The First man ever

2667 Kata
    “Nih, buat lo.” Jihan menyodorkan kotak bekal ke hadapan Bagas. Bagas melihatnya sesaat lalu memandang Jihan.     “Lo jauh-jauh datang ke kampus gue, buat nyerahin…apa ini? Bekal? Gue kan bukan anak kecil, Han.”     Jihan memberengutkan wajahnya dan masih berupaya menyodorkannya agar Bagas mau mengambil bekal yang berisi masakan yang dibuat oleh Jihan. Jihan sampai harus berguru dulu ke Bunda. Selama dua hari, Jihan praktik. Meski lebih banyak malprakteknya daripada tingkat kesuksesannya.     “Ya, ini. Ambil gih. Kan lo kemarin habis sakit asam lambung. Gue nyobain resep baru sih biar lo aman makan. Lagipula waktu kemarin gue nanya, lo suka ngelewatin jam makan siang lo. Padahal pagi suka lupa sarapan kan?”     “Gue tahu, gue abis sakit. Tapi bisa kan lo ngabarin gue dulu?”     Pertanyaan Bagas membuat Jihan mulai terpancing emosinya. “Emang gue nggak boleh ya bikin surprise gitu ke cowok gue?”     “Ya bukan nggak boleh, Han. Siapa tahu gue ternyata ada kelas. Dan lo nunggu lama di depan gedung dosen. Kalau lo ilang, atau sampai diculik orang kan gue yang repot.”     “Nggak usah gombal! Gue lagi marah!”     “Udah, udah. Nggak usah teriak. Gue ambil mobil gue dulu aja ya. Lo tunggu di depan. Kita makan bareng bekalnya di tempat lain ya? Oke?”     “Hei, Gas. Tumben lo kesini? Mo ngumpulin tugas?” sapa seorang mahasiswa yang langsung mendatangi Bagas dan Jihan.     “Nih, lagi ketemu sama orang,” sahut Bagas.     “Siapa? Pacar lo?” tanya orang itu ketika sadar ada Jihan yang sedang menunduk, terlihat sedang merajuk.     “Temen,” bisik Bagas tapi mampu ditangkap oleh indra Jihan. Tapi saat ini yang masih dia pikirkan adalah usahanya yang sia-sia memasak untuk Bagas.     Jihan masih menekuk mukanya. Nggak suka ketika Bagas tidak menghargai pemberiannya. Walau dia tidak perlu memberitahu Bagas bahwa dia sudah sangat berusaha untuk membuat makanan ini berhasil dibuat. Bunda sampai ikut turun tangan sebagai juri. Dan saat Bunda bilang rasanya enak, Jihan langsung merasa senang dan sudah membayangkan wajah Bagas yang membanggakannya karena bisa masak. Dan saat ini, imaginasinya buyar sudah. Bagas bahkan tidak tersenyum maupun terlihat senang. Boro-boro bilang makasih, menerima kotak bekalnya langsung saja, Bagas terlihat enggan.     “Nggak usah! Kalau nggak mau yaudah! Bisa gue makan sendiri,” ujar Jihan kemudian membalikkan badannya tapi langsung dicegah oleh Bagas.     “Mau kemana cantik?”     “Pulang.”     “Abang anter ya?” ujar Bagas berusaha merayu. Tapi Jihan tidak memberikan respon. Dia terlanjur kesal. Mau Bagas bilang makasih atau makan makanannya tepat di wajah Jihan rasanya udah kepalang tanggung kesal duluan. Jihan mendengus beberapa kali sampai akhirnya memutuskan untuk pergi segera.     “Lagi nggak pengen bercanda.”     Saat itu juga Bagas langsung mencium kening Jihan dengan cepat dan tersenyum di hadapan muka Jihan.     “Sayang jangan marah ya? Nanti kalau sayang marah, siapa yang bawain bekal aku lagi?” bisik Bagas.     “Banyak kan yang mau bikinin, nggak harus gue,” ujar Jihan masih saja marah meskipun nadanya kini melunak.     “Kalau gue maunya lo aja?”     “Nyatanya gue bikin juga lo kayak nggak tertarik.”     Bagas mengelus pipi Jihan, membiarkan beberapa pasang mata melihat mereka sedang berduaan.     “Maaf ya, gue nggak bermaksud nolak. Tapi gue cuma pengen lo ngasih tahu gue sebelumnya kalau lo mau datang. Kayak sekarang kan? Lo nungguin berapa lama sampai gue selesai kelas? Sejam lebih kan?”     “Lah dah resiko orang ngasih surprise. Dah resiko orang nunggu tapi nggak ngasih kabar ke orang yang mau ditunggu. Kemungkinan emang kecil. Gue tadi emang ke kampus lo itu gambling. Kalau lo ada ya gue bersyukur dapat berkah. Kalau nggak ketemu lo? Ya anggap aja belum diijinkan untuk ketemu. Gue nggak ambil pusing sama konsekuensinya karena gue udah memperkirakan sebelumnya. Ribet amat sih,” gerutu Jihan mulai tak sabaran lagi.     “Oke, maafin gue ya. Boleh nggak sekarang lo nunggu di depan, nungguin gue ambil mobil?”     Jihan tertegun. Ini bukan lagi permohonan tapi sudah keharusan. Karena nada lembut yang tadinya keluar dari bibir Bagas saat merayu Jihan, sudah hilang.     “Oke,” jawab Jihan singkat dan langsung pergi begitu saja. Jihan berjalan menuju gerbang kampus Bagas sambil berpikir keras. Kenapa? Kenapa Jihan harus merasakan pertengkaraan saat dirinya ingin bertemu dengan Bagas sejak pertemuan terakhir mereka. Dan sebenarnya Jihan membaca gerak gerik tubuh Bagas saat Jihan datang dan menghampirinya. Bagas seperti berlari dari kelasnya menuju ke bangunan tempat kantor utama berada. Wajahnya terlihat tidak senang atau kesal mendapati Jihan padahal Jihan kangen berat dengan laki-laki itu. Apa gini ya rasanya punya hubungan? Kayak udah ditinggikan kemudian dihempaskan dengan kekuatan nol gravitasi alias nggak ada tuh mental yang ada langsung ambles ke dalam. Udah seperti hati Jihan saat ini.     Apa kejadian kemarin nggak berarti apa apa buat Bagas? Nggak, pasti ada! Jihan yakin apa yang diomongin Bunda terkait nafsu seseorang itu nggak relevan sama kondisi dua orang yang sudah jatuh cinta. Mereka bakalan saling menjaga. Ya nggak akan ngelakuin hal lebih lain selain ya paling maksimal ciuman. Iya, kan?     Jihan akhirnya sampai juga di lokasi yang dimaksud oleh Bagas. Dirinya mendesah pelan, memikirkan apa yang akan mereka obrolkan sedang suasana hati mereka saja sudah memburuk, mungkin sebaiknya Jihan meminta untuk pulang atau malah langsung pergi tanpa memikirkan Bagas yang kaget karena mendapati Jihan sudah pergi.     Dari jauh, Jihan melihat mobil Bagas mulai mendekat. Pikiran Jihan tambah berantakan karena di satu sisi dirinya sendiri juga kecewa karena Bagas tidak juga memperkenalkan dirinya ke teman-teman Bagas. Kayak tadi waktu ada teman Bagas yang menyapa kenapa Bagas dengan enteng menjawab mereka itu hanya teman?     “Ayo masuk!” perintah Bagas keluar dari mobil setelah memarkirkan mobilnya di tempat yang aman. Teriakan Bagas membuat Jihan semakin jengah. Jihan langsung menggelengkan kepalanya.     “Gue milih pulang aja deh, suasananya langsung nggak enak gini. Gue jadi ngerasa semakin bersalah aja gara-gara gue bikin bekal dan mau ngasih kejutan malah ujungnya kita berantem.”     “Yang mulai ngajak berantem siapa? Gue udah minta maaf tapi lo masih aja nggak mau damai sama gue. Pengennya ngambek aja.”     “Ya kan, bener kan. Itu salah gue kan? Lain kali gue nggak mau bikinin lagi. Toh lo juga nggak ngarepin kan? Sama sama nggak ada yang rugi ini. Ngapain dipikirin?”     “Masuk nggak? Mau debat dipinggir jalan dan jadi tontonan orang-orang?”     “Gue nggak ngajak debat. Gue hanya ingin ada pengakuan. Setidaknya kata makasih dari lo akan perjuangan gue. Tapi apa? Waktu awal langsung penolakan yang gue terima, dan itu dari lo. Lo yang katanya cowok gue.”     “Maafin gue ya? Please?”     Jihan tak bergeming, mulai memikirkan cara terbaik untuk pulang dan membanting bonekanya di lantai sambil nangis bikin banjir di kamarnya. Rasanya hatinya sesak akan kekecewaan.     “Gue udah maafin. Jadi sekarang gue boleh kan pulang sendiri? Lagipula gue kan bawa motor. Tadi gue ke kampus lo jalan kaki sambil menunggu balasan chat dari orang yang kini lagi nyebelin. Jadi gini ya rasanya ditolak sama cowok sendiri.” Ucapan Jihan terasa menampar harga diri Bagas karena laki-laki itu langsung terdiam, tidak seperti pasangan umum lainnya yang jika diberikan perhatian ekstra malah suka.     “Gue anter ke kampus lo aja ya?” ujar Bagas masih mau berusaha merayu Jihan dengan usaha terakhirnya.     Akhirnya Jihan mengalah dengan membalikkan badan dan masuk ke mobil Bagas tanpa diminta lagi. Bagas lalu mengikuti dalam diam dan begitu masuk langsung menyalakan mesin mobilnya.     “Han, mau kan lo maafin gue?” ucap Bagas memecah kesunyian di antara mereka.     “Kan gue udah bilang gue maafin, cuman kan dah terlanjur kesel. Kayak apa ya? Istilah kagol tau nggak?”     “Kagol?”     “Jadi ya tuh gue udah terlanjur kesel. Kalaupun diiyain, dituruti, akhirnya sesuai dengan maunya tapi dah terlanjur aja ada keselnya. Udah nggak sama lagi feelnya. Ini kalau didiemin bakalan ilang sendiri kok.”     “Dendam nggak biasanya?” tanya Bagas pelan-pelan sepertinya ketakutan.     “Nggak sih, gue orangnya lupaan kecuali yang bekas banget di hati.”     Bagas tersenyum dan mengelus pelan lengan Jihan, “yang tadi jangan dimasukin ke hati ya?”     “Gue coba ya,” balas Jihan tersenyum kecil.     Mereka akhirnya sampai juga di kampus Jihan, Jihan memang meminta untuk diantar sampai ke parkiran biar dia langsung pulang. Jihan keluar dari mobil dan hendak melambaikan tangannya pada Bagas ketika tiba-tiba ada yang memanggil namanya.     “JIHAN!”     Aduh, suara Tissa!     Jihan langsung menoleh dan tersenyum kaku. Otaknya lagi-lagi bekerja memikirkan kemungkinan pertanyaan dan kemungkinan jawaban yang bisa dia utarakan ke Tissa. Lama-lama Jihan ngerasain juga stressnya menyembunyikan status di depan teman-temannya.     “Kebetulan banget ada lo, eh itu bukannya Bagas ya?” Tissa celingukan ke dalam mobil. Bagas melambaikan tangannya kemudian memutuskan untuk keluar dari mobil.     “Kok kalian bisa barengan gini?”     Jihan dan Bagas saling pandang sebelum akhirnya Jihan membalas, “gue tadi ke perpus pusat balikin buku. Gue jalan kaki kesana, dan kan emang perpus pusat kalau kita jalan, lewatnya kampusnya Bagas kan? Eh ketemu Bagas mau pulang, yaudah gue nebeng hehe.” Bagas menambahkan dengan anggukan kepala.     “Bagus deh, lo jadi nggak usah jalan kan? Gue khawatir tiap lo kemana-mana malah jalan padahal ada motor.”     Pandangan mata Jihan kemudian tertumbuk ke beberapa kantong yang dibawa oleh Tissa. Tissa mengecek kantong tersebut dan akhirnya memberikan salah satunya ke Jihan.     “Buat lo. Oleh oleh nyokap gue dari Seoul. Katanya ini special buat adik gue, alias lo,” cengir Tissa menyodorkan kantong tersebut dan Jihan langsung menerimanya dengan sumringah. Jihan sempat mengintip apa yang ada di dalam. Dilihatnya beberapa makanan dan beberapa kotak skincare. Suasana hati Jihan langsung naik ke semangat lagi. Ya siapa sih yang nggak suka dikasih? Gratis dan banyak lagi. Jihan langsung bersenandung kecil.     “Ini buat lo, Gas. Isinya makanan halal kok. Dimakan ya?”     Seketika pandangan mata Jihan mengikuti arah sodoran tangan Tissa, dan begitu gerakan itu bersambut oleh sahutan tangan Bagas, Jihan langsung berhenti tertawa senang.     “Wah, makasih, Tiss. Pasti gue makan. Makanan jarang di Indonesia, nih. Nyokap lo habis jalan jalan kesana?”     Tissa tersenyum sumringah, “Nggak sih, nyokap baru selesai dinas dari kantornya. Kebetulan dapat tugas di sana selama dua minggu. Kalau pas weekend bisa sampai ke Jeju buat liburan.”     “Asyik tuh, gue pernah kesana dan nginep di hotel…apa ya? gue lupa. Hotelnya tuh unik banget…”     Dan Jihan paham, dia nggak akan pernah nyambung cerita seperti ini dengan Tissa dan Bagas. Sadar dunianya begitu jauh dengan dunia teman-temannya. Jangankan menginjakkan diri ke Seoul, kota impiannya, menginjakkan kaki dan maen ke Bali aja belum pernah. Perlahan, Jihan membalikkan badannya dan berlalu dari teman-temannya. Bukan hanya dia ngerasa kasta mereka berbeda tapi cara Bagas menerima pemberian Tissa dengan begitu mudahnya membuat rasa sakit yang tadinya berangsur pulih kini menyerang lagi.     Kenapa kalau orang lain yang ngasih dengan entengnya diterima sedang cewek sendiri yang ngasih malah ditolak. Apa nggak kebalik?     Gadis itu mengurungkan niatnya untuk langsung ke parkiran. Jihan memutuskan untuk ke taman dekat gedung administrasi kampusnya. Menenangkan diri sembari makan makanan yang tersedia. Lagipula mubazir kalau bekal masakan yang dia kreasikan sendiri sampai nggak termakan. Kalau Bunda tahu, tambah kecewa juga dia dengan Bagas. Dahlahnya nggak pernah mampir, eh ngecewain koki amatiran macam dirinya.     Sampai di lokasi, Jihan langsung menjatuhkan badannya ke rerumputan yang terlihat terpangkas rapi. Area ini memang diperbolehkan untuk digunakan untuk kegiatan bersantai mahasiswa, dengan syarat harus menjaga kebersihan. Ada beberapa pasang CCTV yang akan memantau apa yang dilakukan oleh mahasiswa dan siapa yang sudah melakukan pelanggaran.     Jihan duduk bersila kemudian menaruh tas dan juga bingkisan pemberian dari Tissa ke sebelah kanannya. Dibukanya kotak bekal, diamati dengan seksama. Padahal dia udah bikin bentuk nasinya menyerupai hatinya, tapi karena goncangan saat mereka beradu pendapat tadi, nasi sudah terlihat bentuknya berantakan, lauknya pun juga sudah berpindah dari posisi semua.     Jihan mendesah hingga tanpa sadar air matanya mengalir ke pipi. Diusapnya sekilas, saat Jihan menyendok nasi dan melengkapi dengan lauk di sendoknya, Jihan mulai merasakan kabut berat di matanya. Suapan pertama, Jihan masih mengunyah dalam diam hingga akhirnya tangisnya pecah juga. Jihan mengunyah sambil menangis. Kepedihan Jihan seperti dirasakan juga oleh awan yang tadinya berwarna biru menjadi agak menggelap.     “Enak kok, dia aja yang ogep nggak mau ngerasain,” isak Jihan berusaha menelan setiap kunyahannya. Dan saat semua tertelan, Jihan mulai mengambil lagi untuk dia makan. Saat sendok itu mengarah ke mulutnya tiba-tiba ada yang merebut makanan tepat di depan mukanya dan ikut duduk bersila di dekatnya.     “Dean! Jangan ganggu orang lagi makan,” sungut Jihan masih banjir air mata.     “Hm, enak. Masakan Bunda ya? Ada tastenya gitu atau ini masakan lo sendiri?”     Jihan tidak menjawab dan memilih mengaduk-aduk makanannya lagi dan juga mulai menyendok ulang untuk dia makan. Dean mengamati bagaimana gadis itu makan sembari sesenggukan. Dean terdiam. Baru kali ini dia melihat seorang perempuan yang menangis tapi masih bisa makan. Mamahnya kalau dah nangis, lebih milih banting barang. Hm, Jihan pantas nih dijadiin istri. Nggak ngabisin barang dirumah, ngabisinnya makanan di rumah. Lebih banyak manfaatnya.     “Kalau makan ya makan nggak usah sambil nangis,” ujar Dean lalu membantu Jihan mengusap air matanya.     “Ini tuh nangis sambil makan,” protes Jihan tidak juga menghentikan kunyahannya. Jihan pengen membuktikan bahwa makanannya enak dan pantas untuk dimakan.     “Iya, sini gue juga disuapin. Laper, belum makan tadi.”     Entah karena Jihan dalam mode damai atau emang kesambet Jin sholehah, Jihan tidak marah melainkan malah menyodorkan sendok penuh nasi dan lauk ke mulut Dean.     “Seriusan ini enak, lo masak sendiri?” tanya Dean antusias.     “Iya.”     Dean mulai mengalisis kenapa sampai Jihan menangis akan masakannya sendiri yang enak. Nggak mungkin kan dia kelewat bangga dan narsis sama masakannya trus mulai buka cabang catering baru dan mengkhianati Bunda?     “Ini harusnya buat Bagas?”     Bukannya menjawab, Jihan langsung meledak tangisannya. Dean langsung mengatupkan rahang Jihan agar dia tidak lagi menangis dengan mulut terbuka.     “Nasinya keliatan, lo kalau nangis elegan dikit napa?”     “Hiks, emang nangis yang elegan itu gimana? Nangisnya bilang punten gitu sambil pakai gaun pesta biar elegan gitu?”     Dean tertawa kecil, posisi sedang bersedih saja, Jihan masih juga ngelawak.     “Tahu nggak? Masakan lo enak, penampilan lo hari ini juga modis, lo keren hari ini. Jadi nggak usah nangis lagi,” tukas Dean mengusap air mata di pipi Jihan. Gadis itu mulai sesenggukan kecil.     “Jadi gue keren cuma hari ini aja? Kemarin-kemarin gue nggak keren?”     “Kalau kemarin citra lo citra gadis polos sampai orang gemes pengen nipu,” jawab Dean membantu Jihan merapikan poni dan rambutnya yang mulai mecuat kemana-mana setelah dia cepol dari pagi.     “Sekarang?”     “Sekarang lo beneran ditipu dan jadi korban hahaha.” Tawa Dean langsung terdengar renyah di telinga Jihan. Jihan refleks mencubit lengan Dean, berusaha untuk memajukan bibirnya cemberut namun ada sedikit garis senyum disana.     “Better?” tanya Dean.     Jihan mengangguk dan hendak melanjutkan makannya ketika Dean merebut kotak bekalnya.     “Sini, gue aja yang makan, lo makan yang lain aja ya? Makan masakan lo jadi inget bikinan Bunda. Kapan kapan gue boleh ya main ke rumah buat nyicip masakan Bunda lagi?”     Jihan mengangguk dua kali dan mengamati bagaimana Dean dengan lahapnya makan masakannya. Ada bagian di hatinya yang trenyuh dengan apa yang dilakukan oleh Dean. Rasanya damai.     “Dean, makasih ya…”     “Buat? Gue kan malah ngabisin makanan lo.”     “Soalnya lo udah mau jadi kelinci percobaan gue yang pertama. Alhamdulillah lo nggak mati tandanya makanan gue aman.”     Dean mendengus dan tertawa kecil. “Jadi gue yang pertama lagi nih?”     Seakan bingung dengan ucapan Bagas, laki-laki itu melanjutkan lagi apa yang dimaksudkan olehnya. “Gue itu cowok pertama yang pernah datang ke rumah lo. Gue juga orang yang liat lo potong poni sebelum circle kita tahu. Gue juga yang perdana nih nyobain masakan lo yang rasanya sebelas dua belas kayak punya Bunda. And I, the first man that kissed your lips. What else?”     Seketika kenyataan itu menghantam alam bawah sadar Jihan. Jihan juga menyadari satu hal.     Dean cowok pertama yang mampu membuat dadanya berdebar keras hingga terasa nyeri.    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN