Kenapa lo kesini?"
Sang gadis tersentak kaget, kegiatan memilih buku pun terpaksa terhenti lantaran seseorang datang tanpa ia undang. Ia tercengang, tidak, ia belum siap untuk ini. Memaksa untuk berbalik, tanpa sengaja manik mata mereka bertemu, menciptakan sesak dan kembali membuka luka lama, baik untuk gadis itu atau presensi dihadapannya.
"Kenapa lo kesini?"
Pertanyaan yang sama kembali terdengar diperungu-nya, sangat menyakitkan hanya mendengar suara datar itu. Dengan lihai, ia merubah kembali raut wajahnya.
"Bukan urusan kam—," Ia tercekat, menghela napas sejenak, rasanya masih sama seperti dulu. Sekeras apapun ia mencoba untuk bersikap ketus, nyatanya ia tak bisa, ia selalu lupa. Baiklah, tenang Keisya.
Lalu gadis itu berkata, "Bukan urusan lo." Dan pergi dengar buku yang ia genggam dengan sangat erat.
"Kalo niat lo buruk itu jadi urusan gue!"
Kontan membuat gadis itu terhenti dari langkahnya, ia berbalik, menatap tidak percaya akan apa yang telah diucapkan pria dihadapannya.
Hening, tidak ada yang bersuara kecuali suara siswi lain yang berteriak memberikan semangat untuk siswa yang sedang tanding basket dilapangan.
"Sebenci itu lo sama gue, Al?"
Kini gadis itu bersuara, memecah keheningan diantara mereka. Berbicara dengan nada sedikit lebih keras tanpa memikirkan siswa lain yang tengah membaca. Perpustakaan.
Pria yang dipanggil Al itu mendekat, menggenggam tangan gadis itu dan membawanya sedikit lebih jauh, tempat yang lebih sepi di pojok ruangan yang sangat jarang orang lewati.
"Lepas!"
Genggaman pun terlepas, namun tidak dengan tatapan datar Al namun penuh arti didalamnya. Ia tidak menyangka jika gadis itu akan kembali, tidak, bukan ini yang di inginkan-nya. Bukan sama sekali.
"Kenapa lo kesini?"
Melihat kebungkaman Keisya, Al melanjutkan. "Lo dendam sama gue, kan? Lo boleh lakukan apapun selama itu sama gue. Mereka gak ada hubungannya sama lo, bitch."
Akhirnya kata-kata itu keluar, membuat gadis itu mematung dengan menatap Al tajam. b***h?
Ck, b******k!
Pun Al yang mengetahui reaksi itu diliputi rasa bersalah dalam hati, entahlah, tapi kata itu menguar dengan sendirinya tanpa ia sadari.
Gadis itu tersenyum miris, ah tidak, tertawa sumbang lebih tepatnya. Menertawakan kebodohannya karena telah mencintai pria sebrengsek Al.
"Lo, b******k Al." Kalimatnya terucap lirih dan berlalu pergi, masih dengan air mata yang sesekali turun.
Pun luka dan sesak yang tidak perlu ditanyakan lagi, luka itu kini kembali mencuat kepermukaan, menciptakan amarah berupa dendam.
Sedangkan Al, tetap dalam keterkejutan. Nyatanya memang penyesalan selalu datang terlambat. Demi apapun ia menyesal, apalagi saat melihat tatapan gadis itu yang kini hanya benci yang ia lihat untuknya.
***
Melihat pantulan dirinya sendiri dicermin, cukup berantakan setelah ia menghabiskan setengah waktu istirahatnya untuk menangis di toilet sendirian.
Nyatanya memang benar, sejauh apapun, sekuat apapun ia menghindar, ia akan tetap bertemu dengan pria b******k itu.
Entah kenapa ia tidak bisa lupa atau sekedar bersikap biasa saat bertemu dengannya, luka dan potongan memori kelam nan indah itu selalu datang saat ia melihatnya.
Kenapa harus dirinya? Kenapa ia harus merasakan indahnya cinta dan pedihnya luka dalam waktu bersamaan? Kenapa dunia sangat tidak adil padanya?
Memikirkan itu membuat air matanya kembali luruh, bersama sesak yang senantiasa menemani kala memori dua tahun silam menyambangi. Ia meremat wastafel dengan kuat, bisa terlihat dari kukunya yang kini memutih. Berusaha menghalau luka, kendati hanya sedikit.
Ia mendongak, kembali melihat pantulan dirinya. Senyum tersemat, namun beberapa detik kemudian berubah menjadi smirk.
"Lo emang gak pernah berubah Al."
Setelahnya gadis itu membersihkan wajahnya, kembali membubuhkan make-up untuk menutupi bekas tangis. Tapi percayalah, lebih dari itu, ia hanya sedang berusaha untuk menutupi lukanya.
"Lo pasti bisa Keisya, jangan lemah hanya karena cowok b******k itu."
***
"Kak Gavin,"
Gavin mengerutkan dahinya. "Lo yang ngatain Aily hari itu, kan?"
Gadis itu mengangguk. "Saya Alyssa, mau minta maaf sama Kak Gavin dan Aily juga."
"Hmm, jangan di ulangi lagi."
"Ah itu Aily. Aily, gue minta maaf soal waktu itu ya. Gue beneran nyesel."
Aily menatap datar sebab tak mengerti. "Emangnya Alyssa punya salah apa?"
Alyssa terhenyak. Apa Aily tidak sadar bahwa dirinya ini sudah menghinanya? Alyssa mengakui kepolosan Aily.
"Pokoknya gue minta maaf, eum kalo gitu gue duluan ya. Semoga kita bisa temenan nanti."
Aily hanya membalas dengan senyuman.
"Nih, Aily bawain minum buat Gavin."
"Hmm, makasih." Dengan cepat Gavin meminum air yang Aily berikan hingga tandas. Cukup lelah bermain basket saat matahari sedang semangat memberikan panasnya.
"Gavin hebat banget, Aily suka." Gavin tersenyum dan mengacak pucuk kepala Aily gemas, membuat siswi lain makan hati dibuatnya.
Sejak tadi Aily berteriak menyemangati, bahkan lebih keras dibanding Cheerleaders.
"Baguslah, Aily kan emang harus suka sama Gavin. Gak boleh yang lain. Ngerti?"
Sipolos pun hanya mengangguk tanpa membantah. Gavin kemudian meliarkan pandangannya, pasalnya sejak awal ia bertanding, ia tak melihat Al dan Keisya.
Tidak mungkin bukan jika mereka, ekhm, tidak perlu disebutkan. Gavin hanya merasa ada yang terjadi diantara keduanya.
"Buat gue kaga ada Ly? Gue kan juga main, capek, haus." Elvan bertanya, mengalihkan perhatian Aily dan Gavin.
"Cleo lagi beli minuman kok, buat kalian semua. Tadi Aily nyerobot aja biar cepet, kasihan Gavin kehausan." Gavin tersenyum dibuatnya.
"Terus? Lo gak kesian ama gue gituh?" sinis Elvan tidak terima.
"Nggak, wleee."
Seketika Elvan bangun dari baringnya, sejak kapan si bocil ini jadi nyebelin? Ya, memang setiap hari sih. Namun ini yang terparah, menurutnya.
"Lo ngeledek gue? Parah banget sih lu cil."
"Apa?!"
"Bocil, emang kenapa? Wleeee," balas Elvan tak mau kalah.
"Ish, biarin yang penting Aily gak jomblo kaya El. Wlee."
Elvan tertohok, tentu saja. Ia menganga lebar, berani sekali dia, Elvan membatin. Sedangkan Gavin ikut tertawa akan ungkapan Aily yang begitu menohok hingga membuat Elvan menganga.
"Udalah El, lo gak akan menang lawan Aily. Nih minum." Eliza menyela, memberikan botol minuman pada Elvan. Dan dengan cepat ia teguk, karena sedari tadi haus terasa mencekiknya. Lalu Erina dan Cleo memberikan sisa minuman pada yang lain.
"Ray sama Al kemana Kak?" Cleo bertanya setelah gabung dan duduk dengan Aily, Gavin, Elvan dan Sikembar.
"Ray sibuk ngurusin Lab, Al gue gak tahu kemana."
Meski banyak minusnya, namun Ray tetap dipercaya untuk memegang kendali atas Lab. Kebetulan Ray cukup pintar dalam urusan Eksperimen dan sebagainya.
"Tangan lo kenapa, Ly?" tanya Eliza yang baru menyadari plester yang membalut tangan putihnya.
Juga sedikit luka di pipi Aily yang sudah mulai mengering.
Aily gelagapan, ia tak mungkin memberitahu sahabatnya jika Gavin yang memberikan luka ini. Sebab sudah pasti ia akan di ceramahi, jangan takutlah, jangan ini jangan itu.
Maka, Aily menjawab, "Tadi kegores sudut meja belajar."
Kirana yang pura-pura percaya pun mengangguk, begitu pula yang lainnya. Tetapi menatap tajam pada Gavin setelahnya.
Pemuda itu mengalihkan tatapan, memilih untuk menyimak Aily yang tengah mengoceh sembari mengipasi dirinya dengan kipas mini berkarakter panda.
"Hai, aku boleh gabung gak?" Suara lembut itu mengalihkan perhatian mereka.
Keisya berdiri seraya tersenyum. Membuat Elvan dan Gavin terpana seketika, tentunya tidak untuk Aily dan kawan-kawan. Terutama Cleo yang merasa jika Keisya tidak sebaik penampilan luarnya.
Hendak menolak, namun terpaksa ia kembali diam lantaran Gavin sudah terlebih dulu mengijinkan Keisya untuk bergabung. "Kalo mau, duduk aja," katanya.
Pun Keisya menurut, seketika suasana menjadi canggung, hanya ada helaan napas dan angin yang bertiup menerpa kulit mereka. Keisya yang menyadari itu pun akhirnya angkat bicara, bagaimana pun ia harus bisa masuk dalam lingkaran pertemanan mereka.
"Aily? Suka silverqueen kan? Keisya bawa nih, mau gak?"
Mata Aily berbinar, lupa akan kekesalannya pada Keisya tadi pagi. Dengan cepat ia mengangguk dan mengambil silverqueen dari tangan Keisya.
"Aily potong dua aja ya, biar Keisya juga makan," katanya bak anak kecil, penuturan polos Aily membuat Keisya tertegun, Aily terlalu polos.
"Nih, makasih ya. Keisya baik banget."
Baik?
Aily menyodorkan setengah coklat itu, dan diterima oleh Keisya. Cleo dan sikembar merutuki kepolosan Aily, pun mereka bertanya dari mana Keisya tahu kelemahan Aily?
"Gavin, terimakasih tadi pagi udah nganterin ke ruang Kepsek," ujarnya dengan lembut.
"Hmm. Semoga lo betah sekolah disini."
Dan mereka pun terlibat obrolan ringan, posisi Keisya yang berada disebelah Gavin semakin memudahkannya untuk lebih dekat dengan Gavin.
Keisya rasa kali ini dunia berpihak padanya, tidak sulit untuk mendekati Gavin kendati pria itu sudah memiliki pacar. Tentu saja karena kepolosan Aily mengambil peran cukup besar.