bc

Setelah Delapan Belas Tahun

book_age16+
208
IKUTI
1.2K
BACA
possessive
friends to lovers
arrogant
badboy
goodgirl
drama
brilliant
highschool
school
roommates
like
intro-logo
Uraian

Di umur delapan belas tahun, Johana merasakan arti hidup yang sebenarnya. Naik turun perasaan manusia hingga kebahagiaan yang dicarinya. Bertemu Candra bukanlah kebetulan melainkan takdir yang sudah ditentukan oleh Tuhan. Lelaki menyebalkan yang berhasil membuatnya jatuh cinta namun terhalang restu orang tua dan juga adanya orang ketiga.

Cinta, rasa, derita, luka, dan kecewa. Menjadi bukti bahwa semesta seringkali membolak-balikan cerita.

Saling mencintai dan juga menyakiti. Hubungan mereka kusam dan rapuh. Entah mereka akan memperbaiki puing-puing itu atau mencari kapal yang baru?

chap-preview
Pratinjau gratis
Bagian Satu
"Aku pulang." Suara berat itu menghampiri gendang telinga Sarah bersamaan dengan suara bantingan pintu yang cukup keras. Sarah memejamkan mata sejenak sebelum melirik jam dinding yang menunjukkan jam 3 dini hari. Sementara pria jangkung yang sedang duduk bersandar di ruang tamu itu memijat pelipisnya yang terasa pening. Detik berikutnya, pria itu mengambil satu botol minuman keras yang dibawanya tadi. "Hentikan kebiasaan burukmu ini, mas Tio! " Pekik Sarah langsung mengambil botol yang dipegang Tio secara paksa lalu membanting nya. Seketika itu Tio melotot, "apa-apaan kamu?!" Bentak Tio sambil mendorong Sarah hingga terjatuh di lantai. Lalu menarik paksa rambut Sarah hingga wanita itu mendongak kesakitan. "Sakit mas, lepaskan." Pinta Sarah memohon. Alih-alih melepaskan cengkraman nya, tangan Tio yang lainnya justru mendaratkan tamparan tepat di pipi kiri Sarah. "AYAHHHH!" Teriak seorang gadis yang baru keluar dari kamarnya. Kemudian ia melepaskan cengkraman Tio lalu memeluk Sarah, ia berusaha menenangkan ibunya yang terisak. "Kepala rumah tangga macam apa ayah ini, hah?" Mata Johana kini melirik ke pecahan botol yang dibanting Sarah tadi. "Mabuk lagi?" Tanya Johana mendengus benci. Napasnya naik turun berusaha menahan emosi. Sementara Tio berjalan cuek mengambil gelas. Dia teguk habis air putih tanpa mempedulikan keduanya. "Kenapa ayah seperti ini, hah? Mana ayah Hana yang dulu? Ayah yang selalu menjadi panutan bagi putrinya, ayah yang selalu mendukung anaknya, suami yang menyayangi istrinya. Kemana perginya semua itu, Ayah?" Teriak Johana lantang. Persetan dengan tetangga yang mendengar semua pertikaiannya. Tio diam sejenak. Seperti sedang menata kalimat demi kalimat untuk membalas ucapan putrinya. "Coba kamu tanyakan pada ibumu yang tercinta itu." Sahut Tio menunjuk Sarah dengan penuh kebencian. Johana mengerutkan dahinya, "apa yang sebenarnya mereka sembunyikan?" Gumam Johana dalam hati. Tio berjalan menuju kamar sebelum akhirnya dihalangi oleh Johana. "Apa yang tidak Johana ketahui disini?" "Tanyakan pada w***********g itu saja, ayah ingin istirahat," Sahut Tio santai. Sementara kalimat yang dilontarkan Tio berhasil membuat mata Johana hampir copot. w***********g? Ibunya? Apa maksudnya? "Minggir!" Sentak Tio sambil mendorong Johana kesamping. Johana tersentak lalu memilih untuk diam sejenak, memikirkan apa kemungkinan yang terjadi dalam rumah tangga orang tuanya ini. Rumah tangga yang dulunya begitu harmonis, dipenuhi dengan kebahagiaan, bahkan jarang sekali ia merasa sedih. Johana menghela napas berat, lalu menghampiri ibunya yang masih tergeletak lemah di lantai. "Apa yang sebenarnya terjadi, bu?" Sarah terdiam lalu tersenyum singkat, "hanya kesalahpahaman, sayang." Ujar Sarah mengelus rambut Johana teratur. "Kesalahpahaman?" Suara berat itu terdengar lagi, sudut bibir kanannya terangkat seolah meremehkan. Tio kini berada di ambang pintu kamar sambil melipat kedua tangannya di depan d**a lalu memalingkan wajahnya kesamping dan mendengus. "Kau bilang kesalahpahaman? Padahal jelas-jelas aku melihatmu tidur dengan Roni si penjilat itu. Entah karena aku yang bodoh sebab terlalu nyaman dengan kebahagiaan kita atau kau yang terlalu cerdik menyamar seperti malaikat tapi berhati iblis, sehingga aku tidak menyadari kalau kau bermain di belakangku, Sarah! Dan sekarang? Kau bilang tidak terjadi apa-apa sementara rumah tangga kita sudah diujung tanduk. Selama ini aku menahan diri supaya Johan— "MAS! APA YANG KAU BICARAKAN?" "Apalagi kalau bukan perselingkuhanmu dengan Roni itu, cih! Benar kata orang, setia itu mahal, hanya orang murahan saja yang akan melakukan perselingkuhan." Cetus Tio dengan penuh dendam. Johana yang sedari tadi menjadi pendengar hanya terdiam dan tak terasa air matanya mulai menetes perlahan. "Itu tidak seperti yang kamu pikirkan, nak." Lirih Sarah mencoba meyakinkan Johana. Johana langsung menangkis tangan Sarah. "Aku pikir gosip itu hanya bualan masyarakat sini. Aku pikir ibuku, wanita yang paling aku sanjung tidak mungkin melakukan hal itu. Tapi kenyataan memang selalu sepahit ini. Hal yang lebih menyakitkan dari dibohongi adalah menemukan kebenaran dari orang lain. Dan itu benar, ini benar menyakitkan." Tukas Johana, nadanya mulai melemah. Ia tidak mengerti mengapa dunia mempermainkannya seperti ini. Johana langsung berdiri sembari merapatkan kedua rahangnya berusaha untuk tetap tegar. Sarah meraih kaki Johana, anak semata wayangnya. "Ibu bisa jelaskan semuanya, nak." "Menjelaskan apalagi, Bu? Sudah jelas kalau perselingkuhan itu tidak akan ada pembenarannya. Apapun itu alasannya. Aku tau, aku belum menginjak masa dimana merasakan naik turun permasalahan rumah tangga. Tapi aku tau bahwa Pengkhianatan itu salah." Teriak Johana menekankan kata diakhir kalimatnya. Lalu ia menyingkirkan tangan Sarah dari kakinya. "Lepasin." Sarah melepaskan tangannya dari kaki Johana, kemudian berdiri. "Ini semua salah ayahmu, dia tidak memberi uang belanja yang cukup untuk kita. Ibu terpaksa menjadi simpanan pak Roni agar bisa tetap membiayai kamu sekolah." Tio melotot tak percaya dengan apa yang dikatakan istrinya. Padahal ia banting tulang berangkat pagi pulang malam untuk memberi tunjangan hidup yang layak untuk istri dan putrinya yang tercinta. Tio juga merasa kalau selama ini uang yang ia berikan kepada Sarah cukup untuk melanjutkan kehidupan mereka. Tapi ini? Mengapa Sarah memberikan alasan yang justru berbeda jauh dengan fakta? Sontak Tio mendekati Sarah lalu mencengkram lengan istrinya penuh amarah. "Jangan membual, Sarah! Kau bersembunyi dibalik perekonomian kita yang sebenarnya sudah lebih dari cukup, hah? "Aku tidak membual, mas. Memang benar kalau selama ini kita hidup bercukupan, tapi lihatlah ibu-ibu komplek lain memiliki perhiasan yang dibelikan suaminya. Memang mas Tio pernah membelikannya untuk saya? Tidak kan?" Ketus Sarah membuat kepala Tio semakin pusing akibat alkohol yang diminumnya. Johana hanya tersenyum sinis mendengar jawaban ibunya. "Dalam artian, ibu menjadi simpanan pak Roni hanya untuk kesenangan ibu pribadi, kan? Bukan karena ingin memberikan tunjangan pendidikan yang layak untuk Johana." Desis Johana memutar kedua bola matanya malas. "Bukan begitu maksud— " Sudahlah, Bu. Aku malas berdebat. Percuma." Imbuh Johana sebelum akhirnya masuk kedalam kamar. Perdebatan sengit tak terelakan lagi. Orang tua Johana saling menuduh dan menyalahkan. Iklim di dalam rumah terasa panas, membakar satu persatu janji sumpah setia yang mereka ucapkan dulu. Satu-satunya yang menjadi pendengar setia pertengkaran suami istri ini adalah Johana. Awal mulanya ia merasa cemas, khawatir akan pertengkaran tersebut yang mungkin bisa berakhir perceraian. Namun lambat laun, Johana sudah tidak peduli. Johana kebal, ia tidak berpihak. Perdebatan itu masih berlanjut hingga akhirnya Sarah memilih diam tak membalas dan tak ingin berdebat lama. "Sekarang biar Johana yang memilih, mau ikut ibunya atau ayahnya?" Ucap Sarah sebelum akhirnya pergi ke dalam kamar. Johana menggigit bibir bawahnya menahan tangis di dalam kamar. Peristiwa yang ia takutkan akhirnya terjadi juga. Bertahun-tahun Tio menahan kekokohan rumah tangganya. Keharmonisan terus menerus ia coba pupuk dengan kesederhanaan namun itu semua tidak bisa terbendung oleh faktor orang ketiga. Pada akhirnya, runtuh juga. *** Johana kabur. Ia ingin pergi sejauh-jauhnya. Johana tak ingin berpihak, ia tak mau memilih diantara keduanya. Ia benci karena semua kehidupannya adalah kebohongan. Semakin ia tak ingin percaya pada siapapun di dunia ini. Baru 2 minggu Johana dinyatakan lulus sekolah menengah atas, seharusnya ia hanya cukup memilih 2 opsi untuk melanjutkan masa depannya. Kerja atau kuliah. Semasa kelas 3 SMA, ia berpikir mungkin ia bisa melakukan keduanya meskipun sepertinya akan sangat menguras tenaga dan pikiran. Ia pun tak tahu jika takdirnya akan seperti ini, mengalami masalah keluarga yang membuatnya semakin bingung dengan arti "aku hidup untuk apa?" Kini yang perlu Johana pikirkan yaitu harus menyewa kost terlebih dahulu. Karena mulai detik ini, ia akan menjalani hidup sendiri. Ia harus mandiri. Embun di ujung daun, malam menjelang pagi. Johana pergi dari rumahnya setelah pertikaian itu. Dengan berbekal pakaian, surat surat penting serta tabungan yang dimilikinya, ia hanya perlu mental dan tekad untuk menjalani kehidupan yang keras ini. Di pinggir jalan Johana berdiri. Ia celingak celinguk menanti bus yang akan membawanya entah tujuan mana yang akan ia kunjungi. Persetan dengan rumah! Itu bukanlah rumah. Itu hanyalah panggung sandiwara orang tuanya. Tiba-tiba sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi, membuat genangan air didepan Johana mengenai bajunya. "Orang kaya sialan!" Umpat Johana bersamaan dengan datangnya bus dari arah timur. Johana masuk ke dalam bus dengan kondisi baju yang cukup basah, persetan dengan bisikan orang-orang yang ada di dalam bus. Kemudian ia memilih duduk di pojok pada kursi yang ada di bagian paling belakang, pandangannya menatap keluar jendela. Ia menekuk wajahnya muram. "Sialan! Sialan! Sialan!" Teriak Johana sambil mengacak rambut hingga tak beraturan. Semua orang menatapnya heran, dan tentu saja Johana tak mempedulikan hal itu. Ia hanya ingin melampiaskan rasa kesalnya. Bus berhenti di halte selanjutnya. Ia menghela napas panjang. Mengapa harus ada banyak pemberhentian. Ia hanya ingin cepat sampai tujuan. "Maaf, apa saya boleh duduk disini?" Johana mengalihkan pandangan dan mendapati seorang laki-laki tinggi berkulit s**u dengan tersenyum ramah kepadanya. Johana menganggukkan kepalanya lalu menggeser duduknya. Kemudian ia kembali menatap keluar jendela, ia termenung sambil melihat silih berganti manusia yang sedang melakukan kegiatan mereka masing-masing. Manusia, tiap kisahnya berbeda namun akhirnya tetap sama. *** "COPET!!! COPET!!!" Suara nyaring seorang gadis berusia 18 tahun mengagetkan seluruh orang yang ada di terminal pagi itu. Beberapa pemuda dan pria dewasa mulai berkerumun di salah satu sudut sebelum akhirnya mereka berlari ke arah barat, mengejar seseorang yang diteriaki copet oleh gadis yang tak lain ialah Johana. Orang-orang tersebut terus berlari sambil meneriakan kata-k********r untuk sang pencopet, namun sepertinya kekuatan orang yang mereka kejar lebih besar sehingga sekarang si pencopet berhasil lolos dari kejaran warga. Orang yang dipanggil copet itu akhirnya berbelok ke arah gang sempit dan gelap, ia menghembuskan napas lega sebelum akhirnya tubuh itu merosot dan terduduk di tanah, mencoba menormalkan detak jantungnya yang berkerja lebih keras dari biasanya. Tangannya bergerak merogoh tas yang baru saja dicopetnya, mengeluarkan sebuah dompet yang berisi puluhan lembar uang cash. "500, 600, 700 Ia tersenyum senang sebelum akhirnya memasukkan lembaran rupiah itu ke saku jaket, menegakkan tubuhnya yang terduduk di tanah dan mulai berjalan menyusuri gang sempit tadi. Tangan besarnya membolak-balikan dompet dan mengambil satu persatu kartu yang ada didalamnya. Johana Gamalria. Nama yang tertera pada kartu tanda siswa. "Jadi gadis itu masih siswa SMA?" Gumam pria berjaket jeans dalam hati. "Abang!" Ia mendongakkan kepalanya kaget saat mendengar suara seorang gadis yang sangat ia kenal, tangan kanannya bergerak cepat menyembunyikan tas kecil yang dipegangnya tadi di balik tubuh berototnya. "Apa yang kau sembunyikan?" Gadis itu mengerutkan keningnya heran melihat tangan lelaki itu yang berada di balik tubuhnya, pria itu tersenyum manis. "Kau sudah pulang? Apa yang terjadi di sekolah hari ini?" Tanya lelaki itu, mencoba mengalihkan perhatian dengan memulai topik baru yang terasa sangat basi bagi gadis di depannya. "Jangan mengalihkan pembicaraan, apa yang kau sembunyikan?" Ujar gadis itu dengan nada menuntut. “Tidak ada apa-apa, Alin. Aku sudah tidak sabar mendengar cerita tentang tempat belajar barumu itu…” Gadis yang baru saja dipanggil Alin itu menghembuskan napasanya kesal, matanya menyipit tajam melihat tangan besar yang berada di balik tubuh itu menyembunyikan sesuatu, dan akhirnya tanpa bisa dicegah, tangan mungilnya bergerak cepat merebut benda yang sedari disembunyikan kakaknya di balik punggung. Beberapa detik kemudian matanya membelalak kaget melihat dompet berwarna hitam yang berada di genggaman tangannya. “Alin, aku bisa menjelaskannya.” “Apa yang kau lakukan, bang Angga?” gadis itu menatap tajam kakaknya, perasaan kecewa dan marah ia perlihatkan lewat sorot matanya. “Aku tidak punya pilihan lain.” Sahut pria yang dipanggil Angga tadi menghembuskan napas beratnya. “Tapi tidak dengan cara seperti ini, bang. Apa yang kau lakukan jika orang yang kau copet berhasil menangkapmu? Kau hanya bisa menambah beban hidup kita jika kau masuk penjara!” teriaknya kesal. Ucapan Alin berhasil menohok hati Angga. Angga menatap Alin lekat sambil mengepalkan tangannya. “Aku tahu, kamu belum makan dari kemarin sore. Kau pikir aku akan diam saja melihatmu kelaparan, hah?” Angga berdecak sebal lalu memalingkan wajahnya ke arah lain. “Aku sedang diet.” Ujar Alin setelah beberapa saat merka terdiam, ia mengghela napas berusaha tidak melanjutkan perdebatan ini. Angga menolehkan wajahnya kemudian menatap adiknya dengan tatapan meremehkan. “seorang gadis dengan tubuh mungil sepertimu melakukan program diet? Cih! Lucu sekali.” “aku tidak mau tau, abang harus mengembalikan tas itu kepada pemiliknya atau aku akan keluar dari rumah dan meninggalkan abang.” Ancam Alin menatap kakaknya tajam. Ia tak pernah main-main dengan ucapannya. Angga sangat memahami hal itu. “Baiklah, abang akan mengembalikannya. Tapi kau juga harus ikut, aku tidak tau bagaimana cara meminta maaf.” Alin mengangguk pertanda menyanggupi keputusan kakaknya. *** Johana kini frustasi setengah mati. Uang tunai yang ada di dompet itu memang tidak seberapa, namun banyak kartu penting di dalamnya. Dengan Langkah menyerah, ia menelusuri setiap jalan setelah para warga mengatakan bahwa pencopetnya berhasil kabur. Air matanya mengalir membasahi pipinya. Mengapa dunia tetap sama saja? Ia berharap ini hanya mimpi buruk yang akan segera ia lewati untuk satu malam, lalu keesokan paginya ia bangun dan mendapati keberuntungan. Tapi sialnya, ini benar-benar kenyataan. Hal itu membuatnya semakin tertampar oleh kenyataan, dihajar mimpi, dan diperdaya keadaan. Di depan sana tampak ada taman mini yang cukup nyaman untuk beristirahat. Johana memilih duduk di kursi dekat air mancur kecil yang dihiasi banyak bunga di sekelilingnya dan juga terdapat ikan hias di kolamnya. Ia mengehela napas berat sambil mengusap wajahnya kasar. “b******n!” Teriak Johana meluapkan seluruh amarahnya. Kemudian menunduk pasrah. “Permisi kak.” Suara lembut seorang gadis berhasil membuat Johana mendongak, lalu menatap pemilik suara tersebut yang ternyata sudah ada di depannya. Johana terdiam sejenak dan mengerutkan dahinya bingung. Siapa gadis ini? “Bolehkah aku duduk disini?” Johana mengangguk pelan. “Alin.” Ujar gadis mungil tersebut seraya mengulurkan tangan kanannya dan tersenyum simpul. Johana menerima uluran tangan itu lalu menggenggamnya. “Johana.” Mereka terdiam beberapa saat sebelum akhirnya Alin memanggil Angga dengan Bahasa isyarat. Namun Johana masih belum menyadari Angga yang sudah berada di sebelah Alin. "Kak Hana?" Panggil Alin membuat Johana menoleh ke arahnya dan sontak terkejut saat melihat seorang pria yang sedang duduk di sebelah Alin. Mata Johana melotot tak percaya, ia langsung berdiri mendekati pria itu. Kemudian Johana mencengkram kerah jaket pria itu. "Kau yang mencopet tasku tadi, ya? Kembalikan tasku, dasar maling!" Teriak Johana sambil memukuli Angga sangat keras dan berulang kali. Angga merintih kesakitan seraya menarik lengan Alin berniat supaya si adik membantunya melepaskan pukulan gadis barbar yang ada di depannya tersebut. "Bantu abang, Lin." Bisik Angga pasrah menerima pukulan maut Johana. "Bisa-bisanya orang secakep kamu, malah jadi copet. Jadi model kan masih bisa, atau artis ftv gitu." Celetuk Johana yang tak henti-hentinya memukul Angga. Sementara Alin terkekeh geli mendengar ocehan gadis yang umurnya selisih 3 tahun dengan dirinya. Angga melirik adiknya sebal, mengumpat dalam hati. "Sudah sudah, Kak. Ini tasnya." Alin mengeluarkan tas kecil dari ransel sebelum akhirnya ia berikan pada Johana. "Ah! Tasku." Ujar Johana langsung meraih tas miliknya. Kemudian ia memeriksa semua barang yang ada di dalamnya. Tak ada yang kurang sedikit pun. "Maafkan abang saya ya kak, sekali saya minta maaf." Pinta Alin menundukkan kepala berulang kali. "Kakak kamu yang mencopet tasku, Kenapa kamu yang minta maaf?" Sahut Johana membuat Alin langsung menatap tajam kakaknya seolah memberi kode untuk segera meminta maaf sendiri. "Maaf." Singkat. Jelas. Padat. Namun tak memberikan kesan penyesalan sedikitpun. Johana mengernyitkan dahinya heran, lalu mengangkat sudut bibir kanannya. "Begitukah cara meminta maaf dengan benar?" Pekik Johana sedikit mengejek. Sedangkan Alin langsung meraih tangan kakaknya untuk disatukan dengan tangan Johana. "Minta maaf yang bener, bang." Angga menghela napas berat. Lalu, ia memutar kedua bola matanya malas. "Saya, Angga Putra Pramoedya berniat untuk meminta maaf kepada gadis didepan saya. Karena telah mencopet barangnya yang berharga. Saya harap anda menerima permintaan maaf dari saya. Cukup sekian, terima kasih." Cetus Angga panjang lebar menggunakan bahasa baku. Kemudian, ia melepaskan komtak tangan dengan Johana dan mengalihkan pandangan. Sementara Alin dan Johana terkekeh geli melihat tingkah satu-satunya pria yang ada disana. Permintaan maaf model apa ini? "Haruskah aku juga menulis permintaan maaf yang bertanda tangan di atas materai?" Imbuh Angga melirik Johana. Johana tersenyum singkat. "Salah itu wajar. Kamu cuma perlu meminta maaf, belajar, lalu berusaha menghindari kesalahan kedua." Sahut Johana lembut seraya menatap Angga lekat. Kemudian ia kembali duduk disebelah Alin. Mereka terdiam beberapa saat sebelum akhirnya Alin menatap Johana dari bawah sampai atas. Barang yang dibawa Johana sangat banyak. Apakah ia akan merantau? "Kalau boleh tau, Kak Hana akan pergi kemana?" Johana tersentak, lalu ia tersenyum paksa. "Sebenarnya hari ini aku kabur dari rumah, hmmm... untuk saat ini aku mau mencari tempat tinggal." Sahut Johana sambil mengelus tengkuk leher. "Kalau begitu, kakak bisa tinggal di kosan tempat kami tinggal. Kebetulan ada satu kamar kosong." "Beneran?" "Iya kak. Kami akan berbicara pada ibu kost terlebih dulu." Angga melotot tak percaya. "Tidak boleh." Sentak Angga tak suka. Alin menatap kakaknya memelas. Sementara Angga acuh tak acuh dan memilih meninggalkan mereka berdua. Johana sedikit kecewa melihat respon Angga. Namun ia berusaha terlihat baik-baik saja. "Tidak apa-apa, dek. Kakak cari kosan lain saja." Ujar Johana tersenyum simpul. "Maafkan abang saya ya kak." "It's okay. Pulanglah, kakakmu menunggumu." "Sampai jumpa, kak. Semoga kita bisa ketemu lagi." Alin melambaikan tangan sembari tersenyum lima jari sebelum akhirnya ia mengikuti kakaknya. Kini Johana sendiri. Duduk di kursi sambil menatap layar ponselnya yang dipenuhi panggilan tak terjawab dari ayah, ibu, dan juga Dafa, sahabatnya. Johana terdiam beberapa saat lalu memutuskan untuk menekan tombol hijau menyambungkan saluran telepon dengan Dafa. "Kamu dimana?" Pekik Dafa dengan nada tinggi. "Disini." "Dimana, Na? Kamu kabur dari rumah kan? Ayahmu yang memberitahuku." "Heem, aku kabur." Sahut Johana enteng. "Kamu gila hah? Kalo ada apa-apa, cerita ke aku. Jangan asal menghilang. Kita kenal gak bentar. Kita kenal udah dari lahir. Jangan menganggapku seperti orang asing. Kamu bisa minta tolong ke aku." Celetuk Dafa membuat Johana semakin pening. "Udah ngomelnya? Nanti aku telpon lagi. Aku harus nyari kosan dulu. Bye!" Ucap Johana memutuskan sambungan telepon sepihak. Ia menghela napas berat. Kemudian berdiri dan melangkahkan kaki gontai sembari membawa koper berat yang berisikan barang-barang miliknya. Hari ini, ia harus mendapatkan tempat tinggal. *** Sementara itu di sisi lain, Angga dan Alin sedang berada di sebuah kamar kecil sekarang, kamar itu hanya berukuran 5x4. Kini mereka berdua sedang duduk berhadapan, sedangkan Alin menatap makanan di depan mereka beberapa saat. "Kau tidak akan kenyang jika hanya memandang makanan itu tanpa memasukkannya ke dalam mulutmu." Suara Angga memecahkan keheningan mereka di ruang kecil itu, Alin menatap kakaknya malas lalu menyisihkan makanan itu dari hadapannya "Aku tidak mau memakan makanan dari hasil pencurian." Ucapan tajam gadis itu berhasil mengehentikan gerakan mulut Angga yang sedang fokus mengunyah makanannya, ia menghembuskan napasnya berat. "Lin, bisa gak berhenti berdebat sama abang? Abang semakin bersalah. Abang yang bertanggung jawab sepenuhnya sama kamu, mana mungkin abang membiarkanmu kelaparan dan menunggu sampai aku mendapat gaji, itu terlalu lama. Lagipula, uang gadis tadi sudah abang kembalikan, kan?" Angga menatap wajah Alin dengan mata sendunya, membuat gadis itu merutuki dirinya sendiri yang selalu terbuai oleh mata teduh kakaknya. "Aish… perutku pasti menangis karena memakan makanan penuh dosa terus menerus." Umpatan-u*****n kasar terus saja keluar dari mulut gadis itu seiring dengan tangannya yang mulai bergerak memasukan makanan-makanan itu ke dalam mulutnya, membuat Angga tersenyum lega lalu mengusap kepala Alin sayang. "Abang janji, ini yang terakhir."

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Siap, Mas Bos!

read
14.2K
bc

My Secret Little Wife

read
100.5K
bc

Tentang Cinta Kita

read
191.7K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
207.5K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.8K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.8K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook