"Jangan deket-deket Aland, Gavin nggak suka!"
Kalimat sederhana itu terus terngiang bagai kaset rusak dikepalanya, menjadikannya sedikit tidak fokus pada game diponselnya.
Pun otak kecil Aily tidak dapat memprosesnya sesederhana kalimatnya. Karena bagi Aily semua orang sama, baik. Selama mereka sudah meminta maaf dan menyesali kesalahannya.
Termasuk Aland.
Sebelum kecelakaan yang menimpanya tujuh tahun lalu, Aily adalah gadis yang pintar, bahkan untuk usia yang baru menginjak usia sembilan tahun kala itu. Aily adalah gadis kecil yang pintar dan aktif, sering mendapat juara pertama dikelasnya.
Namun sejak kecelakaan itu, semua berubah, dokter mengatakan jika Aily akan mengalami perubahan mental akibat kecelakaan itu. Dan itu benar, Aily jadi terhambat dalam belajar dan memahami.
Semua kembali seperti Aily baru bisa bicara untuk yang pertama kali. Mentalnya tak sesuai dengan usianya.
Sejak saat itu orang tua, apalagi Papa Aily tidak pernah mengijinkan Puteri mereka untuk keluar, bahkan hanya untuk sekolah. Homeschooling, Aily belajar dirumah hingga kelas delapan SMP.
Oleh karena itu Aily sangat polos bak anak kecil, karena orang tuanya hanya mengajarkan hal yang perlu diketahui oleh anak kecil, bukan anak seusianya.
Namun akhirnya karena bujukan Mama pada Papa, Aily bisa keluar rumah dan Gavin sebagai penjaga Aily tentunya.
Selama diluar rumah Aily adalah tanggung jawab Gavin.
Pun Gavin yang iba akan keadaan Aily hanya menerima saja, jujur ia menyayangi Aily seperti adiknya. Gavin menyayangi Aily tulus, karena itu ia tidak suka jika Aily dihina karena kepolosannya.
Gavin memang tidak mencintai Aily—pun ia memang telah berjanji untuk tidak melakukannya, namun tetap saja, ia tak bisa menerima kedekatan Aily dengan laki-laki lain.
Ia tidak suka saat pria lain dekat dengan Aily, apalagi Aland yang notabene-nya bukanlah pria baik-baik. Gavin tahu jika Aland sering hangout dengan geng motornya, dan kerap kali membuat onar.
Tentunya ia marah saat Aily dekat dengan Aland, apalagi kemarin ia sempat melihat tatapan Aland yang berbeda pada gadisnya.
Kembali pada saat ini, Aily hanya termenung, masih memikirkan kalimat Gavin setelah Aily bertanya mengapa ia tak boleh dekat dengan Aland. Padahal menurutnya Aland orang yang cukup baik.
"Kenapa? Aland kan baik, dia juga mau nganterin Aily pulang," cicit Aily saat Gavin masih sibuk dengan kegiatannya mengeringkan rambut Aily.
"Aland bukan orang baik, dan Aily jangan deket-deket apalagi temenan sama dia. Gavin gak mau Aily kena pergaulan yang gak baik nanti," jelas Gavin sedikit kesal.
"Pergaulan tuh, apa?" tanyanya polos.
Gavin memutar bola matanya malas. Rasanya Aily perlu diajari sesuatu supaya gak b**o-b**o amat.
"Pokoknya Aily gak boleh deket-deket Aland," final Gavin. Sedangkan Aily hanya terfokus pada gamenya.
"Denger gak?"
"Aily,"
"Denger gak Gavin ngomong?!" Gavin dengan suara yang dia naikkan dan merampas ponsel Aily, pun Aily hanya menunduk dan bergetar ketakutan akan suara Gavin.
Pemuda itu menyibak rambut kasar, tersadar akan perilakunya yang terbilang sudah keterlaluan.
"Maaf... " lirih Gavin, lalu duduk disebelah Aily dan menggenggam tangan yang bahkan tidak dibalas gadis itu.
"Maaf... " lirih Gavin kedua kalinya. Ia mengusap rambut Aily pelan.
"Kamu ganti baju dulu ya, terus tidur."
Aily hanya mengangguk lalu beranjak menuju closet untuk mengganti bathrobenya dengan pakaian tidur.
Setelahnya Gavin menggiring Aily untuk tidur, Aily berbaring.
"Baca doa," titahnya, pun Aily kembali mengangguk. Gavin dengan sabar mengelus kepala Aily agar gadis itu cepat tidur.
"Gavin,"
"Hmmm."
"Aily sayang Gavin, jangan marah-marah mulu. Aily gak suka." Gadis polos itu lalu memeluk lengan Gavin.
"Iya, maaf," balas Gavin dan mengelus kepala Aily lagi.
"Gavin,"
"Hmmm."
"Aily belum ngantuk. Ayo kita main game aja." Aily lalu menarik tubuhnya dan beranjak menuju lemari kecil dan mengambil kotak berisi mainan Aily.
Aily membuka kotak kayu yang sudah sedikit berdebu itu, lalu ia mulai mengobrak-abrik seperti sedang mencari sesuatu.
"Yeay," sorak Aily setelah menemukan permainan yang ia cari dari tadi.
"Ayo main ular tangga, yang kalah wajahnya dicoret pake spidol," tantang Aily dan mendapat anggukan semangat dari Gavin.
"Oiya, yang turun. Dicoret juga," tambah Aily.
Aily kemudian mengocok dadu dan mendapat giliran pertama untuk maju, dadu menunjukkan angka tiga dan dua. Maka Aily berjalan lima kedepan. Dan dilanjut Gavin setelahnya. Mereka imbang, belum ada yang berhasil atau turun.
"Satu, dua, tiga, empat, lima!" seru gadis itu seraya tersenyum, namun luntur kembali karena pion-nya berada di atas mulut ular. Itu artinya Aily harus turun.
"Yap, Aily turun. Mana spidolnya?"
Dengan sangat terpaksa Aily memberikan spidol pada Gavin. Gavin lalu mulai menggambar wajah Aily dengan gambar abstrak dan lambang love di kedua pipinya.
"Ish, Gavin curang! Masa Aily digambar nya banyak banget. Sini!"
Aily merebut spidol itu dari Gavin dengan cepat, balik mencoret wajah Gavin dengan garis panjang seperti kumis di kedua pipinya.
"Yak! Kan Aily yang kalah, kenapa Gavin kena juga?"
"Gavin kan curang, coret-coret wajah Aily."
"Itukan kamu sendiri yang buat peraturannya," geram Gavin, kembali mengambil spidol itu. Lalu terjadilah coretmenyoret wajah satu sama lain.
Terdengar gelak tawa memenuhi sunyinya malam, tawa yang jarang orang lain lihat dari Gavin. Kala semua orang harusnya tertidur, mereka malah menghabiskan waktu dengan bermain ular tangga.
Kini wajah mereka penuh dengan coretan tinta spidol berwarna-warni, mereka tertawa kala melihat wajah masing-masing. Saat bersama Aily tidak ada lagi Gavin yang dingin bagai kutub utara, karena hanya dengan Aily Gavin bisa bebas mengekspresikan dirinya.
***
"Pagi Gavin!"
Gavin yang tengah mengoles selain stoberi pada roti menoleh sejenak. Tersenyum menyambut Aily yang sudah siap dengan seragam sekolahnya.
Rambutnya di kuncir dua, memakai tas berwarna pink dengan gambar kepala panda kecil. Dalam hati Gavin bertanya, darimana dan kapan Aily membeli tas anak kecil itu.
"Kenapa? Aily nggak cantik, ya?" Raut muka Aily berubah menjadi tak seceria tadi.
Gavin berdeham lalu menghampiri Aily. "Cantik, tapi lebih cantik lagi kalo rambutnya di gerai, Gavin lebih suka itu," ujarnya sembari menarik kunciran Aily.
"Benarkah?"
Gavin mengangguk. Melepas tas Aily perlahan. "Apalagi kalo pake tas yang Gavin beli."
"Tapi, tapi–,"
"Aily percaya sama Gavin, kan?"
"Eung!"
"Kalo gitu, ganti pake tas lain, oke? Nanti Gavin kasih silverqueen."
"Oke!" jawab Aily antusias dan berlari menuju kamarnya. Kendati sebenarnya ia kecewa karena tidak bisa memakai tas barunya.
Tak lama Aily kembali. "Mama mana?"
"Ke restoran, katanya ada perlu. Sarapan dulu."
Aily duduk. "Aily nggak mau."
Jangan mulai, tolong!
"Gavin udah buatin roti kesukaan Aily padahal," ujar Gavin dengan nada kecewa yang dibuat se-natural mungkin.
"Non Aily mau Bibi buatin sereal?" Bi Surti pun turut membujuk putri rumah ini.
"Nggak, Aily nggak laper."
Gavin membuat isyarat dengan tatapannya agar Bi Surti kembali mengerjakan pekerjaannya.
Pun, Bi Surti kembali ke dapur.
"Makan."
Jika orang lain, mungkin sudah hampir gila karena selalu Aily repotkan setiap pagi atau saat waktunya gadis itu makan. Aily, paling susah jika di suruh untuk makan.
Akan ada banyak alasan, bahkan seribu alasan tak cukup untuk ia bisa menghindari yang namanya makan.
"Jangan buat masalah, ini masih pagi." Suara Gavin mulai terdengar dingin.
Namun Aily tak bergeming. "Aily nggak suka di paksa-paksa!"
"Gavin suapin," Lagi, ia mengalah lagi pada Aily.
"Nggak!"
Gavin membulatkan matanya. Ck, harus dengan cara apalagi?
Gavin menyodorkan piring dan s**u milik Aily. Namun malah kembali di dorong oleh gadis itu.
"Makan atau Gavin marah!"
"Nggak! Sekali enggak ya enggak! Aily nggak mau!"
Gavin tahu Aily berbohong, hanya saja gadis itu terlalu malas untuk sekedar menyuapkan roti dan mengunyahnya.
"Aily!"
Aily mulai terlihat takut. Namun berusaha untuk menyembunyikan itu.
"Jangan bentak Aily–,"
Brakk
prangg
Aily terlonjak kaget saat Gavin menggebrak meja makan dan melempar gelas tepat di samping Aily. Stagnan. Aily menatap Gavin takut, mata gadis itu mulai memerah. Tak lama mata Aily mulai mengeluarkan airnya.
Gavin menarik napasnya berulang-ulang, berusaha untuk menekan emosinya agar tidak berakhir menyakiti Aily. Ia merasa sangat kesal sebab Aily selalu saja seperti ini.
Membuat masalah, membuatnya kesal, membuatnya marah. Dan Gavin terlalu lelah untuk itu.
"G-gavin.. " lirih Aily di tengah keterkejutan.
"Ssssh," Aily meringis saat rasakan perih di pipi dan lengannya.
"Ck!"