"Kak, lo suka sama Keisya, kan?"
"Maksud lo?"
"Baru kali ini gue liat lo akrab secepat itu sama orang lain dan bisa nerima orang baru gitu aja. Apalagi kalo bukan suka?"
"Gue punya firasat buruk tentang Keisya."
Perbincangan singkat dengan adik sepupunya tadi siang itu terus berputar bak kaset rusak dikepalanya. Semakin mencoba untuk lupa, maka ia semakin ingat.
Gavin sama sekali tidak tahu apa yang adiknya itu katakan, Cleo berbicara dengan penuh teka teki. Seakan tahu perasaannya dan tentang kehidupan Keisya.
Gavin tahu ia kagum pada sosok Keisya, gadis itu tidak hanya cantik, namun dewasa juga anggun. Cara bicaranya sopan dan lembut. Tipenya sekali.
Hanya dua kali bertemu dan sedikit berbincang, ia sudah merasa nyaman. Entahlah, sebelumnya tidak pernah seperti ini.
"Gavin!" Teriakan itu membawa Gavin kembali pada kesadarannya, pemuda itu mengerjap dan beralih menatap Aily.
"Kenapa?"
"Gavin kenapa sih? Gak denger ya, Aily ngomong dari tadi?" kesal Aily sembari mengerucutkan bibirnya, sontak membuat Gavin tersenyum.
"Denger, kenapa?"
"Ayo ke funfair, berenti sekarang. Cepet!"
"Yaudah nanti nonton si botak dirumah," balas Gavin acuh tanpa menatap Aily.
Gadis itu mendengus kesal. "Iihh, bukan upin-ipin, liat tuh ada funfair."
Gavin menghentikan mobilnya. "Itu pasar malem."
"Kita pulang aja, ini udah sore banget. Nanti Mama marah," lanjut Gavin membujuk Aily.
"Aily gak mau!" Aily terus melihat kearah funfair, seakan menggoda Aily dengan semua wahana dan berbagai makanan ringan ciri khasnya.
"Gavin mau pulang."
"Aily pergi sendiri!" putus Aily lalu keluar dari mobil, pun Gavin menghela napas jengah, memijat pangkal hidungnya kala pusing mulai menyerangnya.
Dengan berat hati Gavin menyusul Aily, tak mungkin kan jika dia meninggalkan gadis itu sendiri?
"Jangan jauh-jauh, kalo ilang Gavin yang dimarahin." Aily tersenyum senang, maka dengan cepat ia menggenggam jemari Gavin, seketika membuat Gavin terdiam.
Kehangatan yang ia rasa bukan hanya dari genggaman tangan mereka, namun juga ikut menjalar kehatinya.
"Gavin ayo naik Kora-kora!" Ia menyeret Gavin menuju tempat penjualan tiket untuk menaiki kora-kora yang Aily tuju.
"Om tiketnya dua." Si om dengan perut sedikit buncit kemudian menyerahkan dua tiket pada Aily dan diterima oleh gadis itu senang.
"Gavin gak ikut." Ia kembali menyerahkan satu tiket itu pada Om penjualnya. Aily melirik penuh selidik.
"Gavin takut ya?" ledek Aily, membuat Gavin gugup seketika.
"Udah ah, sini Om Aily beli dua. Berapa?" Aily kembali mengambil tiket itu.
"Ck satu aja, kan kamu yang mau naik bukan Gavin." Gavin mengambil dan mengembalikan tiket itu, lagi.
"Iiih, masa cowok takut sih. Kalah sama anak kecil tuuuuh," cibir Aily dengan mulut monyongnya yang menunjuk ke arah anak kecil yang tertawa ria saat menaiki wahana gila itu.
Aily kembali mengambil tiket itu dari tangan si Om. "Sini Om tiketnya."
"Ber–"
"Satu berapa Pak?" sela Gavin, mengembalikan lagi tiket yang kini sudah lecek.
"Satu dua puluh lima ribu, kalo beli dua jadi dua puluh ribu," jawab si Om.
Gavin menyerahkan uang dua puluh lima ribu. Tapi,
"Beli dua Om, jadi dua puluh kan?" Si Om mengangguk lelah karena terus menyaksikan drama ini, sementara yang lain sudah ada yang protes karena mengantri terlalu lama.
"Gavin gak m–"
"Uda deh ah bawel, tuh orang-orang udah pada demo. Ayo, nanti Aily pegangin deh tangannya kalo Gavin takut." Lalu Aily kembali menyeret Gavin ke sisi kiri.
Gavin bergerak cemas dalam diam, sumpah demi apapun ia takut, terlebih lagi ia memang tidak menyukai hal-hal yang terlalu tinggi.
Akhirnya penderitaan Gavin akan dimulai, karena kini giliran mereka untuk menaiki wahana memacu adrenalin itu. Gavin ragu, namun karena Aily menyeretnya paksa, ia pun ikut naik.
Wahana pun mulai bergerak perlahan dan Gavin langsung menutup matanya kala wahana itu semakin gencar berayun, jantungnya seakan ikut terbang bersamaan wahana itu semakin naik dan turun seketika.
"Maafin Gavin ya Allah, Gavin masih mau hidup, tolong Ya Allah," mohon Gavin dalam hati.
Ia lalu mengeratkan pegangan pada besi pengaman dan tangan Aily serta menyembunyikan wajahnya pada ceruk leher gadis itu.
Sedangkan Aily bersorak bahagia, meski tangannya terasa keram karena digenggam terlalu keras. Namun euphoria dan pemandangan sore ini membayar semuanya.
Wahana berakhir, Aily turun dengan terus memegangi tangan Gavin, ck bukankah ini terbalik? Gavin berjalan sempoyongan, ia rasa raganya masih berada dalam wahana itu, tak sedikit yang melihat itu tersenyum geli. Ffyuh untung saja ia tidak muntah.
Mereka lalu berjalan-jalan, tentu tidak hanya sekedar berjalan saja. Karena kini tangan Gavin beralih menggenggam jajanan Aily.
Agaknya, setiap stand jajanan disini Aily sudah beli, ditambah Aily yang terus mengoceh dan merengek seakan membuat kepala Gavin nyaris pecah.
"Aily mau itu," tunjuknya pada gulali karakter, Gavin mendengus kesal dan berkata, "Habisin ini dulu, baru beli itu."
"Aily mau itu Gavin!" keukeuh gadis polos itu.
"Aily beli sendiri, Gavin capek. Nih uangnya."
Gavin menyodorkan beberapa lembar uang dua puluh ribuan dan berlalu pergi menuju kursi yang tak jauh dari sana. Gavin benar-benar lelah, fisik juga batinnya.
Namun saat bokongnya akan mencium kursi, dirinya malah ditabrak seseorang, membuat jajanan Aily jatuh berserakan sebagian.
"Damn it!" Gavin mengumpat.
"Gavin, syukurlah, seseorang mengejarku, kumohon tolong."
Gavin mengenal suara itu dengan baik, lantas ia berbalik dan menemukan Keisya dengan sorot wajah khawatir dan takutnya.
"Keisya? Lo kenapa?"
"Gavin, ayo pergi dari sini." Keisya menarik tangan Gavin, namun terhenti karena Gavin tak turut berjalan.
"Tapi kenapa? Ada ap—,"
"Tidak ada waktu, kumohon ayolah. Sekali ini saja," potong Keisya.
"Tap—" Lagi-lagi kalimatnya terpotong karena Keisya telah menariknya lebih dulu.
Gavin melihat kebelakang mereka, terlihat dua orang berbadan tegap dengan stelan baju yang sama kini tengah berlari ke arah mereka.
Gavin mengerti.
Ia menggenggam tangan Keisya dan berlari lebih dulu, melupakan jika Aily juga kini tengah dalam bahaya. Melupakan kewajiban dan tanggung jawabnya, lupa jika Aily bukanlah remaja pada umumnya.
Pun Keisya menampilkan smirk-nya dalam topeng ketakutan yang ia buat.
Diwaktu yang sama saat Keisya membawa Gavin, sekelompok orang atau lebih tepatnya sekelompok preman kini tengah menggoda Aily.
Pun orang-orang yang berada di sekitarnya hanya bisa diam dan menonton, seakan tak ada niat sedikit pun untuk menolong atau menelpon pihak berwajib. Seakan tahu apa yang akan terjadi pada Aily setelahnya.
"Ayo ikut sama Abang."
Aily mundur kala satu preman berucap sembari mencolek dagunya. Demi apapun Aily sangat ketakutan.
"Jangan colek colek Aily!" tegasnya, yang mendapat senyuman remeh dari preman itu.
Preman yang mencolek tadi semakin mendekatkan dirinya pada Aily, kontan membuat Aily semakin bergetar ketakutan. Ia hanya menginginkan Gavin-nya saat ini.
Namun kita tahu jika Gavin bahkan lebih sibuk mengurus seseorang yang baru dikenalnya. Sibuk menenangkan seseorang yang kelak akan menjadi boomerang untuknya.
Kembali pada Aily, kini tangan preman itu sudah mulai lancang meraba bahu Aily. Dengan cepat pula Aily menghempaskan tangan b***t preman itu. Satu tetes buliran bening itu kini meluncur, hingga akhirnya menjadi anakan sungai yang terus mengalir.
Sangat disayangkan karena pengunjung lain hanya menonton, baik itu wanita ataupun laki-laki. Banyak dari mereka hanya peduli dengan diri masing-masing dengan cepat pergi dari kawasan funfair.
Aily semakin menangis karena kini tangan preman itu mulai meraba sekitar pahanya. Namun untungnya satu preman yang lebih muda menahannya agar tidak terlalu jauh meraba.
"Gue bosnya," katanya, preman muda itu lantas mendekati Aily.
"Ayo dong temenin kita, semalem aja. Gue bayar deh, berapa? Lo kayaknya masih polos, lebih menantang hahahaha." Ia lalu menarik dagu Aily agar menatapnya.
Namun Aily semakin memalingkan wajahnya, hanya melihat wajah preman itu semakin membuatnya takut.
Apalagi muka para preman itu banyak tato, jelek, buluk, item, gada bagus-bagusnya.
"Lepas.... Aily mohon," lirih Aily, yang membuat para preman itu semakin gencar menggodanya.
"Kalo lo mau ikut kita kita, gue baru lepas," ucap preman muda itu.
"Ck, udalah kita bawa aja langsung. Lumayan, masih polos." Satu preman tua berucap sembari menaik turunkan alisnya.
"Bener juga."
Aily coba memberontak, dia memegang tiang stand penjual gulali karakter itu dengan kuat. Bahkan tangannya kini sudah lecet.
"Aily gak mau! Lepas! Toloooong." Teriakan Aily bahkan tidak didengar oleh orang-orang.
Ada yang ingin mencoba menolong, namun satu preman langsung menodongkan senjata, seperti pistol rakitan ke arah bapak-bapak yang hendak menolong Aily.
"Ikut!" teriak preman muda itu, mencengkram tangan Aily kuat hingga ia meringis karena sebagian kuku menancap pada pergelangan tangannya.
Aily semakin terisak, ia menangis sejadi-jadinya. Lebih dari apapun Aily sangat takut, bisa dilihat dari tubuhnya yang kini bergetar hebat ketakutan.
"Gavin...." lirih Aily, namun nyatanya itu tidak berguna sama sekali, Aily hanya bergantung pada Gavin yang nyatanya kini tengah tersenyum ria dengan seseorang disuatu tempat.
Namun apa yang bisa Aily polos lakukan? Ia hanya bisa berharap, berdoa agar Tuhan mendengar suara hatinya, dan menyampaikan harap kecil Aily pada Gavin yang kini tengah tersenyum bahagia.
"Aily mohon Gavin, tolong..." lirihnya disisa kesadaran, pegangan Aily mulai lepas, matanya sedikit demi sedikit mulai terpejam. Dan...
Brukk
Tubuh Aily jatuh, pun preman yang melihat itu sedikit tercengang. Namun tak menghilangkan niat jahat dihati, saat preman muda itu akan menggendong tubuh Aily, tiba-tiba tubuhnya terhuyung kedepan lantaran seseorang menendangnya dari belakang.
"b******k!"