaku untuk meminum obatnya tepat waktu setiap hari. Lalu rutin memeriksakan diri ke rumah sakit.
“Bila,” panggil Suseno begitu selesai membahas mengenai penyakitku.
“Ya?” aku menatap Suseno.
“Apa kamu baik-baik saja?”
Aku mengernyit, bingung dan heran kenapa Suseno tiba-tiba bertanya seperti itu. Tapi aku segera ingat dan mengangguk kecil. “Ya. Aku baik. Kamu tidak perlu khawatir, Seno,” ucapku menenangkan Suseno.
“Jika ada apa-apa, kamu bisa cerita padaku. Jangan memendam semuanya sendiri. Ingat, kamu harus banyak istirahat dan jangan sampai stres. Jika tidak, itu bisa memperparah penyakitmu.”
Aku tersenyum kecil. “Ya. Aku akan mengingat semua nasihatmu, Seno. Baiklah, kalau begitu aku pulang dulu.”
Aku pun segera meninggalkan rumah sakit. Kini perasaanku sedikit lebih nyaman. Aku pun pulang ke rumah dengan semangat membara untuk bisa sembuh.
Enam bulan.
Aku hanya perlu berjuang selama enam bulan untuk sembuh. Jika aku mengikuti anjuran Suseno, maka setelah enam bulan, aku akan sembuh dari penyakitku.
Namun, sesampainya di rumah, aku dikejutkan dengan keberadaan Mas Herman. Dengan senyum lebar, Mas Herman memeluk dan menciumi seluruh wajahku. Aku menghindar saat Mas Herman ingin menciumku di bibir.
Kening Mas Herman berkerut. Kebingungan dan keheranan terpancar jelas pada raut wajahnya. Seketika keringat dingin membanjiri tubuhku.